***
Pagi-pagi hari kami sudah siap di halaman depan. Hari ini kami akan berlatih pedang. Asal tau saja. Kami langsung berlatih menggunakan pedang asli. Berat. Sangat berat. Bagaimana aku bisa mengayunkan benda seberat ini?
“Sebelum berlatih, bolehkah aku pergi ke temanku dulu?”
“Untuk apa kau ke sana?” baru kali ini kudengar nada suara Onew sangat serius.
“Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan mereka. Masalah yang sangat penting.”
“Kenapa kau tidak tanyakan langsung kepadakau? Akan lebih mudah dengan cara begitu.”
“Entah kenapa. Untuk saat ini, aku belum bisa mempercayaimu. Auramu masih berbeda dari yang biasanya. Aku tidak bisa. Aku pergi dulu.” Onew menatap kepergianku dengan wajah terpukul. Dia hanya diam mematung di tempat. Maafkan aku. Tapi, auramu tak dapat dipercaya. Aku harus mendapatkan penjelasan segera. Dari kejauhan kulihat mereka dibagi menjadi dua kelompok. Yang satu kelompok belajar sihir dan yang lain belajar pedang. Mengetahui kedatanganku, mereka berhenti berlatih.
“Ada apa kau kemari?” Tanya Chae.
“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada kalian. Kalian juga.” Kutunjuk keempat pelatih temanku itu. “Yang kubutuhkan hanya kejujuran dari kalian.”
“Apa yang ingin kau tanyakan pada kami?” Tanya Jonghyun langsung mengenai sasaran.
“Apa arti pelatih bagi kami? Bagi manusia seperti kami. Kenapa kalian harus tinggal di dekat kami?” tanyaku beruntun.
“Kau ingin tahu jawabannya?” Tanya Jonghyun lagi. Aku mengangguk mantap. “Taemin, jelaskan padanya. Semuanya. Tanpa terkecuali.” Tubuhku langsung menegang serius.
“Sejak barabad-abad yang lalu. Kami menerima sebuah ramalan yang menyatakan ‘kalian akan dianggap sebagai dewa bagi umat manusia. Tapi, kejadian itu akan terulang lagi. 2 abad kedepan, kalian akan mendapat sesembahan 5 orang sahabat. Mereka memiliki kekuatan yang terpendam karena mereka adalah titisan dewi yang dititipkan di bumi. Mereka juga adalah jodoh kalian. Nantilah mereka dan jagalah mereka.’ Ramalan itu mengatakan tepat pada saat kami mengangkat kalian ke sini. Jadi, kalian adalah pelindung di masa depan dan belahan jiwa kami. Kami menunggu berabad-abad demi kalian.” Aku tertohok mendengar cerita itu. Jadi…Onew…aku…adalah… Kenapa jadi seperti ini.
“Lalu, kenapa kalian tidak menjadi tua?” tanyaku lagi setelah susah payah mengumpulkan kesadaran.
“Kami makhluk abadi. Sekarang kalian juga menjadi makhluk abadi. Kita akan menua, jika kita memutuskan untuk menjadi manusia biasa. Tapi kami tak bisa. Dunia masih membutuhkan kita.” Sekarang yang menjawab Key.
“Apakah ada kemungkinan orang lain untuk meneruskan perjuangan kita?”
“Ya. Setelah ada keputusan dari sang atas bahwa ada orang yang cocok menjadi penerus kita. Tapi, itu butuh waktu yang lama.” Minho menjawab. Kenyataan ini membuatku semakin bingung.
“Terima kasih atas penjelasan kalian. Maaf sudah mengganggu waktu latihan kalian dan kebersamaan kalian.” Kataku lemas.
“Kau tidak apa-apa Uki?” Tanya Sica khawatir.
“Tenang saja. Aku tidak apa-apa.” Kucoba tersenyum. Sangat sulit saat ini untuk tersenyum. Tapi, aku tidak ingin membuat mereka khawatir.
“Apa kau yakin?” Tanya Sica lagi. Kutatap wajah temanku satu persatu. Mereka terlihat sangat mengkhawatirkan aku. Aku mencoba tersenyum lagi.
“Ya. Aku yakin aku tidak apa-apa. Teruskanlah latihanmu. Aku pergi dulu.” Aku terbang menjauh. Terlihat mereka melambai padaku.
“Ayo kita berlatih!” kataku setelah sampai ke pulauku lagi. Sekarang ini pikiranku benar-benar kacau.
“Kau terlihat kacau. Sebaikny kita tunda latihan hari ini.”
“Aku ingin latihan sekarang. Jadi, bersiap-siaplah.” Kuambil pedang yang tergeletak di tanah. Langsung saja ku serang Onew. Dengan terpaksa, akhirnya dia menarik pedangnya. Terus kuserang tanpa ampun. Kuayunkan pedang kesana kemari. Dengan gesit Onew menangkisnya.
“Ada apa denganmu? Kontrol dirimu.”
“Kenapa kau tidak baca pikiranku saja? Akan lebih cepat kau dapat jawaban.”
“Kalau bisa, sudah dari tadi kulakukan. Kau sudah bisa mengendalikan perlindungan pikiranmu.”
“Hya…”Aku menjerit dan mengayunkan pedangku kearahnya dengan kekuatan penuh. Onew terkesiap mengahalangi pedangku. Pedangku terpental dan ujung pedangnya sedikit menggores tanganku. “Argh…” aku mengerang mearasakan dinginnya baja menembus kulitku. Onew langsung menjatuhkan pedangnya ketika melihat darah menetes dari tanganku.
“Apa yang telah kulakukan?” wajahnya terlihat depresi. Dia langsung menggapai tanganku. Menyobek kain kaos miliknya dan melilitkannya pada lukaku. “Luka ini sangat dalam. Tidak seharusnya aku melakukan ini. Aku telah melukaimu.” Dia terus menyalahkan dirinya. Aku hanya tertunduk diam. Onew masih belum melepaskan tanganku dan terus memandang tanganku yang terluka.
“Kenapa kau tidak katakana yang sebenarnya padaku?”
“Apa yang telah kau ketahui?” dia balas bertanya.
“Semuanya.” Jawabku pendek.
“Apa karena itu kau kalap? Kau tidak bisa berbuat itu. Kau membuat aku melukaimu.”
“Kenapa kau begitu menderita? Aku yang terluka. Bukan kau.” Kataku sarkastik.
“Sangat menyakitkan melukai belahan jiwamu dengan tanganmu sendiri.” Kata-katanya seperti menonjokku.
“Maafkan aku.” Sikapku sudah mulai melunak.
“Apa yang harus kulakukan untuk mengentikan darahmu. Kau kan kehabisan darah kalau begini terus.”
“Aku tidak akan apa-apa. Percayalah.”
“Apa maksutmu dengan tidak akan apa-apa? Darahmu terus keluar!” dia mulai membentakku. Aku tahu, dia sangat mengkhawatirkanku. “Ikut aku.” Dia membopongku ke suatu tempat. Ternyata dia membawaku ke air terjun surga. “air ini akan sangat membantu. Setidaknya akan membantu menyumbat lukamu. Celupkan tanganmu ke sini.”
“Argh…” aku berteriak keras. Rasanya lukaku seperti dibakar. Sangat panas. Sampai akhirnya aku tidak kuat menahan dan jatuh pingsan.
***
Badanku terasa lemas. Tanganku masih terasa seperti dibakar. Kupegang dahiku. Ada kompres? Kubuka mataku perlahan. Dimana ini? Yang pastinya ini bukan kamarku. Apa yang terjadi kemarin? O iya, aku pingsan. Kulihat orang disebelahku. Onew sedang tertidur lelap dengan kepala di kasur dan badannya di lantai. Dia ikut terbangun karena gerakanku.
“Di…mana…aku?” suaraku juga terdengar sangat parau.
“Kita di rumahku. Tidak mungkin aku mengantar ke rumahmu. Kasurmu mengambang. Akan sulit bagiku untuk merawatmu. Tidak mungkin kan aku tidur di sebelahmu.” Kata-kata tadi membuat pipiku merah padam.
“A…pa yang…kau…katakan?”aku cuba untuk marah. Tapi, tubuhku terlalu lemas. Onew bangkit dan memegang dahiku. Sekali lagi. Wajahku memerah karena itu.
“Em… sudah tidak demam. Lukamu juga sudah mulai menutup. Tapi ada yang tidak beres dengan suaramu itu. Sebaiknya kau istirahat saja. Akan kutemani kau. Maksutku aku akan menunggumu.”
“Um…” Aku mengangguk dan mulai berbaring lagi. Onew menyelimutiku. Sangat hangat. Tak berapa lama aku sudah terlelap lagi.
***
“Kau apakan teman kami? Kenapa dia jadi seperti ini?” teman-teman Uki marah-marah kepadaku.
“Tenangkan diri kalian.” Kata Taemin. “Maafkan kami ketua. Kami yang memberitahu kalian ada disini. Aku pantas dihukum.”
“Tidak apa-apa. Ini bukansalah kalian. Aku yang bersalah. Mereka pantas memarahiku.” Aku Cuma pasrah, karena ini memang salahku.
“Ada ap… a ini…? Kena…pa rebut sekali…?” Uki sudah terbangun.
“Kau sudah bangun? Maafkan kami karena riibut-ribut.” Kataku padanya.
“Teman…teman… kena…pa kalian… ada di sini?” Uki tampak bingung. Mereka semua berkumpul di sini.
“Astaga! Bahkan suaramu terdengar sangat parau.” Sica menyadarinya. “Kau!” dia menudingku lagi. “Kau sudah membuat temanku seperti ini.”
“Ka…lian. Ini bukan salah…nya. Dia…tidak sa…lah apa…apa. Bahkan mung…kin malah aku… yang me…nyakitinya.” Aku kaget sekali mendengar pembelaannya.
“Sakit apa? Bahkan dia tidak tergores sedikitpun.” Temannya tetap ngotot. Sekarang ganti Dyne yang marah-marah.
“Ya…memang dia…tidak tergores…sedikitpun.tapi aku… sudah melukai… perasaan…nya.” Apakah aku mimpi. Uki bisa merasakan perasaanku yang luka. “Maafkan aku. Maaf karena aku sudah membuat khawatir.”
“Uki, kau anggap apa kami ini? Kami adalah sahabatmu. Apapun untukmu. Kami akan selalu ada untukmu.” Kata Chae.
“Um…aku mengerti. Tapi, aku tidak ingin selalu merepotkan kalian.”
“Aku mengerti.” Mereka mengangguk bersamaan.
“Kalau begitu, kami pamit dulu. Kamu masih butuh istirahat. Ayo teman-teman. Sayang, kita pergi sekarang.” Kata Sica pada teman-temannya dan mengajak pelatihnya pergi. “Tolong jaga dia. Awas kalau terjadi sesuatu lagi padanya.” Dia berbalik lagi dan mengancamku. Aku menangguk.
“Maaf sudah membangunkanmu seperti ini.” Aku meminta maaf padanya.
“Tak apa. seharusnya aku yang meminta maaf padamu. Semua ini karena aku.” Dia balas meminta maaf.
“Bukan ini…”
“Sudahlah. Kalau kau tetap ngotot, tidak akan selesai.” Dia tersenyum tipis. Baru kali ini aku melihat Uki tersenyum dengan tulus. Wajahnya terlihat seperti dewi. Oh, dia memang dewi. “Onew…” dan baru kali ini dia memanggil namaku.
“Ya?”
“Bisakah kau mengantarku ke kamarku. Aku tidak mau terjadi kekacauan lagi disini.”
“Tapi…”
“Tenanglah. Aku baik-baik saja. Tidak akan terjadi sesuatu padaku.”
“Baiklah.” Jawabku lemas. Kugendong dia dalam pelukanku. Dia balas merangkul leherku. Mungkin dia takut terjatuh. Wajahnya ditekuk kedalam. Akan kujaga dia. Aku mulai terbang.
“Boleh aku Tanya sesuatu?” tanyanya sambil mendongakkan wajahnya untuk melihat wajahku.
“Tentu. Tanya saja.”
“Kalau aku adalah dewi, kenapa aku tinggal di bumi? Dan… orang tuaku. Apakah mereka orang tua kandungku?”
“Bukan. Para dewa hanya menitipkan kalian pada orang bumi itu. Mereka hanya orang tua angkatmu. Kau dititipkan di bumi karena pada waktu itu musuh menyerang. Dan para dewa tidak ingin calon penerus dewi diketahui oleh musuh. Maka dari itu, kau dititipkan di bumi dengan orang tua angkatmu.”
“Apakah itu juga berlaku pada teman-temanku?”
“Ya…seperti itulah.”
“Lalu, kalau aku dewi, kenapa aku masih butuh berlatih?”
“Kekuatanmu terlalu lama terkunci. Maka dari itu, kau berlatih untuk membuka pintu kekuatanmu. Atau semacam mengingatkanmu.” Dia menunduk lagi. Sepertinya dia sudah kehabisan pertanyaan dan mulai lelah. Meskipun demamnya sudah turun, tapi tubuhnya masih terlalu lelah untuk melakukan kegiatan. Termasuk berbicara. Dia tertidur dalam pelukanku.
***
Saat aku terbangun aku sudah ada di kamarku sendiri. Kutatap sekelilingku. Sangat sepi dan kososng. Hufh…dimana dia. Aku mencoba bangun dari ranjang. Tapi, tangan tergelincir. Aku terjatuh. Ada sesuatu yang menangkapku. Onew menangkapku. Lagi. Aku sangat payah.
“Hei…kau baru kutinggal sebentar saja sudah mau jatuh lagi. Ternyata kau orang yang berbahaya. Aku jadi tidak bisa meninggalkanmu. Kalau tidak, kau bisa terjatu lagi. Kenapa kau ini sering terjatuh?” Onew tersenyum. Jantungku berdebar dua kali lebih kencang. Perasaan apa ini? Baru kali ini aku seperti ini. Aku menunduk.
“Terima kasih.” Kataku pelan. Bisa dibilang sebuah bisikan. Aku tetap menunduk.
“Dan kau selalu menunduk.”
“Maaf.”
“hahaha” Onew tertawa lagi. “kenapa kau minta maaf? Memangnya kau salah apa?” Onew membaringkanku ke ranjang lagi. “Istirahatlah lagi. Jangan bergerak, kau akan terjatuh lagi. Biar kubuatkan kau makanan dulu. Ingat, jangan bergerak.” Aku baru tahu kalu dia bisa masak. Bahkan, aku yang seorang perempuan saja tidak bisa masak. Aku jadi malu. Sesuai perintah Onew, aku kembali tidur.
***
“Aku tidak tenang meninggalkan dia sendiri dengan ketuamu itu.” Aku tak bisa mengontrol emosiku.
“Chae. Tenanglah…! Mereka tidak akan apa-apa.” Key mencoba menengkanku dengan sabar.
“Bukan mereka, tapi hanya Uki yang aku khawatirkan. Bagaimana kalau…bagaimana kalau…?”
“Sssst… sudahlah. Kau harus percaya pada ketuamu kalau dia takkan apa-apa. Dan aku percaya pada ketuaku. Pada dasarnya, hati ketuaku sangat halus. Lebih halus dari sutra. Apalagi setelah dia bertemu dengan belahan jiwanya.”
“Aku hanya…Aku tidak mengerti.”
“Jangan kau pikirkan lagi.” Key memelukku dengan lembut. Membuat emosi yang tadi siap aku muntahkan menguap. Sungguh ajaib. Dia selalu membuatku tenang.
“Tenanglah Chae. Aku juga tidak akan memaafkan dia kalau dia berani macam-macam.” Sica ikut marah-marah.
“Sayang dan kalian. Tenangkanlah diri kalian, ketua kalian tidak akan apa-apa. Percayalah. Dan cobalah percaya pada ketua kami. Lagian, itu hak mereka. Mereka adalah pasangan yang sudah ditakdirkan. Biarkan semuat terjadi seperti aliran sungai.” Taemin menenangkan semuanya.
“Baiklah.” Dyne dan Sine mengerti. Yang lain Cuma mengangguk.
***
“Uki…” kudengar seseorang memanggil namaku. Kulihat disepan terhampar taman bunga yang sangat luas. Di sana berdiri seseorang. Siapa dia? Aku mencoba mendekat. Anak kecil? Siapa ini?
“Mama…” Ha? Siapa mamanya? Dia berlari ke arahku. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas minta digendong. Anak laki-laki yang sangat lucu.
“Mama gendong.” Ha? Aku mamanya? Sejak kapan.
“Yoru… panggil seseorang di belakang.” Onew? Kenapa dia disini?
“Gendong papa saja ya?” Papa? Yoru? Anakku dengan…Onew?
“Uki…kau tidak apa-apa?…”aku hanya diam.”Uki…Uki…”Aku terbangun. Hufh…ternyata hanya mimpi. Onew dari tadi memanggilku. Tercium bau sedap. Perutku jadi lapar.
“Kau kenapa? Kau mimpi sesuatu?” tanyanya khawatir.
“Ya…sesuatu yang sangat mengagetkan.”
“Kau tahu? Mimpi seorang dewi adalah gambaran masa depan. Kalau kau mimpi sesuatu yang berbahaya. Langsung beritahu aku.” Gambaran masa depan?
“Um…aku akan memberitahumu.”
“Sekarang makanlah dulu.” Onew menyuapiku. Karena buburnya masih panas, dia meniupkannya untukku. Sangat baik. Kukunyah satu dua kali.
“Hmmm…ini enak sekali. Apakah benar kau yang masak?” tanyaku curiga. Ini benar-benar enak.
“Hei…kau tidak percaya ya? Aku memang pandai memasak.” Katanya membanggakan diri.
“Oke…oke…aku kalah. Jadi, di masa depan. Kau yang masak. Oke?” Ups…aku keceplosan.
“Apa?” Onew berhenti menyuapiku. Piringnya hampir jatuh.
“Awas! Piringnya jatuh.” Dengan cekatan Onew menangkapnya lagi. Fiuh… untung bisa kualihkan.
“Wah…maaf. Ayo cepat habiskan makananmu dan istirahat lagi.”
Setelah semua buburnya habis, aku berbaring lagi. Onew menyelimuti diriku. Sangat nyaman.
“Tidurlah. Supaya kau cepat pulih.”
“Um…” Aku mengangguk.
“Aku akan menunggumu di bawah.” Dia turun ke bawah. Yup, dia tidur di sofa. Agak tidak enak rasanya. Pasti tidak enak tidur di sofa. Setalah kenyang, aku merasa sangat ngantuk. Aku pun akhirnya tidur.
***
Hari ini aku bangun lebih awal. Badanku sudah lebih mendingan. Aku sudah tidak lemas lagi dan luka ditanganku sudah mulai mengering. Sebaiknya aku segera siap-siap. Aku turun ke bawah. Kulihat Onew masih terlelap di sofa. Wajahnya sangat imut seperti itu. Kupandangi dia agak lama, sampai aku tersadar. Apa yang sedang kulakuakan? Aku berjalan ke arahnya. Dan mencoba membangunkannya.
“Onew, bangun. Bukankah kita harus latihan?” dia masih tetap tidur. “Hey…bangun. Kita harus latihan sekarang.” Teriakku lebih keras sambil mengguncang-guncang tubuhnya. Akhirnya dia bergeming.
“O…” katanya kaget dan segera berdiri. “Kau mau kemana? Rapi sekali.”
“Bukankah kita harus latihan sekarang?” tanyaku mengingatkan.
“Ow…Ow…tidak bisa. Lukamu baru saja kering. Jika kau banyak bergerak, lukanya akan terbuka lagi. Apalagi, latihanmu kali ini adalah keterampilan main pedang. Tidak, aku tidak bisa membiarkanmu terluka lagi.” Dia bersikeras mencegahku.
“Onew… dengarkan aku! Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera menyelesaikan latihan ini. Bukan saatnya untuk egois. Kau mengerti? Nasib seluruh dunia ada di tangan kita. Aku mohon…” kucoba menyadarkannya secara perlahan.
“Tapi…” Onew berhenti sejenak berfikir. “Baiklah.” Akhirnya dia menyetujui. “Hari ini, kita berlatih bersama teman-temanmu.”
“Bukankah latihan mereka berbeda?”
“Ya… memang. Mereka dibagi menjadi dua kelompok. Sihir dan senjata. Kau mempelajari keduanya. Jadi, kau akan selalu berganti kelompok.”
“Sepeti itu?”
“Baiklah. Kau sudah siap?”
“Yap, aku siap kapan pun.”
Kami terbang bersama ke pulau temanku. Disana mereka seudah berkumpul dan sudah mulai berlatih. Ada yang aneh dari mereka. Sepertinya mereka tidak menyukai kedatangan kami. Lebih tepatnya kedatangan Onew. Mereka menatap tajam kearah Onew.
“Hai… teman-teman.” Sapaku. “bagaimana perkembangan latihan kami.” Chae langsung beralih menatapku dan tersenyum.
“Sangat baik. Kami berkembang sangat cepat.”
“Ya… apalagi yang melatih kami orangnya sangat sabar.” Kata Sine sambil berjalan dan merangkul pinggang Jonghyun. Kelihatannya mereka sangat dekat.
“Betul. Mereka sangat sabar melatih kami. Dan itu sangat membantu.” Dyne melakukan hal yang sama seperti Sine. Merangkul Minho. Ya…pemandangan yang sangat ‘sedap dipandang’.
“Tentu.” Jawabku singkat.
“Ya… kau pasti tau sendiri. Mereka berbeda dari…” Sica berbicara sinis sambil melirik Onew.
“Hmmm?” Aku bertanya konyol aku tak tahu lagi harus berbicara apa. “Oh, aku jadi lupa. Ayo kita berlatih. Kali ini aku bergabung dengan kelompok Chae dan Sica untuk berlatih pedang. Bukankah ini sangat menyenangkan?” kataku mencoba mencairkan suasana.
“Benarkah? Apa dia juga akan ikut?” lirik Sica pada Onew.
“Tentu saja. Dia kan pelatihku. Tidak mungkin aku mengganggu kalian dengan mengambil pelatih kalian.” Godaku.
“Oh…yang benar saja. Tidak akan kami biarkan.” Gurau Chae.
“Baiklah. Ayo kita berlatih.” Kata Key mengingatkan.
“Tenanglah sayang. Kau sangat tidak sabaran.” Sangat lucu melihat kedekatan mereka. Tapi, memang seperti itulah. Kami berjajar rapi. Memegang sebilah pedang yang sangat berat dan tajam. Tanganku sedikit gemetar mengingat kejadian waktu logam dingin ini menembus tanganku.
“Tenanglah. Aku ada bersamamu. Jangan takut.” Bisik Onew dibelakangku. Aku mengumpulkan keberanianku. Dan kini aku bisa berkonsentrasi penuh.
Kami mulai menebas-nebaskan pedang ke angin. Terus begitu, sampai kita dilatih untuk duel one by one. Kami melawan pelatih kami masing-masing. Seperti duel sungguhan sangat menegangkan. Yang pertama maju adalah Sica dengan Taemin.
“Majulah duluan.” Kata Taemin.
“Jangan terlalu memberiku banyak kesempatan.” Senyumnya picik. Secepat kilat, dia sudah sampai di depan Taemin. Menebaskan pedangnya yang langsung ditangkis oleh Taemin. Mereka sangat cepat. Seperti kilat yang menyambar-nyambar. Mataku memandang kagum.
“Mereka adalah spesialis dalam kecepatan.” Kata Onew. O… pantas mereka sangat cepat. Mataku masih tetap menatap pemandangan luar biasa itu. Kau pasti bisa melakukannya. Mereka bisa begitu karena mereka sudah berlatih lama.” Mereka terus seperti itu. Menyerang dan menangkis. Sampai akhir, hasilnya adalah seri. Begitu menakjubkan. Sekarang giliran Chae dan key. Sebelum berduel mereka saling tersenyum. Em… sangat pengertian. Mereka hanya diam berhadapan. Lama… sekali.
“Apa yang mereka lakukan?” tanyaku pada Onew.
“Mereka adalah ahli strategi. Mereka saling menunggu. Mencari kelemahan lawan. Baru setelah itu mereka akan menyerang.”
Tak lama kemudian, tiba-tiba Chae menghilang dari tempatnya dan muncul di belakan Key.
“Sangat bagus, sayang.” Key dengan gesit menangkisnya.
“Ini belum selasai. Jangan lengah. Oke?” kata Chae diikuti kerlingan genitnya. Dia menghilang lagi barpindah ke depan Key. Key segara menangkisnya. Terus seperti itu. Berputar mengelilingi Key. Seperti tarian yang sangat lugas. Ketika tiba-tiba, tanpa diduga Chae menyerangnya dari atas. Tapi, key tetap saja bisa menangkisnya. Mereka benar-benar pasangan yang pas. Indah sekali. Ternyata itu adalah akhir dari latihan mereka. Kita mendapatkan seri lagi. Aku tidak yakin bisa seri melawan Onew.
“Percaya dirilah.” Bisik Onew lagi. Kata-katanya sedikit membuatku tenang. Hanya sedikit. Kami saling berhadapan dan saling mengarahkan pedang. Kami diam untuk waktu yang cukup lama. Dan…dalam sekejap, aku mulai menyerangnya. Dia dengan tenang menangkisnya. Tenanglah. Aku pasti bisa melakukannya. Bisikku. Aku terus berfikir sambil menyeramg. Terus kulakukan dengan kecepatan tinggi. Aku berlari dengan kecepatan tinggi dari depannya dan tiba-tiba, aku menghilang di belakangnya. Kuhunuskan pedangku. Sebelum mengenai lehernya, kuhentikan gerakanku. Onew terkunci ditempatnya. Onew tersenyum.
“Kau yang menang.” Semua tepuk tangan. Aku juga belum percaya bisa mengalahkannya. Bahkan, sebelumnya, aku tidak memiliki kepercayaan diri sama sekali. Aku kembali ke tempat duduk untuk beristirahat. “Kau capek?” Tanya Onew menghampiriku.
“Em…” Aku hanya mengangguk sambil mengatur nafas.
“Kau benar-benar hebat.” Katanya lagi.
“Eng?” tanyaku tidak mengerti.
“Ya…hanya dengan melihat saja, kau langsung bisa melakukannya. Apalagi, kau bisa mengimprofisasinya menjadi gerakan yang menakjubkan dan sulit ditebak.”
“Uki…” teman-temanku menghampiriku. “Kau sangat hebat tadi. Sampai-sampai mulut kami tadi menganga melihat kamu.” kata Chae menggebu-gebu.
“Benar. Kami sangat takjub tadi.” Kata Taemin.
“Mungkin kami, juga bisa kalah melawanmu.” Key menyanjung. Sebagai wakil ketua, suatu kehormatan dia menyanjungkku. Tapi, kenapa mereka sangat formal ketika berbicara padaku?
“Tidak seperti itu. Ini pasti Cuma kebetulan.” Elakku. “Lagian. Jangan berbicara begitu formal kepadaku.”
“Kami tidak bisa.” Tolak Key. “kami harus seperti ini jika berbicara pada ketua.”
“Hey…aku bukan ketua kalian.” Candaku.
“Suatu hari. Kau juga akan menjadi ketua kami.” Kata Taemin. Aku semakin tidak mengerti. Apa lagi teman-temanku semua cekikikan. Ada apa dengan mereka. Bukannya mereka tadi tidak menerima kehadiran Onew?
“Seperti itu ya?” kataku linglung. Sekarang capekku sudah menghilang. Kami terus bercanda. Teman kami yang berlatih sihir juga sduah ikut bergabung. Suasana semakin ramai. Ternyata pelatih-pelatih itu juga bisa humor. Aku saja tertawa terus mendengarkan lelucon mereka. Aku jadi semakin akrab dengan mereka. Tanpa terasa, matahari sudah mulai terbenam.
“Sudah saatnya kita pulang.” Onew mengingatkan.
“Ah…benar juga.” Aku baru sadar. “kita lanjutkan besok lagi. Da…” aku terbang berdampingan dengan Onew. “Hey…apa maksutnya mereka berkata ‘Aku akan menjadi ketuanya suatu saat nanti’? aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.”
“Em…itu tergantung kamu. hanya kamu yang tau jawabannya. Ya kan?” lah? Ni malah Tanya balik ke aku. Kalu aku tau jawabannya, nggak mungkin dong aku Tanya ma dia. Trus, apa gunanya aku Tanya dong?
“Hahahaha. Suatu saat kau pasti akan tau jawabannya dan mengerti maksutnya.”
“Hei…” Teriakku marah. “Kau selalu melakukan itu. Pergi dari pikiranku sekarang juga. Hus…hus…” usirku.
“Itu salah kamu sendiri. Kanapa kau memperbolehkan aku membaca pikiranmu? Sudah kubilang. Kau harus membentengi pikiranmu. Kau masih sangat ceroboh.” Bukannya nyenengin, kata-katanya malah bikin bibirku tambah manyun. “liat tuh bibir kamu! lebih panjang dari hidung kamu. hahaha…” tawanya bartambah keras saja. Huh… nyebelin. Bahkan, setelah aku masuk ke kamar, tawanya masih terdengar dengan jelas. Sangat jelas sekali. Huh…daripada mati jengkel. Mendingan aku tinggal tidur aja. Masa bodo.
***
“Ternyata Onew tak seburuk seperti yang kita pikirkan.” Kataku mengakui Onew dan mulai bisa menerimanya.
“Sudah kubilang kan Sica? Ketua kami tidak seperti itu. Dia sangat bertanggung jawab. Kau sih… tidak pernah mau mendengarkan penjelasanku.” Taemin mencubit pipiku.
“Ya…aku tau itu. Dia cukup kuat untuk melindungi Uki. Tapi, tetap saja Uki masih lebih kuat daripada dia.” Yah… si Chae ini niatnya mau muji apa ngejek? Nggak ngerti deh.
“Memang seperti yang kita liat. Tapi tetap saja sayang. Ketua kami cukup kuat untuk melindungi Uki.” Key mencoba menjelaskannya pada Chae. “Uki memang benar-benar hebat. Permainan pedanganya sanagt indah.” kata key sambil menerawang.
“Ehem…terus aja muji dia.” Sindir Chae.
“Tenang saja sayang. Aku nggak bakal nyerong kok. Hehehehe.”
“Ini memang kenyataannya” Minho setuju. “Selain kecepatannya yang luar biasa, strateginya juga sulit ditebak.” Kata Minho memancarkan wajah kekaguman.
“Aku juga melihatnya dari kejauhan.” Jonghyun setuju.
“Semoga saja Onew cukup kuat dan bisa mengimbanginya untuk melindungi Uki.” Harap Sica. Sekarang dia sudah mulai bisa menerima Onew.
“Gerakannya sangat indah. Seperti tarian pencabut nyawa. Lugas dan penuh dengan ketegasan. Bahkan, kami yang seorang penyihir bisa kagum padanya.” Jonghyun menimpali.
“Teman kami memang hebat.” Jurus lebay Sine sudah mulai.
“Tapi kita tidak boleh kalah. Kita harus bisa mengimbangi Uki.” Kataku semangat berapi-api.
“Benar. Tanpa kalian, Uki tidak bisa apa-apa. Dia juga akan butuh bantuan kalian.” Kata Taemin. Juga penuh dengan semangat. Malam ini, kami membicarakan kemampuan Uki. Selain itu juga, tentang perkembangan hubungan Onew dan Uki. Sebenarnya, Uki tau perasaan Onew atau tidak sih? Bikin gemes deh.
***
Bangun tidur, badanku terasa lebih ringan. Masalah yang kemarin? Sudah nggak ingat lagi tuh. Tapi awas aja kalau Onew berani ngingetin. Aku tusuk-tusuk dia pake pedang.
“Hai putri pemimpi.” Hah…aku kaget setengah hidup. Baru buka pintu, Onew udah ada di depan. Nyandar ke tiang pintu. Ni orang gila kali ya…
“Pe…pemimpi?” tanyaku nggak jelas.
“Iya. Jangan kebanyakan mimpi bisa nusuk-nusuk aku pake pedang. Nggak bakal bisa. Hahahaha” kami sudah mulai berangkat. Seperti biasa. Kami terbang berdampingan.
“Ng…nggak kok.” Jawabku tergagap. Kenapa jadi gagap begini?
“Hello…baru aku ingetin tadi malam. Meski kamu ada di dalam kamar, aku masih bisa baca pikiranmu.”
“Hufh…” kuhembuskan nafas panjang tanda aku menyerah. “Oke-oke. Lain kali, kau tidak akan kubiarkan masuk kedalam pikiranku lagi.”
“Itu lebih baik.” Katanya senang.
Hari ini, kami sudah pindah jalur. Kemarin latihan pedang. Untuk hari ini, kami akan latihan sihir. Semoga saja bisa menggunakannya. Cukup sulit memikirkannya. Di luar akal sehatku.
Seperti biasa, teman-teman sudah menungguku di sana. Bedanya, mereka kemarin sudah berlatih lebih dahulu. Tapi sekarang, mereka menungguku untuk memulai latihan. Hmmm… sangat setia kawan.
“Uki, kau sudah datang.” Sambut Dyne.
“Yep. Aku juga sudah siap latihan.”
“Hati-hatilah Uki.” Syne mengingatkan. “Sihir tak sesederhana seperti yang kau pikirkan.”
“Tentu saja. Aku sudah mengerti.” Aku mengangguk.
“Untuk memulai latihan ini, mereka akan mempraktikan dulu. Karena mereka sudah berlatih lebih dahulu.” Jelas Onew.
Dyne dan Minho maju lebih dahulu. Aku kira, sihir akan membutuhkan sebuah tongkat ajaib. Ternyata dugaanku salah. Mereka hanya menggunakan tangan kosong. Minho mulai menyerang Dyne, tapi ada sebuah pelindung yang muncul. Sehingga serangan itu tidak sampai ke Dyne. Kulihat Dyne mengarahkan tangannya ke atas. Tidak muncul apa-apa. Dengan cepat kilat, Dyne merapal mantra untuk mengunci Minho. Tiba-tiba, dari atas awan tadi muncul berjuta api. Seperti jutaan meteor jatuh di atas Minho. Minho merapal mantra lagi. Kupejamkan mataku karena takut. Setelah selesai, kubuka lagi mataku. Ternyata Minho tidak tergores sedikitpun. Waw…benar-benar hebat. Aku bertepuk tangan senang.
Sekarang giliran Syne dan Jonghyun. Keduanya terdiam sambil merapal mantra. Tak berapa lama, muncul monster-monster kecil dari belakang mereka. Monster-monster itu saling menyerang. Kemudian menghilang. Seri.
“Ini masih awalnya. Jangan lengah.” Kata Syne mengingatkan pada Jonghyun.
Mereka merapal mantra lagi. Kali ini, muncul makhluk yang lebih besar. Sebangsa ogre. Tapi, mereka menghilang lagi. Syne dan Jonghyun tetap gigih dan tidak menyerah. Mereka terus merapal mantra. Dan kali ini muncul dua ekor naga. Mereka siap menyemburkan api dari mulutnya. Siapakah diantara mereka yang akan menang? Benturan api itu menyebabkan letusan yang sangat hebat. Dan letusan itu menjadi letusan yang lebih kecil. Seperti kembang api. Sangat indah. aku bertepuk tangan lagi. Syne membungkukkan badan.
Sekarang giliranku. Hufh… ini benar-benar gila.
“Siapkanlah dirimu.” Kata Onew.
“Um…” Aku mengangguk. Kutundukkan kepalaku. Kuhirup nafas dalam-dalam kemudian kuhembuskan perlahan. “Aku sudah siap.”
Onew sudah hamper melancarkan mantra. “Tunggu sebentar.” Potongku. Onew tidak jadi menyerangku.
“Ada apa lagi?”
“Mantra apa yang harus kurapal. Aku tidak tau mantra apa-apa.”
“Oh…” Onew tertawa. “Mantra hanyalah kiasan. Intinya, kau seperti berdoa. Memohon sesuatu. Tak perlu kau ucapkan. Kau batin saja. Dan apa yang kau batin akan menjadi kenyataan.”
“Oke. Aku sudah mengerti.”
Kami berdua sudah mulai berkonsentrasi lagi. Kubatin sesuatu. Tiba-tiba muncul api dari tanganku. Wow…benar-benar terjadi. Onew menangkisnya dengan hebat. Kuluncurkan lagi api dari tanganku. Tapi, tiba-tiba menghilang sebelum mencapai Onew. Kurapal mantra lagi. Keluarlah Lord Shadow. Dia akan melancarkan sesuatu dari tongkat yang dibawanya itu. Onew hanya memerhatikan apa yang ada di depannya. Dia bersiap menangkis serangan itu. Tapi, api yang kulontarkan sebelumnya, muncul dari belakangnya. Onew yang tidak sadar, terkena serangan itu dan terkena serangan Lord Shadow sekaligus. Setelah melontarkan serangan, Lord Shadow itupun menghilang. Kuhampiri Onew. Dia tidak terluka. Tenyata, tadi dia masih sempat merapal mantra untuk melindungi dirinya. Hufh… syukurlah. Kami beristirahat.
“Itu benra-benar luar biasa.” Kata Jonghyun kagum.
“Tak kusangka kau akan cepat menguasainya.” Kata Dyne tak percaya.
“Kalian tahu kenapa Uki selalu kutaruh diakhir?” Tanya Onew.
“Entahlah.” semua menggeleng.
“Aku tidak perlu mengajarkan apa-apa padanya. Karena hanya dengan melihat, dia bisa menangkapnya. Dia hanya butuh contoh dan mempraktekannya.” Jelas Onew. Oh, mukaku sekarang sudah seperti kepiting rebus.
“Benar juga. Dia belum pernah berlatih sihir sekalipun. Tapi, dia sangat hebat tadi.” Minho mengungkapkan kenyataan.
“Sudahlah.” Kucoba menghentikannya. “Jangan memujiku terus. Aku bisa terbang seperti balon.” Gurauku. Mereka semua jadi tertawa. Aku juga ikut tertawa.
Sekarang sudah saatnya kita kembali. Tak kusangka, belajar sihir akan lebih melelahkan disbanding belajar pedang. Tapi, menggunakan sihir sangat menyenangkan. Seperti dongeng-dongeng yang pernah kudengar dari ibu. Hufh…aku jadi rindu pada ibu.
“Kenapa kau murung?” Suara Onew menyadarkanku dari lamunan. Kami sedang dalam perjalanan pulang.
“Eng…?” tanyaku ling lung.
“Apa kau tadi tidak mendengarkanku?”
“Maaf.”
“Kelihatannya kau memang sedang ada masalah. Ada apa? Ceritakan saja padaku. Tidak apa-apa.” Sorot matanya menenangkan. Memohon, tapi tidak menuntut.
“Tidak apa-apa. Aku hanya teringat pada ibuku.” Aku tersenyum tipis. “Bukankah ini sangat lucu?”
“Um?” wajah Onew sarat pertanyaan. Sangat lucu. Sampai aku ingin mencubit pipinya. Hahaha…
“Yah. Lucu. Dulu, waktu aku baru disini, aku sangat marah padamu. Dulu, aku pikir, aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu.” Onew mendengarkan dengan sabar. “tapi…tapi sekarang, aku bahkan sangat dekat denganmu.”
“Dekat…dalam arti apa?” Onew bertanya malu. Meskipun suaranya pelan, tapi itu praktis membuat wajahku memerah.
“Um? Dekat…dekat…dekat…” yang bisa kulakukan hanya mengulang-ulang kata. Apa yang harus kulakukan? Bukan. Apa yang harus kukatakan?
“Sudahlah. Tidak usah kau jawab sekarang. Aku masih kuat menunggu beberapa lama lagi.” Onew tersenyum. Bukannya membuatku tenang, malah membuatku semakin gelagapan. Dasar! Sengaja. Tunggu sebentar. Jadi maksut dia tadi…maksutnya…dia nembak aku? Argh… mengetahui kenyataan itu, aku semakin salah tingkah.
“Hei. Kau tidak apa-apa? Kenapa kau bergerak ke kanan-kiri begitu? Belajar cara terbang zig-zag ya?”
“Ha? Oh, iya-iya. Lagi belajar. Keren kan?” kupraktikan lagi gayaku tadi. Ah…malunya.
***
“Hari ini kita akan latihan sendiri?”
“Kita tidak latihan bersama mereka? Kenapa?” tanyaku bodoh
“Apa kau mau mengulangi pelajaranmu lagi? Kau sudah menguasai semuanya. Sekarang ada lain yang harus kau pelajari.”
“Bukankah itu sudah semuanya?”
“Kau akan sangat memerlukan ini. Ini akan sangat memudahkanmu. Perpindahan dimensi. Menyingkat waktu jika kau ingin berpindah-pindah.” Jelasnya. “Oya. Bukankah kau kemarin sudah bisa melakukannya? Waktu latihan sihir.” Onew mencoba mengingatkanku.
“Kapan? Aku tak ingat pernah melakukannya.”
“Em…jadi begitu.” Onew mengelus-elus janggutnya. Ugh, gaya sekali dia. Tapi, aku tak bisa menyangkalnya kalu itu membuatku terpesona. “Kau melakukannya selama ini dengan tidak sadar. Kau sudah menggunakannya berkali-kali. Seperti yang kau lakukan saat berlatih pedang. Kau tiba-tiba sudah berada di belakangku. Dan waktu kita berlati sihir. Api yang kau lontarkan dari depan menghilang begitu saja, tapi kenapa bisa muncul dari belakangku. Ya seperti itulah.” Onew mencoba menjelaskan. Em…aku sedikit mengerti. “Sekarang cobalah lagi.” Suruhnya.
“Aku harus bagaimana? Aku tidak tahu caranya.”
“Ini mungkin terdengar rumit. Tapi sebenarnya, ini semudah dengan sihir. Bayangkan tempat yang ingin kau tuju. Dalam seketika kau akan ada di sana.”
Aku mengangguk mengerti. Kuawali dengan membayangkan tempat yang ingin kutuju. Aku coba untuk berkonsentrasi. Wah… dalam kedipan mata saja aku sudah berpindah tempat. Sekarang aku sudah berada di air terjun surga. Menarik. Tapi…
“ONEW… bagaimana caraku kembali?” Aku berteriak tak jelas. Bagaimana ini. Aku belum terbiasa. Akan kucoba berteloprtasi lagi. Kupejamkan mata, lalu kubuka lagi. Nggak mungkin. Aku belum berpindah. Kupejamkan mata dan kubuka berkali-kali. Tapi, keadaan tidak berubah. Baiklah kalau begitu, aku terbang saja. Ugh…aku terbang. Tapi, hanya naik satu senti, aku terjatuh lagi. Oh, sebegitu besarkah tenaga yang dihabiskan untuk berteleportasi?
Ugh…mau bagaimana lagi. Yang bisa kulakukan adalah menunggu keajaiban datang padaku. Aku duduk termenung sendirian. Yah…air terjun surga memang jarang dikunjungi. Aku sendirian. Kubenamkan kepalaku di antara kakiku.
***
Kenapa dia tidak kembali-kembali. Pikirku. Apakah dia pergi ke tempat teman-temannya dan keasikan ngobrol? Sampai tak ingat untuk kembali ke sini. Ah…dia pikir aku ini apa? Suruh menunggu dia, sedangkan dia keasikan ngobrol. Uh, akan kucari dia dan kuseret dia kembali. Dasar menyusahkan. Tujuan pertama ke tempat teman-temannya. Aku terbang ke sana. Kulihat disana mereka masih berlatih. Mereka terlihat bingung melihatku datang sendiri.
“Apa kalian tahu dimana Uki?” tanyaku begitu turun ke tanah.
“Memang ada apa dengan Uki? Dimana dia?” Tanya Sica cemas. Oke, dengan pertanyaan itu, kusimpulkan dia tidak ada disini. Kemana dia. Aku terus berfikir.
“Kenapa kau tidak menjawab. Dimana Uki?” sekarang ganti Chae yang bertanya.
“Maaf. Aku harus pergi sekarang. Akan kukabari nanti.” Pamitku pergi. Tidak ada waktu meladeni pertanyaan mereka. Yang kupikirkan hanya untuk segera menemukan Uki.
“Uki…Uki…” kupanggil-panggil namanya. Kutanya pada orang yang lewat satu per satu. Tapi, hasilnya. Nihil. Kemana lagi harus kucari dia. Bagaimana kalau terjadi apa-apa padanya. Ini kedua kalinya aku melakukan kesalahan. Dan ini membuatku semakin gila. Aku terus berpikir kemugkinan dia pergi. Hanya ada satu kemungkinan. Dia pasti kesana. Ya, dia pasti kesana. Tanpa pikir panjang, aku langsung terbang ke sana dengan kecepatan tinggi.
Kulihat dari kejauhan. Seseorang duduk dengan kepala tertelungkup. Hanya ada dia di sana. Di air terjun surga. Itu pasti dia. Sangat lega melihatnya baik-baik saja. Dasar ceroboh! Segera saja kuhampiri dia di sana.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku bercanda. Dia mendongakkan kepalanya perlahan. Wajahnya terlihat sangat lelah. “Lihatlah wajahmu. Sangat mengerikan.” Candaku lagi. Tiba-tiba, setetes air mata jatuh hingga menjadi tangisan. Ada apa ini? Secara naluriah, aku langsung memeluknya. Mencoba untuk menenangkannya.
“Kau jahat sekali.” Katanya di sela-sela tangis. “Kenapa kau tidak bilang kalau ‘itu’ menghabiskan banyak tenaga? Bagaimana kalau aku tidak bisa kembali.” Dia marah-marah tanpa henti kepadaku. Melihatnya seperti itu, sangatlah lucu. Wajahnya penuh air mata, tapi masih saja sempat memarahiku. “Apa yang lucu? Kenapa kau menertawakan aku? Hello…aku hampir saja hilang. Apa itu……” sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, kutarik dia dalam pelukanku.
“Kau tak usah takut. Karena ada aku disini.” Bisikku lembut. Dia langsung terdiam tegang. Lama sekali dalam diam. Dia langsung mendorongku. Hahaha, kelihatannya dia sudah mulai sadar.
“Apa yang kau lakukan? Jangan mendekat.” Cegahnya ketika aku akan mendekatinya lagi.
“Memang kau tak mau pulang?” tanyaku datar. “bagaimana aku bisa membawamu kalau aku tidak mendekat?” dia berkedip satu dua kali.
“Oh…ya sudah. Cepat bawa aku pulang.” Langsung kutarik dalam pelukanku. Dia sangat tegang. Kami berdua terbang bersama untuk pulang.
“hahaha.”
“apa yang lucu?” tanyanya dengan wajah cemberut.
“Wajahmu sangat lucu. Matamu bengkak, pipimu merah, mulutmu itu…hahaha, panjang sekali. Seperti ikan koi.”
“jangan ketawa lagi!” bentaknya. Itu malah membuatku semakin tertawa kencang. Akhirnya dia memilih diam sambil tetap cemberut.
“Nah, kita sudah sampai. Apa kau ingin langsung istirahat?” dia hanya yang mangangguk lalu berlalu masuk kamarnya. Kucoba membaca pikirannya. Hah? Dia tidak melindungi pikirannya. Baiklah. Ini sangat bagus. “Daripada di luar bersama orang aneh sepertimu. Lebih baik aku tidur saja.” “HEI! Apa maksutnya ‘orang aneh’?” ganti aku yang berteriak dari luar. Terdengar suara tawa dari dalam kamar. Sialan! Tadi dia memang sengaja membuka pikirannya agar aku bisa membacanya. Dasar! Awas saja kau.
***
“Berapa hari lagi yang tersisa sebelum bangsa Hollow akan ke sini?”
“Sekitar satu minggu. Itu waktu yang paling lama. Mungkin, dalam waktu dekat ini, mereka akan datang. Ini tak bisa diperkirakan.” Key memperkirakan.
“Ini sangat gawat. Apa lagi dengan keadaan kami yang belum siap seperti ini. Akan lebih banyak peluang bagi mereka untuk menyerang kita. Apa yang harus kulakukan?” Key menepuk pundakku dengan lembut.
“Kau jangan menanggungnya sendiri. Ini terlalu berat untukmu. Ingat, ada aku disini. Aku akan selalu ada di sampingmu.”
“Lalu bagaimana dengan yang lain?” ketiga teman yang lainnya sedang keluar entah kemana.
“Kau terlalu memikirkannya.” Key tersenyum lembut. Membuat hatiku yang sedang bingung sedikit menenang. “Mereka juga sama bingungnya dengamu, Chae. Mereka pasti juga sedang memikirkan sesuatu sekarang ini. Makanya mereka keluar sekarang.
“Apakah kita semua akan baik-baik saja? Apakah setelah peperangan itu selesai, kita akan tetap seperti ini? Aku sangat takut kehilanganmu.”
“Semua akan tetap sama. Seperti semula. Tidak ada yang berubah. Aku juga takut kehilanganmu.” Tiba-tiba mata Key menjadi sendu. Ternyata dia juga memikirkanku. “Aku akan selalu mengikutimu kemanapun. Tenang saja. Aku akan selalu menemanimu. Dimanapun.” Jawabnya lemas. Seperti dia telah menanggung banyak beban. Kemudian Key memelukku dengan lembut. Akhirnya, kami mencoba menenangkan satu sama lain.
***
“Sine, kenapa kau murung lagi?” Tanya Jonghyun membangunkanku dari lamunan. “Apa kau memikirkan Uki lagi?”
“Oh, tidak.” Jawabku gelagapan. Semua temanku menatapku bingung. “Aku hanya memikirkan… apa…yang harus kita lakukan saat peperangan tiba? Aku sangat takut. Sebenarnya, aku mengajak kalian keluar karena takut menambah beban Chae dan Key. Karena mereka adalah ahli strategi kita.”
“Kami semua juga takut jika memikirkan itu. Tapi saat ini, yang bisa kita lakukan hanyalah berlatih lebih keras.” Kata Dyne menanggapi. Meski dalam kata-katanya terdengar gugup, tapi dia sudah berusaha tegar.
“Benar, ini bukan tentang kalian atau kami. Ini adalah tentang kita. Jika kita bersatu, sesuatu yang tidak mungkin, akan menjadi mungkin.” Kata Jonghyun penuh kelembutan. Benar kata Jonghyun. Aku tersenyum tipis padanya. Kemudian, senyumku menghilang. Memikirkan hal yang tidak ingin itu terjadi.
“Lalu, apa yang akan terjadi setelah peperangan? Apa kita akan tetap seperti ini? Apa kita…” pertanyaanku terhenti karena tak kuat lagi menahan tangis. Jonghyun langsung saja memelukku.
“Tenang saja. Aku akan selalu ada di sisimu. Dimanapun kau berada. Aku akan selalu ada untukmu.” Tangisku semakin meledak. Tapi, sekarang aku lebih tenang, karena tahu bahwa Jonghyun akan selalu ada untukku.
“Sebenarnya. Kami juga sangat takut. Bahkan, kekuatan kita belum sempurna untuk melawan mereka.” Dyne menanggapi.
“Benar, memang. Kekuatan kalian memang belum sempurna. Tapi, ketika kalian terdesak, kekuatan tersembunyi kalian akan keluar.” Kata Minho.
“Apa maksutmu?” Tanya Dyne tak mengerti. “Apa kau kira dengan kekuatan sekarang ini, sudah cukup untuk melawan mereka?” bentaknya penuh kemarahan.
“Kalian. Hentikan! Bukan saatnya kita bertengkar. Jangan sampai kita terpecah.” Sica mencoba melerai.
“Bukan begitu maksutku. Kita memang harus tetap berlatih terus untuk meningkatkan kekuatan kalian.” Minho mencoba menjelaskan lagi.
“Minho memang tidak pintar untuk menenangkan orang. Memang seperti itulah caranya untuk membuat kita tenang. Setidaknya, dia sudah berusaha untukmu, Dyne.” Tatapan Dyne melunak.
“Maafkan aku.” Katanya lemah.
“Tidak apa-apa. Bahkan kau tidak ingat. Kalau aku akan selalu di sampingmu.” Minho tersenyum. Begitu juga Dyne.
“Benar. Jika kita selalu bersama, kemungkinan untuk menang semakin besar. Bukan begitu, Sica?” Tanya Taemin.
“Um…Kita pasti akan menang.” Kami semua akhirnya tertawa. Kami akan menghadapinya bersama dengan teman. Karena kami adalah satu.
***
Hari ini dan seterusnya adalah waktu yang kita gunakan untuk merundingkan strategi. Tidak ada banyak waktu lagi. Maka dari itu, sekarang ini, kita semua berkumpul di gedung pertemuan. Tempat untuk mengadakan rapat penting. Termasuk sekarang ini. Sangat penting.
“Berapa banayk waktu lagi yang kita punya, Key?” Tanya Onew tegas.
“Kita hanya punya waktu satu minggu saja. Itu batas terlama. Ada kemungkinan mereka datang lebiah awal. Mungkin besok atau lusa. Aku tidak bisa memperkirakannya.”
“Baiklah. Sekarang kita harus menyusun strategi untuk menyerang mereka. Key, apa kau sudah punya gambaran untuk strategi kita kali ini?”
“Begini ketua. Bangsa kita memiliki 2 pintu gerbang. Pasti mereka akan membagi 2 pasukannya. Dan dari salah satu pasukan itu, akan ada rajanya. Kita juga akan membagi 2 pasukan kita. Yang pasti, ketua dan Uki akan menghadapi raja mereka.” Kami semua mengangguk setuju.
“Lanjutkan!” pinta Onew.
“Karena prajurit yang mendampingi raja pasti lebih kuat dari yang lain, maka aku dan Chae akan ikut kelompok ketua. Sedangkan yang lain, akan berjaga di pintu gerbang satunya lagi. Apa ada yang keberata?” Tanya Key meminta pendapat pada yang lain.
“Tapi, apa itu cukup? Maksutku kelompok kalian. Kalian bahkan tidak memiliki kelompok penyihir.” Protes Syne.
“Memang di kelompok kami tidak ada penyihir. Tapi, hanya dengan adanya Uki saja itu sudah cukup. Dia pengendali segalanya.”
“Tapi, apa itu tidak akan merepotkan Uki?” Sekarang ganti Dyne yang angkat bicara.
“Sedikit menyusahkan memang benar. Tapi, kelompok penyihir akan lebih mudah digunakan untuk menghadapi pasukan yang sangat banyak.” Sebelum ada yang berkomentar lagi, Key langsung melanjutkan. “Benar, raja juga akan diikuti oleh prajuri yang lebih kuat. Tapi, itu tidak akan banyak. Karena mereka lebih kuat. Makanya, mereka hanya akan membawa seperlunya. Tidak untuk gerbang satunya. Akan lebih banyak prajurit. Maka dari itu. Kami kerahkan semua penyihir di sana. Apa kalian semua mengerti.” Penjelasan Key membungkam semua orang. Chae tersenyum bangga dengan penjelasan Key.
“Baiklah. Kita akan menjalankannya sesuai rencana Key. Uki, apa kau tak apa-apa mendouble pekerjaan?” tanyanya padaku.
“Um…aku rasa aku tidak akan apa-apa. Rencana ini sangat sempurna.” Key tersenyum.
“Baiklah kalau begitu. Kita akan mulai siap di gerbang mulai besok. Apa ada pertanyaan lagi. Kalau tidak ada, kita akhiri sekian rapat kali ini.” Rapatpun akhirnya berakhir. Mendengar strategi yang diungkapkan Key tadi saja sudah membuatku merinding. Apa lagi kalau aku menghadapinya sungguhan.
***
Matahari masih segan menampakan dirinya. Di luar masih sangat gelap. Tapi, kami sudah bersiap-siap untuk menjaga gerbang. Tidak seperti seorang pengelana, kami hanya memabawa alat seadanya. Kami tidak butuh apapun. Hanya mental kami yang sangat kami butuhkan. Yang lain tidak terlalu penting.
“Apa kau sudah siap?” Tanya Onew meyakinkan. Oya. Satu lagi. Kita tidak menggunakan baju zirah seperti di film-film action. Bahkan, kalau bisa dibilang, pakaian kami sangat minimalis.
“Ya. Kita berangkat sekarang? Mungkin yang lain sudah menunggu di air terjun surga.” Sebelum kami berpencar, kami berkumpul di air terjun.
“Baiklah. Kita berangkat sekarang.” Aku dan Onew akhirnya berangkat. Hembusan angin di luar sangat dingin. Bahkan bisa menembus sweater tebalku. Tapi, ini tidak akan menurunkan semangatku. Ya, aku harus tetap kuat.
Kulihat, mereka semua sudah berkumpul. Mereka juga seperti kami. Membawa alat seperlunya.
“Apakah kalian semua sudah siap?” Tanya Onew lagi sebagai seorang ketua.
“Kami sudah siap ketua.” Jawab mereka bersamaan.
“Bagaimana dengan kalian?” Sekarang Onew bertanya kepada keempat temanku.
“Kami sudah siap.” Jawab mereka. Dari matanya terpancar kesiapan mental dan ketakutan bergabung jadi satu.
“Baiklah. Sekarang sudah saatnya kita berpencar.” Kata Onew lagi. Sebelum pergi, Key menambahi.
“Kita harus melindungi tempat ini. Melindungi penduduk Conha. Maka dari itu, kita harus berusaha sekuat tenaga.” Semua mengangguk menegrti. Akhirnya kita berpencar.
Disisi gerbang terdapat benteng untuk tempat berjaga. Di sana kami akan berjaga. Tempatnya terbuka, sehingga kami bisa mengawasi dengan jelas. Di benteng tersebut terdapat dua ruangan yang hanya terpisahkan dengan sekat.
“masing-masing dari kita akan tinggal di salah satu sekat ini. Key, kau dan Chae tinggal di sebelah. Aku dan Uki akan tinggal disini.”
“Tunggu-tunggu. Apa maksutnya itu?” tanyaku gelagapan.
“Kita tidak akan tidur, Uki. Kita akan berjaga seharian. Apa yang kau pikirkan?” Tanya Onew curiga. Langsung saja, kulindungi pikiranku sebelum Onew sempat membacanya. Uh… malu.
“Apakah mereka akan datang secepat itu?” tanyaku mencoba mengalihkan perhatian. Selain itu, memang pertanyaan ini yang selalu mengganggu pikiranku.
“Mungkin ya dan mungkin tidak.” Seketika wajah Onew berubah jadi serius. “Kami tak bisa memperkirakan dengan pasti kapan mereka datang.”
“Bagaimana kalau mereka menyerang kita pada saat kita lengah?” pikirku semakin kea rah yang paling mengerikan.
“Maka dari itu, kita harus tetap waspada. Meskipun mereka tidak datang hari ini.”
“Seperti itu?” dengusku.
“Tenang saja. Aku akan selalu melindungimu.” Aneh, dengan mendengar kata-kata Onew yang hanya satu baris itu seketika membuatku tenang.
“Aku tak butuh kau lindungi. Lagian, aku tidak mau merepotkan orang lain.” Kataku salah tingkah. Onew hanya tertawa renyah. Syukurlah, dia masih bisa tertawa. Aku senang melihat dia sedang tertawa. Melihatnya tertawa seperti itu memberikan aku harapan baru.
***
Key sedang membentangkan karpet agar kita nyaman dalam berjaga. Dia terlihat sangat lelah. Mungkin karena dia terlalu banyak memikirkan strategi yang akan kita lakukan. Sebagai ahli strategi, itu sudah menjadi tugasnya.
“Apakah kau lelah?” tanyaku khawatir.
“Tidak. Aku baik-baik saja. Kau tenang saja.” Elaknya. Tapi, dia tidak bisa membohongiku.
“Bohong. Sebaiknya kau istirahat dulu. Kumpulkan tenagamu untuk perang nanti. Atau kita akan…”
“Kita tidak akan kalah.” Potong Key sebelum kuselesaikan kalimatku.
“Ini bukan saatnya keras kepala. Kenapa kau tidak pernah mendengarkanku? Aku tidak ingin kau terluka di perang nanti.” Tanpa terasa air mataku sudah mengalir. Melihat air mataku yang mengalir, sifat Key melunak.
“Maafkan aku. Baiklah, aku akan beristirahat. Jangan menangis lagi.” Key menghapus air mataku. “Melihat air matamu, membuatku sangat terluka.”
“Biarkan aku yang jaga malam ini. Kau istirahat saja.”
“Jangan terlalu memaksakan dirimu. Kalau kau lelah, istirahat saja. Masih ada ketua yang berjaga.” Kata Key balik menasehatiku.
“Aku akan melakukannya. Sekarang istirahatlah. Jangan pikirkan yang lain, hanya untuk malam ini.” Kuselimuti dia. Kemudian dia memejamkan matanya. Tidurlah dengan lelap.
***
Matahari pagi sudah menampakkan dirinya. Mataku perlu sedikit penyesuaian. Karena kami berjaga semalam suntuk. Tiba-tiba aku merasakan kehadiran yang sangat tidak aku inginkan. Sangat mengganggu. Membuatku sulit untuk bernafas.
“Mereka datang.” Kataku pelan sambil mengatur nafasku karena kekuatan mereka yang mendesak pikiranku.
“Kau tidak apa-apa?” Tanya Onew cemas.
“Ya…aku tidak apa-apa. Tolong beri tau semuanya untuk bersiap-siap perang.” Aku mencoba menyerang balik mereka dengan pikiranku. Aku mulai berkonsentrasi. Kuserang balik mereka. Tekanan yang mereka berikan sedikit demi sedikit mulai menghilang dari pikiranku. Onew mulai memberitahu yang lain lewat pikirannya. Kelihatannya yang lain sudah mulai bersiap. Dari kejauhan terlihat gerombolan musuh. Mereka banyak sekali dan terasa aura yang kuat. Benarkah kita bersepuluh bias mengalahkan musuh sebanyak itu?
“Tenang saja. Kita pasti menang.” Kata Onew optimis. Meyakinkanku.
“Sebaiknya kita maju lebih dahulu. Aku nggak ingin kerusakan yang terjadi lebih besar dari yang kita perkirakan. Setidaknya, kita bias meminimalisir kerusakan Conha.” Ideku. “Kita berdua saja. Aku ingin yang lain tetap di sini untuk berjaga melindungi desa.” Tambahku.
“Baiklah. Kita maju sekarang. Kita hadang mereka disana.” Onew menunjuk tempat yang lumayan aman untu menyerang mereka.
“Baiklah.” Aku memejamkan mata sebentar. Merapal mantra untuk memasang perangkap. “Kita berang kat sekarang.” Aku dan Onew mulai terbang.
“Uki, kau mau kemana?” Tanya Chae tiba-tiba menghentikanku.
“Aku akan maju. Kalian tetap di sini saja. Tetap berjaga di sisni dan lindungi rakyat kita. Mengerti?” aku hendak berangkat lagi.
“Tapi, Uki…” Chae terlihat ragu-ragu mengatakannya. Terlihat raut khawatir di wajahnya.
“Tenang saja. Kami akan kembali dengan selamat dan kita pasti menang.” Kuulang ucapan Onew tadi.
“Hati-hati…” Jawabnya lemas.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Ayo, Onew.” Onew menangguk tanda dia siap bernagkat.
Setibanya dipertahanan paling depan, musuh terlihat sangat dekat sekali. Kuhirup nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan. Kami sudah siap.
“Ingat, jangan lupa membuka pikiranmu untukku. Apa kau mengerti?” perintah Onew untukku.
“Aku mengerti.” Jawabku tegang.
“Berjanjilah, kau akan selamat dari perang ini. Berjanjilah padaku. Apa kau bisa?” Tanya Onew lemas.
“Pasti. Aku akan kembali pada kalian semua. Aku akan berkumpul dengan kalian lagi.”
Sekarang musuh sudah di depan mata. Tiba-tiba bola-bola api muncul dari berbagai arah menyerang mereka. Itu adalah perangkap yang sebelumnya telah kubuat. Kurapal mantra lagi. Muncul Shadow Lord seperti yang kugunakan untu melawan Onew pada saat latihan. Shadow lord langsung melenyapkan banyak prajurit musuh. Tiba-tiba saja dengan kecepatan cahaya sudah muncul musuh di depanku. Untuk aku sempat menangkis serangannya. Musuh macam apa ini? Kuat sekali. Auranya juga berbeda dari yang lain. Mendesak auraku. Aku mencoba melawannya. Dia terpental.
“Makhluk apa itu? Kuat sekali.” Kulihat Onew juga sedang melawan seorang musuh. Auranya lebih kuat. Tapi tak sekuat musuh yang kulawan tadi. Setelah Onew bias melemparkan musuhnya, baru dia menjawab pertanyaanku.
“Dia adalah raja para Hollow ini. Sedangkan yang kulawan tadia adalah jendralnya.”
“Wah, ternyata pikiranku salah. Kukira Rajanya sejelek pasukannya. Ternyata dia tak kalah ganteng darimu. Hihihi.”
“Jangan coba-coba (Onew mengancam). Awas!”
Musuh itu datang lagi. Kami serius menghadapi musuh lagi. Dia sangat kuat. Menggesekkan pedang satu sama lain. Terus menyerang satu sama lain. Kulihat para prajurit melewati kita masuk desa. Tidak! Aku terpental terkena serangan karena tidak konsentrasi dengan pertarunganku.
“Uki. Kau tidak apa-apa?” Tanya Onew lewat pikirannya.
“Ya aku tidak apa-apa. Aku hanya kurang konsentrasi. Ayo kita lanjutkan ini.”
Kami berduapun akhirnya hanya berkonsentrasi pada pertarungan masing-masing. Tanpa sadar aku bergerak menjauhi Onew.
“Baiklah. Ayo kita buktikan, siapa yang lebih ahli dalam bermain pedang.” Teriakku pada Raja itu. Dia mengguanakn tudung kepala, sehingga wajahnya tak terlihatnya. Yang kulihat hanya seringainya. Nampaknya dia terlihat menikmati pertarungan ini. Kami terus membenturkan pedang. Ada saatnya kami sama-sama terpental. Tidak bias. Jika terus sama-sama kuat seperti ini. Tidak akan ada akhirnya.
***
“Ternyata musuh masih bisa menembus. Kita harus bersiap-siap.” Kata Chae.
“Em.” Key mengiyakan. “Aku akan memberitahu yang lain untuk bersiap.”
“Sebelumnya, kita harus menyusun strategi. Begini strateginya….”Chae dan Key sedang sibuk membicarakan strateginya. “Tolong beritahu yang lain untuk mempersiapkannya.”
“Baiklah. Sekarang kita sudah siap bertarung. Datanglah kapan saja Hollow. Kami akan menyambutmu dengan manis.” Seringai Key.
Saat musuh datang, perangkappun bekrja. Muncul dua monster naga besar yang menyemburkan api panasnya pada prajurit itu. Ternyata strateginya adalah memberikan monster yang diciptakan Dyne dan Syne. Sedangkan Chae dan Key menyerang secara langsung. Dan tiba-tiba dari belakan Sica dan taemin sudah muncul untuk membantu. Dari kejauhan, para penyihir membantu dengan kekuatan mereka. Jonghyun dan Minho membantu mengeluarkan monster lebih banyak lagi. Sedangkan, Dyne dan Syne membantu untuk menyembuhkan temannya yang terluka. Terus seperti itu.
“Ayo teman-teman. Kita berjuang mempertahankan desa kita.” Teriak Sica semangat masih sambil meneba musuh dengan pedangnya itu.
“Ya…”Jawab Chae, Key, dan Taemin bersamaan. Yang lain hanya tersenyum. Semangat. Kita semua pasti bias menang dan berkumpul lagi. Itu pasti.
Semua bertarung dengan semangat. Meskipun memang prajurit jauh lebih mudah dikalahkan, tapi jumlah mereka sangat banyak. Tanpa kerjasama mereka semua, akan sangat sulit mengalahkan mereka semua.
***
Semakin lama, raja itu semakin kuat menyerangku. Aku terpental berkali-kali. Sedangkan Onew juga masih sibuk melawan musuhnya jauh di sana. Tidak mungkin aku meminta tolong padanya. Itu tindakan bodoh sekali. Aku harus bias mngalahkannya sendiri.
“Kenapa? Sudah lelah?” Tanya raja Hollow itu. Suaranya yang baritone ditambah seringaiannya, membuatku ngeri. Dia sangat menakutkan. Tapi, aku tidak akan kalah denganmu. Tidak akan pernah.
“Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah lelah melawanmu. Sampai kau mati, aku tidak akan menyerah.” Teriakku. Kuserang lagi dia. Dia menangkisnya dengan tepat.
“Aku suka semangatmu. Aku memang tidak salah memilihmu.” Kulihat seringainnya lagi. Dia perlahan membuka tudung kepalanya. Ehhh…yang kubilang tadi bahwa dia tidak kalah tampan memang benar. Padahal itu hanya akal-akalanku untuk menggoda Onew. Matanya tajam, tinggi, kulitnya putih pucat seakan tidak pernah terkena sinar matahari. Dia menyerangku lagi dengan menebaskan pedangnya padaku. Aku yang tidak siap, terkena tebasan itu. Tanganku tergores dan mengeluarkan darah segar. Rasanya sangat perih. Tapi, aku harus kuat. Kuserang balik dengan bola api. Dia menangkisnya dengan mudah.
“Kau tahu kalu bola api tidak akan mempan padaku.”
“Tapi, sayangnya kau salah. Aku tidak menggunakan bola api itu untuk menyerangmu. Tapi untuk ini.” Kuhunuskan pedangku padanya. Kena. Yes. Akhirnya… tapi tiba-tiba, sosok yang kuhunus tadi berubah jadi asap dan menghilang.
“Wah…aku terkesan dengan caramu bertarung. Sangat elegan. Aku semakin suka padamu.” Dia tersenyu lagi. Senyum yang menyeramkan, tapi sangat mempesona.
“apa maksutmu? Jangan coba mengecohku dengan omonganmu itu. Tidak akan mempan padaku lagi.” Kuserang dia lagi, lagi, dan lagi.
“Aku tidak bermaksut mengecohmu. Apa yang aku bicarakan itu semuanya benar. Dari awal, kau adalah pilihanku.” Dia melemparku. Untung aku bias menahannya, sehinnga aku tidak terpental terlalu jauh. “Perkenalkan, aku raja Hollow Saga.” Dia memperkenalkan dirinya secra elegan padaku. “Sejak awal, sebelum kau dilahirkan, aku sudah memilihmu menjadi pendampingku. Tapi ternyata, kau telah salah mengambil jalan. Kau sekarang bersama mereka. Orang yang seharusnya kau lawan bersamaku sekarang.”
“Tidak mungkin. Itu semua pasti bohong. Kau ingin mengecohku kan? Itu tidak akan berlaku padaku.” Elakku.
“Terserah kau mau percaya atau tidak. Kau bias menanyakannya apda ‘DIA’.” Saga menunjuk Onew. Aku hanya bias menggeleng. Ini tidak mungkin. Aku tidak mungkin ditakdirkan untuk bersama musuhku.
“TIDAK…..!” Teriakku.
“Uki. Apa yang terjadi padamu? Kendalikan dirimu.” Onew mencoba menyadarkanku melalui pikiranku lagi.
“Apa yang semua dia katakana benar?” tanyaku menuntut kejelasan.
“Apa?”
“Bahwa seharusnya aku sekarang bertarung bersama Dia, Saga. Melawan teman-temanku dan….melawan kamu?” tanyaku lemas.
“Semua itu bohong. Jangan percaya padanya.”
“Tapi, dia…sepertinya dia tidak berbohong… jawab yang sebenarnya, Onew. Aku mohon…”
“Tidak. Kau tidak seharusnya bertarung bersama Saga. Kau sudah bersama kami. Dia bukan siapa-siapa. Percayalah padaku Uki. Bertarunglah bersamaku dan bukan bersamanya. Aku…aku…Argh….!” Tiba-tiba Onew berteriak. Keberadaannya dipikiranku juga menghilang.
Onew…Onew…kau tidak apa-apa?Onew, jawab aku. ONEW!” aku sangat panik saat ini.
“Maafkan aku. Dia sangat kuat. Sekarang, Ayo kita berjuang bersama.”
“Em.” Aku mengiyakan. “Aku tidak akan pernah setuju bertarung denganmu Saga. Meski takdirku harus bertarung bersamamu melawan teman-temanku. Tapi sekarang, aku akan menentukan takdirku sendiri. Bertarung dengan teman-temanku untuk mengalahkanmu.” Teriakku padanya.
“Tapi sayang. Jika kau membalikkan takdirmu, maka takdirmu untuk hidup juka akan terbalik. Kau akan mati bersama teman-temanmu yang lain. Dan kemenangan, hanya menjadi milikku seorang.” Kata-kata itu menjadi sebuah pedang bagiku. Saga tertawa sangat kencang.
“Tidak akan semudah itu. Aku akan menyelamatkan temanku meskipun aku harus mengorbankan nyawaku.”
Kami terus saling menyerang. Dia sangat kuat. Tenagaku mulai habis, tetapi dia tetap bisa berdiri. Nafasku tinggal satu-satu. Apakah aku masih bisa melanjutkan pertarungan ini? Apakah aku masih bisa menyelamatan teman-temanku? Pertanyaan it uterus berkelebat dalam pikiranku.
“Kenapa? Sudah mulai lelah ternyata.” Ejeknya.
“Kalau hanya menghadapimu, dengan tenaga ini saja sudah cukup untuk mengalahkanmu.” Kataku lebih untuk meyakinkan diriku sendiri.
“Benarkah? Kalau begitu, mari kita buktikan.” Dia mulai melemparkan bola hitam raksasa ke arahku. Sialnya, aku terlalu lambat untuk merapal mantra penangkis. Pada akhirnya aku terkena juga. Dampaknya sangat besar pada diriku. Karena terkena serangan tadi, banyak organ tubuhku yang rusak.
“Uki, apa kau tidak apa-apa?” teriak Onew dari seberang. Dia tidak konsentrasi untuk bertarung. Dia terkena tebasan pedang juga. “Argh…”
Kucoba untuk berdiri lagi. Meski ini sangat menyakitkan, tapi akan kucoba bangkit. Aku tidak ingin ada orang lain yang terluka hanya karena diriku. Terutama orang yang sangat aku sayangi. “Aku tidak apa-apa. Sebaiknya kau pertahankan pertarunganmu. Jangan sampai kalah darinya.”
“Baiklah.”
Sekarang perthatianku kembali teralih ke Saga. Kutatap tajam ke arahnya. Dia berjalan mendekat. Berdiri di sebelahku, kemudian dengan cepat menekan rusukku yang sepertinya patah. “Argh…” erangku.
“Ternyata ini yang kau bilang bahwa energimu cukup untuk mengalahkanku? Jangan terlalu percaya diri dulu. Aku jauh-jauh lebih kuat dari yang kau pikirkan. Masih ada kesempatan. Jadilah partnerku dan kau akan selamat. Aku pastikan itu.”
“Cuih…sampai kapanpun aku tidak pernah membelamu. Meskipun aku harus mati, aku akan tetap bertarung bersama teman-temanku.” Kuayuhkan pedangku dengan dua tangan. Pedang yang awalnya ringan bagiku, menjadi berat seakan-akan ada beban pada pundakku. Gerakanku menjadi lambat, sehingga sangat mudah bagi Saga untuk menghindarinya.
“Teruslah berbuat sia-sia. Habiskan semua tenagaku. Dengan begitu, akan akan lebih mudah untuk membunuhmu.” Kata Saga sambil menghindari seranganku dengan mudah wajahnya sangat datar seakan tak ada kesulitan.
“Jangan banyak omong. Cepat kau cabut pedangmu. Lawan aku sekarang.” Bentakku.
“Kau tahu, kalau kau akan kalah kalau aku sampai mencabut pedangku? Kemenanganku itu tidak akan pernah terelakkan.”
***
Disisi lain, teman-teman tetap melawan musuh yang tidak ada habisnya. Terus berdatangan menggantikan yang lain. Keadaan, mereka semua sudah mulai lelah. Tenaga yang digunakan sangat besar. Sedangkan musuh tidak pernah habis.
“Apa yang harus kita lakukan. Ini tidak ada habisnya. Tamatlah riwayat kita.” Kata Syne merengek tapi tetap sambil melawan musuh.
“Jangan pernah katakan kita tamat sampai disini. Ini belum selesai. Aku tidak suka orang yang mudah putus asa.” Kata Chae marah.
“Iya. Tapi, musuh tidak habis. Sedangkan tenaga kita sudah mulai habis. Kau juga jangan keras kepala dong.” Syne mulai menangis sambil membentak Chae.
“Tidak. Kita pasti menang. Kita pasti menang dan menyelamatkan semua penduduk desa.” Chae lebih meyakinkan pada dirinya sendiri.
“Sampai kapan kau akan terus bersikeras seperti itu? Kita tidak mungkin menang. Itu mustahil. MUSTAHIL.” Syne mulai berteriak.
“Kalian semua. Hentikan ini. Bukan saatnya kita untuk bertengkar. Ada yang lebih penting. Kita harus menyelamatkan seluruh desa.” Sica menengahi.
“Benar. Apa lagi kedua ketua kita sedang mati-matian melawan raja musuh kita. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka demi kita semua disini. Jadi, bukan saatnya kita bertarung. Kita harus bersatu. Jika kita bersatu, tidak ada kata tidak mungkin. Kita pasti akan menang. Itu pasti.” Dalam keadaan ini, ketenangan yang dipancarkan Taemin memang sangat ampuh. Dia selalu bisa mengatasi kondisi serumit apapun.
***
Dia terus menyerangku secara bertubi-tubi. Kekuatannya tidak pernah habis. Aku mulai melemah. Meskipun aku dapat menangkisnya, tapi aku tidak bisa balik menyerangnya. Lalu, bagaimana aku bisa mengalahkannya? Ini sama saja.
Tidak Uki. Berfikir…ayo berfikir. Pasti ada satu cara untuk mengalahkannya. Sambil menghindari serangannya aku terus berkonsentrasi mencari cara. Sesekali aku terkena sabetan pedangnya. Perih memang. Tapi, aku akan lakukan apapu untuk mengalahkannya.
“Kenapa? Bukannya tadi sudah kuperingatkan kalau kau akan mati kalau aku sampai mencabut pedangku?” senyumnya sinis. Seakan dia adalah malaikat pencabut nyawa yang siap mencabut nyawaku sekarang. Aku merinding.
“Dengar. Walaupun kau gunakan pedangmu itu, aku tidak pernah kalah darimu.”
“Heh…bahkan untuk menghindar dari seranganku saja kau tidak bisa. Dari segi mana lagi kau dapat mengalahkanku?” tanpa kusadari, tiba-tiba ide itu gila itu muncul dalam pikiranku. Sangat gila. Kalau sampai yang lain tahu, pasti mereka menentangku habis-habisan. Tapi, ini demi mereka. Karena aku sangat saying pada mereka semua. Aku lakukan ini, karena aku saying mereka semua. Tidak lebih. “Kenapa? Mau menyerah sekarang”
“Tidak akan pernah.” Aku mulai merapal mantra. Tiba-tiba lubang hitam muncul dibelakang Saga. Lubang itu mulai menyedot segalanya dengan kekuatan yang dahsyat. Saga menyangga tubuhnya dengan pedang yang dia tancapkan ke tanah. Aku tersenyum sinis, yang kemudian darah segar mengalir dari mulutku.
Ini memang ide gila. Semua menentangnya karena sihir ini mengambil separuh dari nyawaku. Meski Onew menentangku memakai kekuatan ini, tapi diam-diam aku juga mengembangkan sihir ini. Aku tahu, bahwa suatu saat nanti sihir ini pasti akan dibutuhkan. Penglihatanku mulai mengabur. Yang kulihat Nampak seperti bayang-bayang. Aku hanya terdiam di tempat menyaksikan Saga berusaha melarikan diri.
“Kau tidak akan pernah bisa melarikan diri dari ‘itu’. Meskipun kau gunakan sihirmu yang terkuat, kau tidak akan pernah bisa meloloskan diri.”
Sedikit demi sedikit Saga mulai terseret pusaran angin itu. Sampai akhirnya dia tersedot ke dalamnya. Tubuhku mulai lemas. Sampai aku tak sanggup lagi untuk menyangga tubuhku. Tubuhku juga sedikit demi sedikit terseret kea rah pusaran angin itu.
***
Aku hanya bisa menyaksikan dari jauh ketika lubang hitam itu muncul di belakang Saga. Bahkan pertarunganku dengan wakil raja sampai berhenti. Nampaknya dia juga terkejut dengan apa yang terjadi pada rajanya.
Aku tak habis piker, Uki melakukannya. Dia melakukannya. Bagaimana bisa dia mengorbankan nyawanya? Hatiku terasa perih. Hanya dengan memikirkan apa yang akan terjadi pada Uki. Apa artinya diriku jika tanpa dirinya?
Kulihat perlahan Saga masuk ke dalam lubang hitam itu. Sang wakil menganga. Segera saja kumanfaatkan keadaan itu untuk menyerangnya. Kugunakan sihirku. Muncul bola api yang sangat besar dan mengahantamnya sebelum dia sempat menghindar.
Ya…aku menang. Kulihat lagi Uki diseberang. Semoga dia dapat bertahan dengan setengah nyawanya. Tapi, yang kudapatkan bukan itu. Tubuh Uki ikut terseret dalam pusaran itu. Dia nampak terlalu lemah untuk menghindarinya. Aku segera berlari. Ketika sudah dekar, segera kugapai tangannya agar dia tidak ikut tertelan. Tiba-tiba saja matanya terbuka. Nanar melihatnya yang begitu lemah. Seakan sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi di sana.
“Pergilah. Jangan mendekat. Kau juga akan tersedot jika kau ke sini.” Katanya lemas.
“Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku akan menyelamatkanmu. Bertahanlah.” Kataku penuh emosi yang meluap-luap.
“Pergilah. Sekarang. Aku mohon.” Uki memohon. Kulihat mulut uki bergerak-gerak. Tapi, aku tidak tau apa yang dilakukannya. Tiba-tiba saja, tubuhku terasa membeku. Apa yang dilakukan Uki?
“Tenanglah. Setelah aku menyentuhmu nanti, kau akan bisa bergerak lagi. Setelah kau bisa bergerak. Segera berlarilah. Aku akan menutup lubang itu dari dalam. Karena sangat mustahil untuk menutupnya dari luar sekarang. Keadaan tidak memungkinkan.” Aku ingin memberontak. Tapi belenggu yang diberikan Uki terlalu kuat untuk kulawan. “Berlarilah sejauh mungkin. Apa kau mengerti?” aku ingin menolak. Tapi aku tidak bisa. Pada akhirnya yang bisa kulakukan adalah menitikkan air mata. Uki apa kau tidak tahu, lebih baik aku terjun bersamamu daripada aku harus kehilanganmu? Ini terlalu berat bagiku. Air mata it uterus menetes, tanda aku tidak ingin melakukan itu.
Uki mulai melepaskan genggaman tanganku yang menahannya. Seketika, tubuhnya terlempar ke dalam pusaran itu. Seperti katanya. Dia menutup lubang itu dari dalam. Aku tertunduk lemas. Air mataku semakin bercucuran. Aku ini tidak berguna. Apa yang telah kulakukan pada Uki? Kudengar suara langkah mendekat. Tidak seberapa jauh di belakangku, langkah itu berhenti.
***
Tiba-tiba saja semua prajurit musuh menghilang bersama hembusan angin. Apakah mereka berhasil mengalahkannya? Pikirku.
“Kita menang. Harapan itu tidak kosong.” Kataku senang.
“Benar Chae. Apa yang kau katakana benar. Kita menang…KITA MENANG…” seru Syne bahagia.
“Tentu saja kita akan menang.” Sahut Jonghyun sambil menghampiri Syne dan merangkulnya bahagia.
“Ya…itu membuktikan kalau kita semua mulai kuat. Kekuatan kalian mulai berkembang.” Kata Minho bangga pada anak didiknya yang sekaligus juga kekasihnya.
“Itu semua berkatmu juga.” Dyne tersenyum pada Minho dan menggandeng tangannya.
“Sekarang, mari kita jemput ketua kita untuk merayakan kemenangan ini.” Key sudah tidak sabar untuk berpesta.
“Bersabarlah saying…”kataku.”mereka pasti juga sedang menikmati kemengan bersama. Beri mereka waktu sejenak untuk bersama. Jangan suka menganggu. Apa lagi, aku juga masih ingin merayakannya denganmu.” Kupeluk Key. Kulingkarkan tanganku ke lehernya. Kubenamkan kepalaku di dadanya yang bidang. Sangat nyaman. Dia balik memelukku, membuat seluruh tubuhku terasa hangat.
“Jadi iri nih. Kita juga mau.” Kata Taemin jahil.
“Nggak usah iri lah. Kamu kan punya aku.” Dipeluknya Sica dengan gemas dan penuh rasa sayang. Mereka semua tampak gembira.
Sampai mereka sudah puas meluapkan kegembiraan mereka bersama. Sekarang saatnya menjemput ketua untuk merayakan bersama. Kami semua berlari ke lapangan sebelah tempat mereka bertarung. Dari kejauhan yang kulihat hanya…….Onew. dia menunduk lemas seperti tidak punya semangat hidup lagi. Kami hanya bisa berdiri membeku di belakangnya.
Sampai tiba-tiba Onew berdiri sambil terhuyung. Tatapannya nanar. Air mata masih menetes di pipinya.
“Hyong. Apa yang terjadi?” Tanya Jong.
“Benar. Apa yang terjadi. Dimana Uki? Kenapa kau sendirian?” tanyaku secara bertubi-tubi.
“Chae. Tenanglah. Biarkan ketua tenang dulu.” Key menenangkan Chae yang mulai emosi.
“Aku…aku gagal menjaganya.” Setitik air mata keluar lagi dari matanya. Dia terlihat sangat terpukul.
“Apa kau bilang?” tanyaku lagi tidak percaya. Teman-teman yang lain hanya terdiam mendengarnya.
“Aku…gagal…menjaganya. Dia mengorbankan nyawanya untuk mengalahkan Saga dan melindungi kita semua.”
“Kenapa kau tidak bisa melindunginya? KENAPA?” akhirnya tangisku yang tertahan sejak tadi pecah juga. Air mata itu mengalir tanpa henti. Onew tidak bisa menjawabnya. Yang bisa dia lakukan adalah juga ikut menangis.
“Akupun tidak tahu. Aku…aku…” Onew tidak sanggup meneruskannya. Dia tertunduk lemas. Memukul tanah dengan penuh amarah. “AARGHHHH….!!!!” Teriaknya. Seakan teriakan itu bisa sampai ke Uki dan bisa membuatnya kembali.
Kesenangan yang sesaat. Batinku. Aku rela menukarkan kesenangan ini hanya untuk mengembalikan sahabatku. Untuk apa aku tadi bersenang-senang? Kalau akhirnya kesedihan yang lebih besar menanti. Kami semua akhirnya berakhir menangis bersama. Tapi, tidak ada yang bisa menandingi kesedihan Onew. Kehilangan orang yang sudah menjadi belahan jiwanya. Seseorang yang sudah dinantinya beratus-ratus tahun. Onew terus menyalahkan dirinya. Dia memukul-mukul tanah berusaha meluapkan emosinya.
***
Aku tidak tahan bila harus kehilangan dia. Kenapa aku begitu lemah? Apa yang harus kulakukan agar bisa mengembalikannya? Apakah aku harus mengorbankan nyawaku? Apapun rela kulakukan agar dia bisa kembali ke sini.
“Kau tidak perlu mengorbankan nyawamu demi aku Onew. Itu terlalu besar.” Kudengar suara Uki dalam pikiranku.
“Hyong, kenapa?” Tanya Minho.
“Sssh… diamlah dulu Minho.” Kucoba untuk lebih berkonsentrasi. Apa yang kudengar tadi benar suara Uki?
“Apa maksudmu? Kenapa dengan dirimu ini? Apa kau sudah gila?” sahut Sica penuh emosi.
“Apa kau bisa tenang sebentar. Aku tadi mendengar suara Uki. Biarkan aku berkonsentrasi.”
“Apa kau sudah gila? Suara apa? Bahkan kami tidak mendengarkan apa-apa.” Chae menambahi.
“Dari tadi tidak ada suara.” Sahut Syne.
“Aku yakin itu suara Uki. Percayalah padaku. Bisakah?” harapku penuh permohonan. Aku sudah lemas. Harapanku bisa juga salah. Tapi aku yakin itu pasti Uki.
“Kami sudah pernah mencoba percaya padamu untuk menjaga sahabat kami Uki. Tapi, kau gagal. Apa yang kau harapkan lagi dari kepacayaan kami? Kalau pada akhirnya kau akan membuat kami kecewa lagi.” Syne menjelaskan panjang lebar.
“Aku mohon percayalah padaku. Aku mohon…” aku semakin lemas saja.
“Onew…” panggil Uki lagi dalam pikiranku.
“Uki…apakah kau baik-baik saja?”
“Ya…untuk saat ini.” Suara Uki semakin lemah.
“Uki bertahanlah.”
“Onew…..” suara itu terdengar nyata bagiku. “Onew…..” suaranya sangat lemah, seakan dia mulai lelah. Kubalikkan badanku. Kulihat Uki di sana. Itu benar-benar Uki. Uki masih hidup. Dia berdiri tidak tegak. Tubuhnya agak terbungkuk.
“UKI…….” Keempat sahabat Uki memanggilnya bersamaan dengan wajah lega.
“Uki…Uki…”Aku berlari terhuyung menghampirinya. Aku tidak salah. Itu Uki. “Uki, kau tidak apa-apa. Syukurlah. Kau kembali.” Langsung saja kupeluk tubuh yang kapan saja bisa hancur itu.
“Aku……kembali……” katanya lemah. Beban dalam pelukanku semakin berat. Uki tidak sadarkan diri.
“Uki…Uki…Uki………” kurebahkan dia. Ternyata perutnya terkena luka tusuk yang sangat parah. Sudah mengenai organ-organ vitalnya. “Uki bertahanlah. Kumohon jangan tinggalkan aku sekarang.” Aku sudah tidak tahu lagi. Pikiranku hanya berpusat pada Uki. Semua temannya hanya bisa bungkam dan menangis. “Tenanglah Uki. Kau pasti akan selamat.” Kugendong tubuh Uki yang lemas itu. Aku mulai terbang melewati rumah-rumah penduduk, bukit dan pulau-pulau. Sampai akhirnya aku tiba di Air Terjun Surga. Kuambil air itu dalam tangkupan tanganku. Kucoba untuk meminumkan ke mulut Uki, tapi tidak bisa. Uki tidak menelannya. Apa yang harus kulakukan?
Ini memang gila. Kalau Uki tahu ini, aku pasti akan dibunuhnya. Tapi, akan kulakukan agar dia selamat. Kuminum air itu, kemudian kudekatkan tubuhku kepadanya. Disaat bibirku menempel pada bibirnya yang lembut, kuminumkan air itu. Tolong, kembalilah padaku. Jangan pernah tinggalkan aku lagi. Kukecup dahinya penuh dengan doa dan harapan. Kembalilah padaku.
“AARGHHH…….!!!!!” Uki menjerit sejadi-jadinya. Kemudian dia tertidur lagi.
Kubawa dia kembali ke kamarnya. Lukanya belum sepenuhnya sembuh. Wajahnya terliat sangat pucat dan rapuh. Dia rela korbankan semuanya demi semua orang yang dia sayangi.
Kusentuh lembut luka yang tertoreh di pundaknya, lengan, dan diperutnya. Hatiku terasa sakit melihat keadaannya seperti itu. Kuletakkan kompres di dahinya untuk mengurangi demamnya. Kutatap dia dalam lelapnya cepatlah sembuh. Aku terus terjaga sepanjang malam, tapi menjelang subuh, aku sudah ketiduran.
Keesokan paginya aku bangun agak terlambat. Uki belum bangun juga. Wajahnya yang biasanya berseri, sekarang terlihat sangat pucat. Kubelai rambutnya, lalu kukecup keningnya.
“Kau sudah terlalu banyak tidur. Bangunlah. Apa kau tidak capek tidur terus?” kataku bercanda. Namun dengan seketika senyumku menghilang berganti dengan titik-titik air mata. “Apa kau tahu? Aku sangat mengkhawatirkanmu. Cepatlah bangun. Agar aku bisa merasa lega. Agar aku bisa bicara denganmu lagi, memelukmu, bercanda bersama lagi. Aku merindukan saat-saat bersamamu. Aku sudah seperti orang gila. Berbicara sendiri.”
Kugenggam tangan yang sangat lemah itu. Kupejamkan mataku ‘sampai kapan kau akan terus begini?’ aku merindukanmu. Tiba-tiba saja tangan yang kugenggam itu bergerak. Kutatap wajah yang tak berdaya itu.
“Uki, kau… coba gerakkan lagi.” Tidak ada respon. “Uki gerakkan lagi. Kamu sudah sadar kan?” kataku mulai putus asa. Ternyata tadi Cuma hayalanku saja. Hufh…… kubanting kepalaku ke kasur. Sekarang aku mulai frustasi. Tanpa terasa airmataku mulai menetes lagi.
“Apa kau menangis?” suara itu mengagetkanku.
***
Kulihat Onew membanting kepalanya ke kasur terlihat sangat frustasi. Aku jadi tidak tega mau mengerjainya lebih lanjut. Kelihatannya dia sangat lelah.
“Apa kau menangis?” tanyaku. Onew mengangkat kepalanya terlihat kaget. “Hei…kenapa menangis?” tiba-tiba Onew langsung memelukku.
“Jangan pernah berbuat begini lagi padaku. Kau hampir membuatku mati. Aku sangat takut kehilangan dirimu.” Aku mengerti. Batinku. Kupeluk kembali Onew. Kucoba untuk menenangkannya. Rasa riduku begitu dalam untuk menatap wajahnya lagi. Mungkin dia juga begitu.
***
Keesokan harinya semua berkumpul di ruanganku untuk merayakan kesadaranku. Mereka saling bersulang, menari, dan ngobrol bersama. Persis saat pesta ulang tahun. Tapi, aku tetap di tempat tidur. Onew masih melarangku untuk bangkit. Irinya… semua bisa menari bersama, aku Cuma bisa tidur di ranjang.
“Oya Uki. Kenapa kamu bisa lolos dari Saga? Padahal kamu kan juga ikut tersedot dan menutupnya dari dalam?” Tanya Chae penasaran.
“Memang sangat mustahil keluar dari situ. Tapi, melalui latihanku dan research-ku, aku juga menemukan cara keluar dari lubang kegelapan itu.” Jawabku sambil tersenyum.
“O…ternyata kamu belajar diam-diam ya…” Onew pura-pura marah. Tapi, senyumnya merekah membuat semua ikut tertawa.
“Padahal kamu kan sudah lemah dengan luka sebegitu banyak. Aku tidak habis pikir kamu masih bisa merapal mantra dengan keadaanmu yang selemah itu.” Kata Taemin penuh penasaran
“karena aku yakin dengan masa depan yang aku impikan. Karena Onew memberitahuku bahwa mimpi itu gambaran dari masa depan. Itu yang memberiku kekuatan untuk bisa lolos.”
“Ah… jadi semua karena Onew hyong. Onew hyong, aku tidak percaya. Ternyata perkataanmu bisa berguna juga ya.” Ejek Jong.
“Aish…sialan kau. Kau kira aku ini apa?” Onew pura-pura menjitak kepala Jong semuanya jadi tertawa bahagia.
Akhirnya pesta pun selesai. Semua kembali ke tempat mereka masing-masing. Mungkin mereka juga mau menikmatinya dengan pasangan mereka masing-masing. Hufh… mereka yang lagi kasmaran.
“Uki…boleh aku Tanya sesuatu padamu?” Tanya Onew.
“Boleh. Silahkan saja bertanya apapun. Aku akan menjawabnya.”
“Mimpi apa yang bisa memberikan kekuatan padamu saat kau dalam keadaan selemah itu?”
“Apa kau benar ingin tahu…? Tidak menyesal…?” Onew hanya menggelengkan kepalanya. “Yakin?” sekarang mengangguk. Persis seperti anjing yang patuh pada majikannya. “kalau aku bilang Saga melamarku dan aku menolaknya, apa kau percaya?” tanyaku mencoba untuk mengerjainya.
“Apapun mimpimu. Aku akan percaya. Karena mimpi seorang dewi itu adalah sebuah pertanda.” Sahutnya lemah.
“Sebenarnya……itu Cuma bohong. Ahahaha.” Aku tertawa terbahak-bahak, tapi yang kulihat dari ekspresi Onew. Dia menghembuskan nafas lega. “Yoru.” Sekarang ini aku bicara secara serius.
“Ha?” Onew hanya berha-ho ria.
“Ingat nama anak kita di masa mendatang ya…”
“Anak kita?” Onew masih menampakkan wajah kebingungannya.
“Yoru. Dia yang membuatku bisa bertahan. Dan……aku selalu mengingat dirimu. Saat aku aka bertemu dirimu lagi.” Kataku menerawang.
“Anak kita. Yoru. Aku ingin segera bertemu dengannya.” Aku hanya tersenyum. “gimana kalau kita cepat-cepat nikah aja? Gimana kalau besok?” sekarang aku Cuma bisa bengong ngong ngong.
“Nikah aja yang ada di pikiranmu.”
“Besok kita nikah ya…ya…ya…! Gimana kalau di Air Terjun Surga?” tanyanya meminta persetujuanku. “aku hanya tidak ingin kehilangan dirimu lagi. Apa kau mengerti?”
“Apapun keinginanmu calon suamiku.” Aku tersenyum lagi. Onew langsung saja memelukku bahagia. Kami saling berpelukan karena bahagia.
***
Mskipun mereka semua berpencar.
Syne dan Jonghyun tetap di pulaunya, tapi bagian tepi sambail menikmati awan yang berjalan.
Sica dan Taemin duduk di dahan pohon sambil menikmati Shinee Conha dari atas. Memang sangat indah kalau dilihat dari atas.
Chae dan Key sedang menatap bintang bersama dia atas atap rumah mereka yang sedang bertaburan menghiasi langit malam yang gelap sambil berpelukan.
Dyne dan Minho sedang mendengarkan music bersama. Denga headset Minho di iri dan Dyne di kanan. Kepala Dyne bersandar pada pundak Minho.
Meskipun mereka memiliki kegiatan masing-masing, tapi pikiran mereka tetap sama. “Apa ya yang dilakukan mereka berdua sekarang?”
Dan mendapatkan jawaban yang sama dari pasangannya. “Biarkan mereka berdua merasakan bahagia bersama. Dan samapai kapanpun kita tidak akan pernah terpisahkan.
***
Setelah satu tahun menikah. Sekarang saatnya meregang nyawa antara hidup dan mati. Sampai akhirnya terdengar suara tangis bayi. Semuanya serentak berdiri lega. Bayi laki-laki yang sehat dan lucu. Yoru. Anak kami. Anak yang sudah lami kami nantikan kedatangannya.
“Sudah punya keponakan nih ceritanya.” Ledek Chae.
“Nggak usah nyindir. Pikirin juga tuch kandungan kalian. Beberapa minggu lagi juga pada lahir.” Ledekku balik. Nggak habis piker. Bagaimana bisa mereka menikas secara bersamaan dan hamil secara bersamaan. Melahirkanpun akan secara bersamaan. Hahaha.
“Buruan nyusul ya. Ntar anak kita biar bisa main bareng.” Kata Onew. Lalu Onew berjalan mendekat. Mengelus kepala Yoru dan mengecupnya. Tidak lupa mengecup keningku setelahnya.
-THE END
Pagi-pagi hari kami sudah siap di halaman depan. Hari ini kami akan berlatih pedang. Asal tau saja. Kami langsung berlatih menggunakan pedang asli. Berat. Sangat berat. Bagaimana aku bisa mengayunkan benda seberat ini?
“Sebelum berlatih, bolehkah aku pergi ke temanku dulu?”
“Untuk apa kau ke sana?” baru kali ini kudengar nada suara Onew sangat serius.
“Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan mereka. Masalah yang sangat penting.”
“Kenapa kau tidak tanyakan langsung kepadakau? Akan lebih mudah dengan cara begitu.”
“Entah kenapa. Untuk saat ini, aku belum bisa mempercayaimu. Auramu masih berbeda dari yang biasanya. Aku tidak bisa. Aku pergi dulu.” Onew menatap kepergianku dengan wajah terpukul. Dia hanya diam mematung di tempat. Maafkan aku. Tapi, auramu tak dapat dipercaya. Aku harus mendapatkan penjelasan segera. Dari kejauhan kulihat mereka dibagi menjadi dua kelompok. Yang satu kelompok belajar sihir dan yang lain belajar pedang. Mengetahui kedatanganku, mereka berhenti berlatih.
“Ada apa kau kemari?” Tanya Chae.
“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada kalian. Kalian juga.” Kutunjuk keempat pelatih temanku itu. “Yang kubutuhkan hanya kejujuran dari kalian.”
“Apa yang ingin kau tanyakan pada kami?” Tanya Jonghyun langsung mengenai sasaran.
“Apa arti pelatih bagi kami? Bagi manusia seperti kami. Kenapa kalian harus tinggal di dekat kami?” tanyaku beruntun.
“Kau ingin tahu jawabannya?” Tanya Jonghyun lagi. Aku mengangguk mantap. “Taemin, jelaskan padanya. Semuanya. Tanpa terkecuali.” Tubuhku langsung menegang serius.
“Sejak barabad-abad yang lalu. Kami menerima sebuah ramalan yang menyatakan ‘kalian akan dianggap sebagai dewa bagi umat manusia. Tapi, kejadian itu akan terulang lagi. 2 abad kedepan, kalian akan mendapat sesembahan 5 orang sahabat. Mereka memiliki kekuatan yang terpendam karena mereka adalah titisan dewi yang dititipkan di bumi. Mereka juga adalah jodoh kalian. Nantilah mereka dan jagalah mereka.’ Ramalan itu mengatakan tepat pada saat kami mengangkat kalian ke sini. Jadi, kalian adalah pelindung di masa depan dan belahan jiwa kami. Kami menunggu berabad-abad demi kalian.” Aku tertohok mendengar cerita itu. Jadi…Onew…aku…adalah… Kenapa jadi seperti ini.
“Lalu, kenapa kalian tidak menjadi tua?” tanyaku lagi setelah susah payah mengumpulkan kesadaran.
“Kami makhluk abadi. Sekarang kalian juga menjadi makhluk abadi. Kita akan menua, jika kita memutuskan untuk menjadi manusia biasa. Tapi kami tak bisa. Dunia masih membutuhkan kita.” Sekarang yang menjawab Key.
“Apakah ada kemungkinan orang lain untuk meneruskan perjuangan kita?”
“Ya. Setelah ada keputusan dari sang atas bahwa ada orang yang cocok menjadi penerus kita. Tapi, itu butuh waktu yang lama.” Minho menjawab. Kenyataan ini membuatku semakin bingung.
“Terima kasih atas penjelasan kalian. Maaf sudah mengganggu waktu latihan kalian dan kebersamaan kalian.” Kataku lemas.
“Kau tidak apa-apa Uki?” Tanya Sica khawatir.
“Tenang saja. Aku tidak apa-apa.” Kucoba tersenyum. Sangat sulit saat ini untuk tersenyum. Tapi, aku tidak ingin membuat mereka khawatir.
“Apa kau yakin?” Tanya Sica lagi. Kutatap wajah temanku satu persatu. Mereka terlihat sangat mengkhawatirkan aku. Aku mencoba tersenyum lagi.
“Ya. Aku yakin aku tidak apa-apa. Teruskanlah latihanmu. Aku pergi dulu.” Aku terbang menjauh. Terlihat mereka melambai padaku.
“Ayo kita berlatih!” kataku setelah sampai ke pulauku lagi. Sekarang ini pikiranku benar-benar kacau.
“Kau terlihat kacau. Sebaikny kita tunda latihan hari ini.”
“Aku ingin latihan sekarang. Jadi, bersiap-siaplah.” Kuambil pedang yang tergeletak di tanah. Langsung saja ku serang Onew. Dengan terpaksa, akhirnya dia menarik pedangnya. Terus kuserang tanpa ampun. Kuayunkan pedang kesana kemari. Dengan gesit Onew menangkisnya.
“Ada apa denganmu? Kontrol dirimu.”
“Kenapa kau tidak baca pikiranku saja? Akan lebih cepat kau dapat jawaban.”
“Kalau bisa, sudah dari tadi kulakukan. Kau sudah bisa mengendalikan perlindungan pikiranmu.”
“Hya…”Aku menjerit dan mengayunkan pedangku kearahnya dengan kekuatan penuh. Onew terkesiap mengahalangi pedangku. Pedangku terpental dan ujung pedangnya sedikit menggores tanganku. “Argh…” aku mengerang mearasakan dinginnya baja menembus kulitku. Onew langsung menjatuhkan pedangnya ketika melihat darah menetes dari tanganku.
“Apa yang telah kulakukan?” wajahnya terlihat depresi. Dia langsung menggapai tanganku. Menyobek kain kaos miliknya dan melilitkannya pada lukaku. “Luka ini sangat dalam. Tidak seharusnya aku melakukan ini. Aku telah melukaimu.” Dia terus menyalahkan dirinya. Aku hanya tertunduk diam. Onew masih belum melepaskan tanganku dan terus memandang tanganku yang terluka.
“Kenapa kau tidak katakana yang sebenarnya padaku?”
“Apa yang telah kau ketahui?” dia balas bertanya.
“Semuanya.” Jawabku pendek.
“Apa karena itu kau kalap? Kau tidak bisa berbuat itu. Kau membuat aku melukaimu.”
“Kenapa kau begitu menderita? Aku yang terluka. Bukan kau.” Kataku sarkastik.
“Sangat menyakitkan melukai belahan jiwamu dengan tanganmu sendiri.” Kata-katanya seperti menonjokku.
“Maafkan aku.” Sikapku sudah mulai melunak.
“Apa yang harus kulakukan untuk mengentikan darahmu. Kau kan kehabisan darah kalau begini terus.”
“Aku tidak akan apa-apa. Percayalah.”
“Apa maksutmu dengan tidak akan apa-apa? Darahmu terus keluar!” dia mulai membentakku. Aku tahu, dia sangat mengkhawatirkanku. “Ikut aku.” Dia membopongku ke suatu tempat. Ternyata dia membawaku ke air terjun surga. “air ini akan sangat membantu. Setidaknya akan membantu menyumbat lukamu. Celupkan tanganmu ke sini.”
“Argh…” aku berteriak keras. Rasanya lukaku seperti dibakar. Sangat panas. Sampai akhirnya aku tidak kuat menahan dan jatuh pingsan.
***
Badanku terasa lemas. Tanganku masih terasa seperti dibakar. Kupegang dahiku. Ada kompres? Kubuka mataku perlahan. Dimana ini? Yang pastinya ini bukan kamarku. Apa yang terjadi kemarin? O iya, aku pingsan. Kulihat orang disebelahku. Onew sedang tertidur lelap dengan kepala di kasur dan badannya di lantai. Dia ikut terbangun karena gerakanku.
“Di…mana…aku?” suaraku juga terdengar sangat parau.
“Kita di rumahku. Tidak mungkin aku mengantar ke rumahmu. Kasurmu mengambang. Akan sulit bagiku untuk merawatmu. Tidak mungkin kan aku tidur di sebelahmu.” Kata-kata tadi membuat pipiku merah padam.
“A…pa yang…kau…katakan?”aku cuba untuk marah. Tapi, tubuhku terlalu lemas. Onew bangkit dan memegang dahiku. Sekali lagi. Wajahku memerah karena itu.
“Em… sudah tidak demam. Lukamu juga sudah mulai menutup. Tapi ada yang tidak beres dengan suaramu itu. Sebaiknya kau istirahat saja. Akan kutemani kau. Maksutku aku akan menunggumu.”
“Um…” Aku mengangguk dan mulai berbaring lagi. Onew menyelimutiku. Sangat hangat. Tak berapa lama aku sudah terlelap lagi.
***
“Kau apakan teman kami? Kenapa dia jadi seperti ini?” teman-teman Uki marah-marah kepadaku.
“Tenangkan diri kalian.” Kata Taemin. “Maafkan kami ketua. Kami yang memberitahu kalian ada disini. Aku pantas dihukum.”
“Tidak apa-apa. Ini bukansalah kalian. Aku yang bersalah. Mereka pantas memarahiku.” Aku Cuma pasrah, karena ini memang salahku.
“Ada ap… a ini…? Kena…pa rebut sekali…?” Uki sudah terbangun.
“Kau sudah bangun? Maafkan kami karena riibut-ribut.” Kataku padanya.
“Teman…teman… kena…pa kalian… ada di sini?” Uki tampak bingung. Mereka semua berkumpul di sini.
“Astaga! Bahkan suaramu terdengar sangat parau.” Sica menyadarinya. “Kau!” dia menudingku lagi. “Kau sudah membuat temanku seperti ini.”
“Ka…lian. Ini bukan salah…nya. Dia…tidak sa…lah apa…apa. Bahkan mung…kin malah aku… yang me…nyakitinya.” Aku kaget sekali mendengar pembelaannya.
“Sakit apa? Bahkan dia tidak tergores sedikitpun.” Temannya tetap ngotot. Sekarang ganti Dyne yang marah-marah.
“Ya…memang dia…tidak tergores…sedikitpun.tapi aku… sudah melukai… perasaan…nya.” Apakah aku mimpi. Uki bisa merasakan perasaanku yang luka. “Maafkan aku. Maaf karena aku sudah membuat khawatir.”
“Uki, kau anggap apa kami ini? Kami adalah sahabatmu. Apapun untukmu. Kami akan selalu ada untukmu.” Kata Chae.
“Um…aku mengerti. Tapi, aku tidak ingin selalu merepotkan kalian.”
“Aku mengerti.” Mereka mengangguk bersamaan.
“Kalau begitu, kami pamit dulu. Kamu masih butuh istirahat. Ayo teman-teman. Sayang, kita pergi sekarang.” Kata Sica pada teman-temannya dan mengajak pelatihnya pergi. “Tolong jaga dia. Awas kalau terjadi sesuatu lagi padanya.” Dia berbalik lagi dan mengancamku. Aku menangguk.
“Maaf sudah membangunkanmu seperti ini.” Aku meminta maaf padanya.
“Tak apa. seharusnya aku yang meminta maaf padamu. Semua ini karena aku.” Dia balas meminta maaf.
“Bukan ini…”
“Sudahlah. Kalau kau tetap ngotot, tidak akan selesai.” Dia tersenyum tipis. Baru kali ini aku melihat Uki tersenyum dengan tulus. Wajahnya terlihat seperti dewi. Oh, dia memang dewi. “Onew…” dan baru kali ini dia memanggil namaku.
“Ya?”
“Bisakah kau mengantarku ke kamarku. Aku tidak mau terjadi kekacauan lagi disini.”
“Tapi…”
“Tenanglah. Aku baik-baik saja. Tidak akan terjadi sesuatu padaku.”
“Baiklah.” Jawabku lemas. Kugendong dia dalam pelukanku. Dia balas merangkul leherku. Mungkin dia takut terjatuh. Wajahnya ditekuk kedalam. Akan kujaga dia. Aku mulai terbang.
“Boleh aku Tanya sesuatu?” tanyanya sambil mendongakkan wajahnya untuk melihat wajahku.
“Tentu. Tanya saja.”
“Kalau aku adalah dewi, kenapa aku tinggal di bumi? Dan… orang tuaku. Apakah mereka orang tua kandungku?”
“Bukan. Para dewa hanya menitipkan kalian pada orang bumi itu. Mereka hanya orang tua angkatmu. Kau dititipkan di bumi karena pada waktu itu musuh menyerang. Dan para dewa tidak ingin calon penerus dewi diketahui oleh musuh. Maka dari itu, kau dititipkan di bumi dengan orang tua angkatmu.”
“Apakah itu juga berlaku pada teman-temanku?”
“Ya…seperti itulah.”
“Lalu, kalau aku dewi, kenapa aku masih butuh berlatih?”
“Kekuatanmu terlalu lama terkunci. Maka dari itu, kau berlatih untuk membuka pintu kekuatanmu. Atau semacam mengingatkanmu.” Dia menunduk lagi. Sepertinya dia sudah kehabisan pertanyaan dan mulai lelah. Meskipun demamnya sudah turun, tapi tubuhnya masih terlalu lelah untuk melakukan kegiatan. Termasuk berbicara. Dia tertidur dalam pelukanku.
***
Saat aku terbangun aku sudah ada di kamarku sendiri. Kutatap sekelilingku. Sangat sepi dan kososng. Hufh…dimana dia. Aku mencoba bangun dari ranjang. Tapi, tangan tergelincir. Aku terjatuh. Ada sesuatu yang menangkapku. Onew menangkapku. Lagi. Aku sangat payah.
“Hei…kau baru kutinggal sebentar saja sudah mau jatuh lagi. Ternyata kau orang yang berbahaya. Aku jadi tidak bisa meninggalkanmu. Kalau tidak, kau bisa terjatu lagi. Kenapa kau ini sering terjatuh?” Onew tersenyum. Jantungku berdebar dua kali lebih kencang. Perasaan apa ini? Baru kali ini aku seperti ini. Aku menunduk.
“Terima kasih.” Kataku pelan. Bisa dibilang sebuah bisikan. Aku tetap menunduk.
“Dan kau selalu menunduk.”
“Maaf.”
“hahaha” Onew tertawa lagi. “kenapa kau minta maaf? Memangnya kau salah apa?” Onew membaringkanku ke ranjang lagi. “Istirahatlah lagi. Jangan bergerak, kau akan terjatuh lagi. Biar kubuatkan kau makanan dulu. Ingat, jangan bergerak.” Aku baru tahu kalu dia bisa masak. Bahkan, aku yang seorang perempuan saja tidak bisa masak. Aku jadi malu. Sesuai perintah Onew, aku kembali tidur.
***
“Aku tidak tenang meninggalkan dia sendiri dengan ketuamu itu.” Aku tak bisa mengontrol emosiku.
“Chae. Tenanglah…! Mereka tidak akan apa-apa.” Key mencoba menengkanku dengan sabar.
“Bukan mereka, tapi hanya Uki yang aku khawatirkan. Bagaimana kalau…bagaimana kalau…?”
“Sssst… sudahlah. Kau harus percaya pada ketuamu kalau dia takkan apa-apa. Dan aku percaya pada ketuaku. Pada dasarnya, hati ketuaku sangat halus. Lebih halus dari sutra. Apalagi setelah dia bertemu dengan belahan jiwanya.”
“Aku hanya…Aku tidak mengerti.”
“Jangan kau pikirkan lagi.” Key memelukku dengan lembut. Membuat emosi yang tadi siap aku muntahkan menguap. Sungguh ajaib. Dia selalu membuatku tenang.
“Tenanglah Chae. Aku juga tidak akan memaafkan dia kalau dia berani macam-macam.” Sica ikut marah-marah.
“Sayang dan kalian. Tenangkanlah diri kalian, ketua kalian tidak akan apa-apa. Percayalah. Dan cobalah percaya pada ketua kami. Lagian, itu hak mereka. Mereka adalah pasangan yang sudah ditakdirkan. Biarkan semuat terjadi seperti aliran sungai.” Taemin menenangkan semuanya.
“Baiklah.” Dyne dan Sine mengerti. Yang lain Cuma mengangguk.
***
“Uki…” kudengar seseorang memanggil namaku. Kulihat disepan terhampar taman bunga yang sangat luas. Di sana berdiri seseorang. Siapa dia? Aku mencoba mendekat. Anak kecil? Siapa ini?
“Mama…” Ha? Siapa mamanya? Dia berlari ke arahku. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas minta digendong. Anak laki-laki yang sangat lucu.
“Mama gendong.” Ha? Aku mamanya? Sejak kapan.
“Yoru… panggil seseorang di belakang.” Onew? Kenapa dia disini?
“Gendong papa saja ya?” Papa? Yoru? Anakku dengan…Onew?
“Uki…kau tidak apa-apa?…”aku hanya diam.”Uki…Uki…”Aku terbangun. Hufh…ternyata hanya mimpi. Onew dari tadi memanggilku. Tercium bau sedap. Perutku jadi lapar.
“Kau kenapa? Kau mimpi sesuatu?” tanyanya khawatir.
“Ya…sesuatu yang sangat mengagetkan.”
“Kau tahu? Mimpi seorang dewi adalah gambaran masa depan. Kalau kau mimpi sesuatu yang berbahaya. Langsung beritahu aku.” Gambaran masa depan?
“Um…aku akan memberitahumu.”
“Sekarang makanlah dulu.” Onew menyuapiku. Karena buburnya masih panas, dia meniupkannya untukku. Sangat baik. Kukunyah satu dua kali.
“Hmmm…ini enak sekali. Apakah benar kau yang masak?” tanyaku curiga. Ini benar-benar enak.
“Hei…kau tidak percaya ya? Aku memang pandai memasak.” Katanya membanggakan diri.
“Oke…oke…aku kalah. Jadi, di masa depan. Kau yang masak. Oke?” Ups…aku keceplosan.
“Apa?” Onew berhenti menyuapiku. Piringnya hampir jatuh.
“Awas! Piringnya jatuh.” Dengan cekatan Onew menangkapnya lagi. Fiuh… untung bisa kualihkan.
“Wah…maaf. Ayo cepat habiskan makananmu dan istirahat lagi.”
Setelah semua buburnya habis, aku berbaring lagi. Onew menyelimuti diriku. Sangat nyaman.
“Tidurlah. Supaya kau cepat pulih.”
“Um…” Aku mengangguk.
“Aku akan menunggumu di bawah.” Dia turun ke bawah. Yup, dia tidur di sofa. Agak tidak enak rasanya. Pasti tidak enak tidur di sofa. Setalah kenyang, aku merasa sangat ngantuk. Aku pun akhirnya tidur.
***
Hari ini aku bangun lebih awal. Badanku sudah lebih mendingan. Aku sudah tidak lemas lagi dan luka ditanganku sudah mulai mengering. Sebaiknya aku segera siap-siap. Aku turun ke bawah. Kulihat Onew masih terlelap di sofa. Wajahnya sangat imut seperti itu. Kupandangi dia agak lama, sampai aku tersadar. Apa yang sedang kulakuakan? Aku berjalan ke arahnya. Dan mencoba membangunkannya.
“Onew, bangun. Bukankah kita harus latihan?” dia masih tetap tidur. “Hey…bangun. Kita harus latihan sekarang.” Teriakku lebih keras sambil mengguncang-guncang tubuhnya. Akhirnya dia bergeming.
“O…” katanya kaget dan segera berdiri. “Kau mau kemana? Rapi sekali.”
“Bukankah kita harus latihan sekarang?” tanyaku mengingatkan.
“Ow…Ow…tidak bisa. Lukamu baru saja kering. Jika kau banyak bergerak, lukanya akan terbuka lagi. Apalagi, latihanmu kali ini adalah keterampilan main pedang. Tidak, aku tidak bisa membiarkanmu terluka lagi.” Dia bersikeras mencegahku.
“Onew… dengarkan aku! Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera menyelesaikan latihan ini. Bukan saatnya untuk egois. Kau mengerti? Nasib seluruh dunia ada di tangan kita. Aku mohon…” kucoba menyadarkannya secara perlahan.
“Tapi…” Onew berhenti sejenak berfikir. “Baiklah.” Akhirnya dia menyetujui. “Hari ini, kita berlatih bersama teman-temanmu.”
“Bukankah latihan mereka berbeda?”
“Ya… memang. Mereka dibagi menjadi dua kelompok. Sihir dan senjata. Kau mempelajari keduanya. Jadi, kau akan selalu berganti kelompok.”
“Sepeti itu?”
“Baiklah. Kau sudah siap?”
“Yap, aku siap kapan pun.”
Kami terbang bersama ke pulau temanku. Disana mereka seudah berkumpul dan sudah mulai berlatih. Ada yang aneh dari mereka. Sepertinya mereka tidak menyukai kedatangan kami. Lebih tepatnya kedatangan Onew. Mereka menatap tajam kearah Onew.
“Hai… teman-teman.” Sapaku. “bagaimana perkembangan latihan kami.” Chae langsung beralih menatapku dan tersenyum.
“Sangat baik. Kami berkembang sangat cepat.”
“Ya… apalagi yang melatih kami orangnya sangat sabar.” Kata Sine sambil berjalan dan merangkul pinggang Jonghyun. Kelihatannya mereka sangat dekat.
“Betul. Mereka sangat sabar melatih kami. Dan itu sangat membantu.” Dyne melakukan hal yang sama seperti Sine. Merangkul Minho. Ya…pemandangan yang sangat ‘sedap dipandang’.
“Tentu.” Jawabku singkat.
“Ya… kau pasti tau sendiri. Mereka berbeda dari…” Sica berbicara sinis sambil melirik Onew.
“Hmmm?” Aku bertanya konyol aku tak tahu lagi harus berbicara apa. “Oh, aku jadi lupa. Ayo kita berlatih. Kali ini aku bergabung dengan kelompok Chae dan Sica untuk berlatih pedang. Bukankah ini sangat menyenangkan?” kataku mencoba mencairkan suasana.
“Benarkah? Apa dia juga akan ikut?” lirik Sica pada Onew.
“Tentu saja. Dia kan pelatihku. Tidak mungkin aku mengganggu kalian dengan mengambil pelatih kalian.” Godaku.
“Oh…yang benar saja. Tidak akan kami biarkan.” Gurau Chae.
“Baiklah. Ayo kita berlatih.” Kata Key mengingatkan.
“Tenanglah sayang. Kau sangat tidak sabaran.” Sangat lucu melihat kedekatan mereka. Tapi, memang seperti itulah. Kami berjajar rapi. Memegang sebilah pedang yang sangat berat dan tajam. Tanganku sedikit gemetar mengingat kejadian waktu logam dingin ini menembus tanganku.
“Tenanglah. Aku ada bersamamu. Jangan takut.” Bisik Onew dibelakangku. Aku mengumpulkan keberanianku. Dan kini aku bisa berkonsentrasi penuh.
Kami mulai menebas-nebaskan pedang ke angin. Terus begitu, sampai kita dilatih untuk duel one by one. Kami melawan pelatih kami masing-masing. Seperti duel sungguhan sangat menegangkan. Yang pertama maju adalah Sica dengan Taemin.
“Majulah duluan.” Kata Taemin.
“Jangan terlalu memberiku banyak kesempatan.” Senyumnya picik. Secepat kilat, dia sudah sampai di depan Taemin. Menebaskan pedangnya yang langsung ditangkis oleh Taemin. Mereka sangat cepat. Seperti kilat yang menyambar-nyambar. Mataku memandang kagum.
“Mereka adalah spesialis dalam kecepatan.” Kata Onew. O… pantas mereka sangat cepat. Mataku masih tetap menatap pemandangan luar biasa itu. Kau pasti bisa melakukannya. Mereka bisa begitu karena mereka sudah berlatih lama.” Mereka terus seperti itu. Menyerang dan menangkis. Sampai akhir, hasilnya adalah seri. Begitu menakjubkan. Sekarang giliran Chae dan key. Sebelum berduel mereka saling tersenyum. Em… sangat pengertian. Mereka hanya diam berhadapan. Lama… sekali.
“Apa yang mereka lakukan?” tanyaku pada Onew.
“Mereka adalah ahli strategi. Mereka saling menunggu. Mencari kelemahan lawan. Baru setelah itu mereka akan menyerang.”
Tak lama kemudian, tiba-tiba Chae menghilang dari tempatnya dan muncul di belakan Key.
“Sangat bagus, sayang.” Key dengan gesit menangkisnya.
“Ini belum selasai. Jangan lengah. Oke?” kata Chae diikuti kerlingan genitnya. Dia menghilang lagi barpindah ke depan Key. Key segara menangkisnya. Terus seperti itu. Berputar mengelilingi Key. Seperti tarian yang sangat lugas. Ketika tiba-tiba, tanpa diduga Chae menyerangnya dari atas. Tapi, key tetap saja bisa menangkisnya. Mereka benar-benar pasangan yang pas. Indah sekali. Ternyata itu adalah akhir dari latihan mereka. Kita mendapatkan seri lagi. Aku tidak yakin bisa seri melawan Onew.
“Percaya dirilah.” Bisik Onew lagi. Kata-katanya sedikit membuatku tenang. Hanya sedikit. Kami saling berhadapan dan saling mengarahkan pedang. Kami diam untuk waktu yang cukup lama. Dan…dalam sekejap, aku mulai menyerangnya. Dia dengan tenang menangkisnya. Tenanglah. Aku pasti bisa melakukannya. Bisikku. Aku terus berfikir sambil menyeramg. Terus kulakukan dengan kecepatan tinggi. Aku berlari dengan kecepatan tinggi dari depannya dan tiba-tiba, aku menghilang di belakangnya. Kuhunuskan pedangku. Sebelum mengenai lehernya, kuhentikan gerakanku. Onew terkunci ditempatnya. Onew tersenyum.
“Kau yang menang.” Semua tepuk tangan. Aku juga belum percaya bisa mengalahkannya. Bahkan, sebelumnya, aku tidak memiliki kepercayaan diri sama sekali. Aku kembali ke tempat duduk untuk beristirahat. “Kau capek?” Tanya Onew menghampiriku.
“Em…” Aku hanya mengangguk sambil mengatur nafas.
“Kau benar-benar hebat.” Katanya lagi.
“Eng?” tanyaku tidak mengerti.
“Ya…hanya dengan melihat saja, kau langsung bisa melakukannya. Apalagi, kau bisa mengimprofisasinya menjadi gerakan yang menakjubkan dan sulit ditebak.”
“Uki…” teman-temanku menghampiriku. “Kau sangat hebat tadi. Sampai-sampai mulut kami tadi menganga melihat kamu.” kata Chae menggebu-gebu.
“Benar. Kami sangat takjub tadi.” Kata Taemin.
“Mungkin kami, juga bisa kalah melawanmu.” Key menyanjung. Sebagai wakil ketua, suatu kehormatan dia menyanjungkku. Tapi, kenapa mereka sangat formal ketika berbicara padaku?
“Tidak seperti itu. Ini pasti Cuma kebetulan.” Elakku. “Lagian. Jangan berbicara begitu formal kepadaku.”
“Kami tidak bisa.” Tolak Key. “kami harus seperti ini jika berbicara pada ketua.”
“Hey…aku bukan ketua kalian.” Candaku.
“Suatu hari. Kau juga akan menjadi ketua kami.” Kata Taemin. Aku semakin tidak mengerti. Apa lagi teman-temanku semua cekikikan. Ada apa dengan mereka. Bukannya mereka tadi tidak menerima kehadiran Onew?
“Seperti itu ya?” kataku linglung. Sekarang capekku sudah menghilang. Kami terus bercanda. Teman kami yang berlatih sihir juga sduah ikut bergabung. Suasana semakin ramai. Ternyata pelatih-pelatih itu juga bisa humor. Aku saja tertawa terus mendengarkan lelucon mereka. Aku jadi semakin akrab dengan mereka. Tanpa terasa, matahari sudah mulai terbenam.
“Sudah saatnya kita pulang.” Onew mengingatkan.
“Ah…benar juga.” Aku baru sadar. “kita lanjutkan besok lagi. Da…” aku terbang berdampingan dengan Onew. “Hey…apa maksutnya mereka berkata ‘Aku akan menjadi ketuanya suatu saat nanti’? aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.”
“Em…itu tergantung kamu. hanya kamu yang tau jawabannya. Ya kan?” lah? Ni malah Tanya balik ke aku. Kalu aku tau jawabannya, nggak mungkin dong aku Tanya ma dia. Trus, apa gunanya aku Tanya dong?
“Hahahaha. Suatu saat kau pasti akan tau jawabannya dan mengerti maksutnya.”
“Hei…” Teriakku marah. “Kau selalu melakukan itu. Pergi dari pikiranku sekarang juga. Hus…hus…” usirku.
“Itu salah kamu sendiri. Kanapa kau memperbolehkan aku membaca pikiranmu? Sudah kubilang. Kau harus membentengi pikiranmu. Kau masih sangat ceroboh.” Bukannya nyenengin, kata-katanya malah bikin bibirku tambah manyun. “liat tuh bibir kamu! lebih panjang dari hidung kamu. hahaha…” tawanya bartambah keras saja. Huh… nyebelin. Bahkan, setelah aku masuk ke kamar, tawanya masih terdengar dengan jelas. Sangat jelas sekali. Huh…daripada mati jengkel. Mendingan aku tinggal tidur aja. Masa bodo.
***
“Ternyata Onew tak seburuk seperti yang kita pikirkan.” Kataku mengakui Onew dan mulai bisa menerimanya.
“Sudah kubilang kan Sica? Ketua kami tidak seperti itu. Dia sangat bertanggung jawab. Kau sih… tidak pernah mau mendengarkan penjelasanku.” Taemin mencubit pipiku.
“Ya…aku tau itu. Dia cukup kuat untuk melindungi Uki. Tapi, tetap saja Uki masih lebih kuat daripada dia.” Yah… si Chae ini niatnya mau muji apa ngejek? Nggak ngerti deh.
“Memang seperti yang kita liat. Tapi tetap saja sayang. Ketua kami cukup kuat untuk melindungi Uki.” Key mencoba menjelaskannya pada Chae. “Uki memang benar-benar hebat. Permainan pedanganya sanagt indah.” kata key sambil menerawang.
“Ehem…terus aja muji dia.” Sindir Chae.
“Tenang saja sayang. Aku nggak bakal nyerong kok. Hehehehe.”
“Ini memang kenyataannya” Minho setuju. “Selain kecepatannya yang luar biasa, strateginya juga sulit ditebak.” Kata Minho memancarkan wajah kekaguman.
“Aku juga melihatnya dari kejauhan.” Jonghyun setuju.
“Semoga saja Onew cukup kuat dan bisa mengimbanginya untuk melindungi Uki.” Harap Sica. Sekarang dia sudah mulai bisa menerima Onew.
“Gerakannya sangat indah. Seperti tarian pencabut nyawa. Lugas dan penuh dengan ketegasan. Bahkan, kami yang seorang penyihir bisa kagum padanya.” Jonghyun menimpali.
“Teman kami memang hebat.” Jurus lebay Sine sudah mulai.
“Tapi kita tidak boleh kalah. Kita harus bisa mengimbangi Uki.” Kataku semangat berapi-api.
“Benar. Tanpa kalian, Uki tidak bisa apa-apa. Dia juga akan butuh bantuan kalian.” Kata Taemin. Juga penuh dengan semangat. Malam ini, kami membicarakan kemampuan Uki. Selain itu juga, tentang perkembangan hubungan Onew dan Uki. Sebenarnya, Uki tau perasaan Onew atau tidak sih? Bikin gemes deh.
***
Bangun tidur, badanku terasa lebih ringan. Masalah yang kemarin? Sudah nggak ingat lagi tuh. Tapi awas aja kalau Onew berani ngingetin. Aku tusuk-tusuk dia pake pedang.
“Hai putri pemimpi.” Hah…aku kaget setengah hidup. Baru buka pintu, Onew udah ada di depan. Nyandar ke tiang pintu. Ni orang gila kali ya…
“Pe…pemimpi?” tanyaku nggak jelas.
“Iya. Jangan kebanyakan mimpi bisa nusuk-nusuk aku pake pedang. Nggak bakal bisa. Hahahaha” kami sudah mulai berangkat. Seperti biasa. Kami terbang berdampingan.
“Ng…nggak kok.” Jawabku tergagap. Kenapa jadi gagap begini?
“Hello…baru aku ingetin tadi malam. Meski kamu ada di dalam kamar, aku masih bisa baca pikiranmu.”
“Hufh…” kuhembuskan nafas panjang tanda aku menyerah. “Oke-oke. Lain kali, kau tidak akan kubiarkan masuk kedalam pikiranku lagi.”
“Itu lebih baik.” Katanya senang.
Hari ini, kami sudah pindah jalur. Kemarin latihan pedang. Untuk hari ini, kami akan latihan sihir. Semoga saja bisa menggunakannya. Cukup sulit memikirkannya. Di luar akal sehatku.
Seperti biasa, teman-teman sudah menungguku di sana. Bedanya, mereka kemarin sudah berlatih lebih dahulu. Tapi sekarang, mereka menungguku untuk memulai latihan. Hmmm… sangat setia kawan.
“Uki, kau sudah datang.” Sambut Dyne.
“Yep. Aku juga sudah siap latihan.”
“Hati-hatilah Uki.” Syne mengingatkan. “Sihir tak sesederhana seperti yang kau pikirkan.”
“Tentu saja. Aku sudah mengerti.” Aku mengangguk.
“Untuk memulai latihan ini, mereka akan mempraktikan dulu. Karena mereka sudah berlatih lebih dahulu.” Jelas Onew.
Dyne dan Minho maju lebih dahulu. Aku kira, sihir akan membutuhkan sebuah tongkat ajaib. Ternyata dugaanku salah. Mereka hanya menggunakan tangan kosong. Minho mulai menyerang Dyne, tapi ada sebuah pelindung yang muncul. Sehingga serangan itu tidak sampai ke Dyne. Kulihat Dyne mengarahkan tangannya ke atas. Tidak muncul apa-apa. Dengan cepat kilat, Dyne merapal mantra untuk mengunci Minho. Tiba-tiba, dari atas awan tadi muncul berjuta api. Seperti jutaan meteor jatuh di atas Minho. Minho merapal mantra lagi. Kupejamkan mataku karena takut. Setelah selesai, kubuka lagi mataku. Ternyata Minho tidak tergores sedikitpun. Waw…benar-benar hebat. Aku bertepuk tangan senang.
Sekarang giliran Syne dan Jonghyun. Keduanya terdiam sambil merapal mantra. Tak berapa lama, muncul monster-monster kecil dari belakang mereka. Monster-monster itu saling menyerang. Kemudian menghilang. Seri.
“Ini masih awalnya. Jangan lengah.” Kata Syne mengingatkan pada Jonghyun.
Mereka merapal mantra lagi. Kali ini, muncul makhluk yang lebih besar. Sebangsa ogre. Tapi, mereka menghilang lagi. Syne dan Jonghyun tetap gigih dan tidak menyerah. Mereka terus merapal mantra. Dan kali ini muncul dua ekor naga. Mereka siap menyemburkan api dari mulutnya. Siapakah diantara mereka yang akan menang? Benturan api itu menyebabkan letusan yang sangat hebat. Dan letusan itu menjadi letusan yang lebih kecil. Seperti kembang api. Sangat indah. aku bertepuk tangan lagi. Syne membungkukkan badan.
Sekarang giliranku. Hufh… ini benar-benar gila.
“Siapkanlah dirimu.” Kata Onew.
“Um…” Aku mengangguk. Kutundukkan kepalaku. Kuhirup nafas dalam-dalam kemudian kuhembuskan perlahan. “Aku sudah siap.”
Onew sudah hamper melancarkan mantra. “Tunggu sebentar.” Potongku. Onew tidak jadi menyerangku.
“Ada apa lagi?”
“Mantra apa yang harus kurapal. Aku tidak tau mantra apa-apa.”
“Oh…” Onew tertawa. “Mantra hanyalah kiasan. Intinya, kau seperti berdoa. Memohon sesuatu. Tak perlu kau ucapkan. Kau batin saja. Dan apa yang kau batin akan menjadi kenyataan.”
“Oke. Aku sudah mengerti.”
Kami berdua sudah mulai berkonsentrasi lagi. Kubatin sesuatu. Tiba-tiba muncul api dari tanganku. Wow…benar-benar terjadi. Onew menangkisnya dengan hebat. Kuluncurkan lagi api dari tanganku. Tapi, tiba-tiba menghilang sebelum mencapai Onew. Kurapal mantra lagi. Keluarlah Lord Shadow. Dia akan melancarkan sesuatu dari tongkat yang dibawanya itu. Onew hanya memerhatikan apa yang ada di depannya. Dia bersiap menangkis serangan itu. Tapi, api yang kulontarkan sebelumnya, muncul dari belakangnya. Onew yang tidak sadar, terkena serangan itu dan terkena serangan Lord Shadow sekaligus. Setelah melontarkan serangan, Lord Shadow itupun menghilang. Kuhampiri Onew. Dia tidak terluka. Tenyata, tadi dia masih sempat merapal mantra untuk melindungi dirinya. Hufh… syukurlah. Kami beristirahat.
“Itu benra-benar luar biasa.” Kata Jonghyun kagum.
“Tak kusangka kau akan cepat menguasainya.” Kata Dyne tak percaya.
“Kalian tahu kenapa Uki selalu kutaruh diakhir?” Tanya Onew.
“Entahlah.” semua menggeleng.
“Aku tidak perlu mengajarkan apa-apa padanya. Karena hanya dengan melihat, dia bisa menangkapnya. Dia hanya butuh contoh dan mempraktekannya.” Jelas Onew. Oh, mukaku sekarang sudah seperti kepiting rebus.
“Benar juga. Dia belum pernah berlatih sihir sekalipun. Tapi, dia sangat hebat tadi.” Minho mengungkapkan kenyataan.
“Sudahlah.” Kucoba menghentikannya. “Jangan memujiku terus. Aku bisa terbang seperti balon.” Gurauku. Mereka semua jadi tertawa. Aku juga ikut tertawa.
Sekarang sudah saatnya kita kembali. Tak kusangka, belajar sihir akan lebih melelahkan disbanding belajar pedang. Tapi, menggunakan sihir sangat menyenangkan. Seperti dongeng-dongeng yang pernah kudengar dari ibu. Hufh…aku jadi rindu pada ibu.
“Kenapa kau murung?” Suara Onew menyadarkanku dari lamunan. Kami sedang dalam perjalanan pulang.
“Eng…?” tanyaku ling lung.
“Apa kau tadi tidak mendengarkanku?”
“Maaf.”
“Kelihatannya kau memang sedang ada masalah. Ada apa? Ceritakan saja padaku. Tidak apa-apa.” Sorot matanya menenangkan. Memohon, tapi tidak menuntut.
“Tidak apa-apa. Aku hanya teringat pada ibuku.” Aku tersenyum tipis. “Bukankah ini sangat lucu?”
“Um?” wajah Onew sarat pertanyaan. Sangat lucu. Sampai aku ingin mencubit pipinya. Hahaha…
“Yah. Lucu. Dulu, waktu aku baru disini, aku sangat marah padamu. Dulu, aku pikir, aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu.” Onew mendengarkan dengan sabar. “tapi…tapi sekarang, aku bahkan sangat dekat denganmu.”
“Dekat…dalam arti apa?” Onew bertanya malu. Meskipun suaranya pelan, tapi itu praktis membuat wajahku memerah.
“Um? Dekat…dekat…dekat…” yang bisa kulakukan hanya mengulang-ulang kata. Apa yang harus kulakukan? Bukan. Apa yang harus kukatakan?
“Sudahlah. Tidak usah kau jawab sekarang. Aku masih kuat menunggu beberapa lama lagi.” Onew tersenyum. Bukannya membuatku tenang, malah membuatku semakin gelagapan. Dasar! Sengaja. Tunggu sebentar. Jadi maksut dia tadi…maksutnya…dia nembak aku? Argh… mengetahui kenyataan itu, aku semakin salah tingkah.
“Hei. Kau tidak apa-apa? Kenapa kau bergerak ke kanan-kiri begitu? Belajar cara terbang zig-zag ya?”
“Ha? Oh, iya-iya. Lagi belajar. Keren kan?” kupraktikan lagi gayaku tadi. Ah…malunya.
***
“Hari ini kita akan latihan sendiri?”
“Kita tidak latihan bersama mereka? Kenapa?” tanyaku bodoh
“Apa kau mau mengulangi pelajaranmu lagi? Kau sudah menguasai semuanya. Sekarang ada lain yang harus kau pelajari.”
“Bukankah itu sudah semuanya?”
“Kau akan sangat memerlukan ini. Ini akan sangat memudahkanmu. Perpindahan dimensi. Menyingkat waktu jika kau ingin berpindah-pindah.” Jelasnya. “Oya. Bukankah kau kemarin sudah bisa melakukannya? Waktu latihan sihir.” Onew mencoba mengingatkanku.
“Kapan? Aku tak ingat pernah melakukannya.”
“Em…jadi begitu.” Onew mengelus-elus janggutnya. Ugh, gaya sekali dia. Tapi, aku tak bisa menyangkalnya kalu itu membuatku terpesona. “Kau melakukannya selama ini dengan tidak sadar. Kau sudah menggunakannya berkali-kali. Seperti yang kau lakukan saat berlatih pedang. Kau tiba-tiba sudah berada di belakangku. Dan waktu kita berlati sihir. Api yang kau lontarkan dari depan menghilang begitu saja, tapi kenapa bisa muncul dari belakangku. Ya seperti itulah.” Onew mencoba menjelaskan. Em…aku sedikit mengerti. “Sekarang cobalah lagi.” Suruhnya.
“Aku harus bagaimana? Aku tidak tahu caranya.”
“Ini mungkin terdengar rumit. Tapi sebenarnya, ini semudah dengan sihir. Bayangkan tempat yang ingin kau tuju. Dalam seketika kau akan ada di sana.”
Aku mengangguk mengerti. Kuawali dengan membayangkan tempat yang ingin kutuju. Aku coba untuk berkonsentrasi. Wah… dalam kedipan mata saja aku sudah berpindah tempat. Sekarang aku sudah berada di air terjun surga. Menarik. Tapi…
“ONEW… bagaimana caraku kembali?” Aku berteriak tak jelas. Bagaimana ini. Aku belum terbiasa. Akan kucoba berteloprtasi lagi. Kupejamkan mata, lalu kubuka lagi. Nggak mungkin. Aku belum berpindah. Kupejamkan mata dan kubuka berkali-kali. Tapi, keadaan tidak berubah. Baiklah kalau begitu, aku terbang saja. Ugh…aku terbang. Tapi, hanya naik satu senti, aku terjatuh lagi. Oh, sebegitu besarkah tenaga yang dihabiskan untuk berteleportasi?
Ugh…mau bagaimana lagi. Yang bisa kulakukan adalah menunggu keajaiban datang padaku. Aku duduk termenung sendirian. Yah…air terjun surga memang jarang dikunjungi. Aku sendirian. Kubenamkan kepalaku di antara kakiku.
***
Kenapa dia tidak kembali-kembali. Pikirku. Apakah dia pergi ke tempat teman-temannya dan keasikan ngobrol? Sampai tak ingat untuk kembali ke sini. Ah…dia pikir aku ini apa? Suruh menunggu dia, sedangkan dia keasikan ngobrol. Uh, akan kucari dia dan kuseret dia kembali. Dasar menyusahkan. Tujuan pertama ke tempat teman-temannya. Aku terbang ke sana. Kulihat disana mereka masih berlatih. Mereka terlihat bingung melihatku datang sendiri.
“Apa kalian tahu dimana Uki?” tanyaku begitu turun ke tanah.
“Memang ada apa dengan Uki? Dimana dia?” Tanya Sica cemas. Oke, dengan pertanyaan itu, kusimpulkan dia tidak ada disini. Kemana dia. Aku terus berfikir.
“Kenapa kau tidak menjawab. Dimana Uki?” sekarang ganti Chae yang bertanya.
“Maaf. Aku harus pergi sekarang. Akan kukabari nanti.” Pamitku pergi. Tidak ada waktu meladeni pertanyaan mereka. Yang kupikirkan hanya untuk segera menemukan Uki.
“Uki…Uki…” kupanggil-panggil namanya. Kutanya pada orang yang lewat satu per satu. Tapi, hasilnya. Nihil. Kemana lagi harus kucari dia. Bagaimana kalau terjadi apa-apa padanya. Ini kedua kalinya aku melakukan kesalahan. Dan ini membuatku semakin gila. Aku terus berpikir kemugkinan dia pergi. Hanya ada satu kemungkinan. Dia pasti kesana. Ya, dia pasti kesana. Tanpa pikir panjang, aku langsung terbang ke sana dengan kecepatan tinggi.
Kulihat dari kejauhan. Seseorang duduk dengan kepala tertelungkup. Hanya ada dia di sana. Di air terjun surga. Itu pasti dia. Sangat lega melihatnya baik-baik saja. Dasar ceroboh! Segera saja kuhampiri dia di sana.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku bercanda. Dia mendongakkan kepalanya perlahan. Wajahnya terlihat sangat lelah. “Lihatlah wajahmu. Sangat mengerikan.” Candaku lagi. Tiba-tiba, setetes air mata jatuh hingga menjadi tangisan. Ada apa ini? Secara naluriah, aku langsung memeluknya. Mencoba untuk menenangkannya.
“Kau jahat sekali.” Katanya di sela-sela tangis. “Kenapa kau tidak bilang kalau ‘itu’ menghabiskan banyak tenaga? Bagaimana kalau aku tidak bisa kembali.” Dia marah-marah tanpa henti kepadaku. Melihatnya seperti itu, sangatlah lucu. Wajahnya penuh air mata, tapi masih saja sempat memarahiku. “Apa yang lucu? Kenapa kau menertawakan aku? Hello…aku hampir saja hilang. Apa itu……” sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, kutarik dia dalam pelukanku.
“Kau tak usah takut. Karena ada aku disini.” Bisikku lembut. Dia langsung terdiam tegang. Lama sekali dalam diam. Dia langsung mendorongku. Hahaha, kelihatannya dia sudah mulai sadar.
“Apa yang kau lakukan? Jangan mendekat.” Cegahnya ketika aku akan mendekatinya lagi.
“Memang kau tak mau pulang?” tanyaku datar. “bagaimana aku bisa membawamu kalau aku tidak mendekat?” dia berkedip satu dua kali.
“Oh…ya sudah. Cepat bawa aku pulang.” Langsung kutarik dalam pelukanku. Dia sangat tegang. Kami berdua terbang bersama untuk pulang.
“hahaha.”
“apa yang lucu?” tanyanya dengan wajah cemberut.
“Wajahmu sangat lucu. Matamu bengkak, pipimu merah, mulutmu itu…hahaha, panjang sekali. Seperti ikan koi.”
“jangan ketawa lagi!” bentaknya. Itu malah membuatku semakin tertawa kencang. Akhirnya dia memilih diam sambil tetap cemberut.
“Nah, kita sudah sampai. Apa kau ingin langsung istirahat?” dia hanya yang mangangguk lalu berlalu masuk kamarnya. Kucoba membaca pikirannya. Hah? Dia tidak melindungi pikirannya. Baiklah. Ini sangat bagus. “Daripada di luar bersama orang aneh sepertimu. Lebih baik aku tidur saja.” “HEI! Apa maksutnya ‘orang aneh’?” ganti aku yang berteriak dari luar. Terdengar suara tawa dari dalam kamar. Sialan! Tadi dia memang sengaja membuka pikirannya agar aku bisa membacanya. Dasar! Awas saja kau.
***
“Berapa hari lagi yang tersisa sebelum bangsa Hollow akan ke sini?”
“Sekitar satu minggu. Itu waktu yang paling lama. Mungkin, dalam waktu dekat ini, mereka akan datang. Ini tak bisa diperkirakan.” Key memperkirakan.
“Ini sangat gawat. Apa lagi dengan keadaan kami yang belum siap seperti ini. Akan lebih banyak peluang bagi mereka untuk menyerang kita. Apa yang harus kulakukan?” Key menepuk pundakku dengan lembut.
“Kau jangan menanggungnya sendiri. Ini terlalu berat untukmu. Ingat, ada aku disini. Aku akan selalu ada di sampingmu.”
“Lalu bagaimana dengan yang lain?” ketiga teman yang lainnya sedang keluar entah kemana.
“Kau terlalu memikirkannya.” Key tersenyum lembut. Membuat hatiku yang sedang bingung sedikit menenang. “Mereka juga sama bingungnya dengamu, Chae. Mereka pasti juga sedang memikirkan sesuatu sekarang ini. Makanya mereka keluar sekarang.
“Apakah kita semua akan baik-baik saja? Apakah setelah peperangan itu selesai, kita akan tetap seperti ini? Aku sangat takut kehilanganmu.”
“Semua akan tetap sama. Seperti semula. Tidak ada yang berubah. Aku juga takut kehilanganmu.” Tiba-tiba mata Key menjadi sendu. Ternyata dia juga memikirkanku. “Aku akan selalu mengikutimu kemanapun. Tenang saja. Aku akan selalu menemanimu. Dimanapun.” Jawabnya lemas. Seperti dia telah menanggung banyak beban. Kemudian Key memelukku dengan lembut. Akhirnya, kami mencoba menenangkan satu sama lain.
***
“Sine, kenapa kau murung lagi?” Tanya Jonghyun membangunkanku dari lamunan. “Apa kau memikirkan Uki lagi?”
“Oh, tidak.” Jawabku gelagapan. Semua temanku menatapku bingung. “Aku hanya memikirkan… apa…yang harus kita lakukan saat peperangan tiba? Aku sangat takut. Sebenarnya, aku mengajak kalian keluar karena takut menambah beban Chae dan Key. Karena mereka adalah ahli strategi kita.”
“Kami semua juga takut jika memikirkan itu. Tapi saat ini, yang bisa kita lakukan hanyalah berlatih lebih keras.” Kata Dyne menanggapi. Meski dalam kata-katanya terdengar gugup, tapi dia sudah berusaha tegar.
“Benar, ini bukan tentang kalian atau kami. Ini adalah tentang kita. Jika kita bersatu, sesuatu yang tidak mungkin, akan menjadi mungkin.” Kata Jonghyun penuh kelembutan. Benar kata Jonghyun. Aku tersenyum tipis padanya. Kemudian, senyumku menghilang. Memikirkan hal yang tidak ingin itu terjadi.
“Lalu, apa yang akan terjadi setelah peperangan? Apa kita akan tetap seperti ini? Apa kita…” pertanyaanku terhenti karena tak kuat lagi menahan tangis. Jonghyun langsung saja memelukku.
“Tenang saja. Aku akan selalu ada di sisimu. Dimanapun kau berada. Aku akan selalu ada untukmu.” Tangisku semakin meledak. Tapi, sekarang aku lebih tenang, karena tahu bahwa Jonghyun akan selalu ada untukku.
“Sebenarnya. Kami juga sangat takut. Bahkan, kekuatan kita belum sempurna untuk melawan mereka.” Dyne menanggapi.
“Benar, memang. Kekuatan kalian memang belum sempurna. Tapi, ketika kalian terdesak, kekuatan tersembunyi kalian akan keluar.” Kata Minho.
“Apa maksutmu?” Tanya Dyne tak mengerti. “Apa kau kira dengan kekuatan sekarang ini, sudah cukup untuk melawan mereka?” bentaknya penuh kemarahan.
“Kalian. Hentikan! Bukan saatnya kita bertengkar. Jangan sampai kita terpecah.” Sica mencoba melerai.
“Bukan begitu maksutku. Kita memang harus tetap berlatih terus untuk meningkatkan kekuatan kalian.” Minho mencoba menjelaskan lagi.
“Minho memang tidak pintar untuk menenangkan orang. Memang seperti itulah caranya untuk membuat kita tenang. Setidaknya, dia sudah berusaha untukmu, Dyne.” Tatapan Dyne melunak.
“Maafkan aku.” Katanya lemah.
“Tidak apa-apa. Bahkan kau tidak ingat. Kalau aku akan selalu di sampingmu.” Minho tersenyum. Begitu juga Dyne.
“Benar. Jika kita selalu bersama, kemungkinan untuk menang semakin besar. Bukan begitu, Sica?” Tanya Taemin.
“Um…Kita pasti akan menang.” Kami semua akhirnya tertawa. Kami akan menghadapinya bersama dengan teman. Karena kami adalah satu.
***
Hari ini dan seterusnya adalah waktu yang kita gunakan untuk merundingkan strategi. Tidak ada banyak waktu lagi. Maka dari itu, sekarang ini, kita semua berkumpul di gedung pertemuan. Tempat untuk mengadakan rapat penting. Termasuk sekarang ini. Sangat penting.
“Berapa banayk waktu lagi yang kita punya, Key?” Tanya Onew tegas.
“Kita hanya punya waktu satu minggu saja. Itu batas terlama. Ada kemungkinan mereka datang lebiah awal. Mungkin besok atau lusa. Aku tidak bisa memperkirakannya.”
“Baiklah. Sekarang kita harus menyusun strategi untuk menyerang mereka. Key, apa kau sudah punya gambaran untuk strategi kita kali ini?”
“Begini ketua. Bangsa kita memiliki 2 pintu gerbang. Pasti mereka akan membagi 2 pasukannya. Dan dari salah satu pasukan itu, akan ada rajanya. Kita juga akan membagi 2 pasukan kita. Yang pasti, ketua dan Uki akan menghadapi raja mereka.” Kami semua mengangguk setuju.
“Lanjutkan!” pinta Onew.
“Karena prajurit yang mendampingi raja pasti lebih kuat dari yang lain, maka aku dan Chae akan ikut kelompok ketua. Sedangkan yang lain, akan berjaga di pintu gerbang satunya lagi. Apa ada yang keberata?” Tanya Key meminta pendapat pada yang lain.
“Tapi, apa itu cukup? Maksutku kelompok kalian. Kalian bahkan tidak memiliki kelompok penyihir.” Protes Syne.
“Memang di kelompok kami tidak ada penyihir. Tapi, hanya dengan adanya Uki saja itu sudah cukup. Dia pengendali segalanya.”
“Tapi, apa itu tidak akan merepotkan Uki?” Sekarang ganti Dyne yang angkat bicara.
“Sedikit menyusahkan memang benar. Tapi, kelompok penyihir akan lebih mudah digunakan untuk menghadapi pasukan yang sangat banyak.” Sebelum ada yang berkomentar lagi, Key langsung melanjutkan. “Benar, raja juga akan diikuti oleh prajuri yang lebih kuat. Tapi, itu tidak akan banyak. Karena mereka lebih kuat. Makanya, mereka hanya akan membawa seperlunya. Tidak untuk gerbang satunya. Akan lebih banyak prajurit. Maka dari itu. Kami kerahkan semua penyihir di sana. Apa kalian semua mengerti.” Penjelasan Key membungkam semua orang. Chae tersenyum bangga dengan penjelasan Key.
“Baiklah. Kita akan menjalankannya sesuai rencana Key. Uki, apa kau tak apa-apa mendouble pekerjaan?” tanyanya padaku.
“Um…aku rasa aku tidak akan apa-apa. Rencana ini sangat sempurna.” Key tersenyum.
“Baiklah kalau begitu. Kita akan mulai siap di gerbang mulai besok. Apa ada pertanyaan lagi. Kalau tidak ada, kita akhiri sekian rapat kali ini.” Rapatpun akhirnya berakhir. Mendengar strategi yang diungkapkan Key tadi saja sudah membuatku merinding. Apa lagi kalau aku menghadapinya sungguhan.
***
Matahari masih segan menampakan dirinya. Di luar masih sangat gelap. Tapi, kami sudah bersiap-siap untuk menjaga gerbang. Tidak seperti seorang pengelana, kami hanya memabawa alat seadanya. Kami tidak butuh apapun. Hanya mental kami yang sangat kami butuhkan. Yang lain tidak terlalu penting.
“Apa kau sudah siap?” Tanya Onew meyakinkan. Oya. Satu lagi. Kita tidak menggunakan baju zirah seperti di film-film action. Bahkan, kalau bisa dibilang, pakaian kami sangat minimalis.
“Ya. Kita berangkat sekarang? Mungkin yang lain sudah menunggu di air terjun surga.” Sebelum kami berpencar, kami berkumpul di air terjun.
“Baiklah. Kita berangkat sekarang.” Aku dan Onew akhirnya berangkat. Hembusan angin di luar sangat dingin. Bahkan bisa menembus sweater tebalku. Tapi, ini tidak akan menurunkan semangatku. Ya, aku harus tetap kuat.
Kulihat, mereka semua sudah berkumpul. Mereka juga seperti kami. Membawa alat seperlunya.
“Apakah kalian semua sudah siap?” Tanya Onew lagi sebagai seorang ketua.
“Kami sudah siap ketua.” Jawab mereka bersamaan.
“Bagaimana dengan kalian?” Sekarang Onew bertanya kepada keempat temanku.
“Kami sudah siap.” Jawab mereka. Dari matanya terpancar kesiapan mental dan ketakutan bergabung jadi satu.
“Baiklah. Sekarang sudah saatnya kita berpencar.” Kata Onew lagi. Sebelum pergi, Key menambahi.
“Kita harus melindungi tempat ini. Melindungi penduduk Conha. Maka dari itu, kita harus berusaha sekuat tenaga.” Semua mengangguk menegrti. Akhirnya kita berpencar.
Disisi gerbang terdapat benteng untuk tempat berjaga. Di sana kami akan berjaga. Tempatnya terbuka, sehingga kami bisa mengawasi dengan jelas. Di benteng tersebut terdapat dua ruangan yang hanya terpisahkan dengan sekat.
“masing-masing dari kita akan tinggal di salah satu sekat ini. Key, kau dan Chae tinggal di sebelah. Aku dan Uki akan tinggal disini.”
“Tunggu-tunggu. Apa maksutnya itu?” tanyaku gelagapan.
“Kita tidak akan tidur, Uki. Kita akan berjaga seharian. Apa yang kau pikirkan?” Tanya Onew curiga. Langsung saja, kulindungi pikiranku sebelum Onew sempat membacanya. Uh… malu.
“Apakah mereka akan datang secepat itu?” tanyaku mencoba mengalihkan perhatian. Selain itu, memang pertanyaan ini yang selalu mengganggu pikiranku.
“Mungkin ya dan mungkin tidak.” Seketika wajah Onew berubah jadi serius. “Kami tak bisa memperkirakan dengan pasti kapan mereka datang.”
“Bagaimana kalau mereka menyerang kita pada saat kita lengah?” pikirku semakin kea rah yang paling mengerikan.
“Maka dari itu, kita harus tetap waspada. Meskipun mereka tidak datang hari ini.”
“Seperti itu?” dengusku.
“Tenang saja. Aku akan selalu melindungimu.” Aneh, dengan mendengar kata-kata Onew yang hanya satu baris itu seketika membuatku tenang.
“Aku tak butuh kau lindungi. Lagian, aku tidak mau merepotkan orang lain.” Kataku salah tingkah. Onew hanya tertawa renyah. Syukurlah, dia masih bisa tertawa. Aku senang melihat dia sedang tertawa. Melihatnya tertawa seperti itu memberikan aku harapan baru.
***
Key sedang membentangkan karpet agar kita nyaman dalam berjaga. Dia terlihat sangat lelah. Mungkin karena dia terlalu banyak memikirkan strategi yang akan kita lakukan. Sebagai ahli strategi, itu sudah menjadi tugasnya.
“Apakah kau lelah?” tanyaku khawatir.
“Tidak. Aku baik-baik saja. Kau tenang saja.” Elaknya. Tapi, dia tidak bisa membohongiku.
“Bohong. Sebaiknya kau istirahat dulu. Kumpulkan tenagamu untuk perang nanti. Atau kita akan…”
“Kita tidak akan kalah.” Potong Key sebelum kuselesaikan kalimatku.
“Ini bukan saatnya keras kepala. Kenapa kau tidak pernah mendengarkanku? Aku tidak ingin kau terluka di perang nanti.” Tanpa terasa air mataku sudah mengalir. Melihat air mataku yang mengalir, sifat Key melunak.
“Maafkan aku. Baiklah, aku akan beristirahat. Jangan menangis lagi.” Key menghapus air mataku. “Melihat air matamu, membuatku sangat terluka.”
“Biarkan aku yang jaga malam ini. Kau istirahat saja.”
“Jangan terlalu memaksakan dirimu. Kalau kau lelah, istirahat saja. Masih ada ketua yang berjaga.” Kata Key balik menasehatiku.
“Aku akan melakukannya. Sekarang istirahatlah. Jangan pikirkan yang lain, hanya untuk malam ini.” Kuselimuti dia. Kemudian dia memejamkan matanya. Tidurlah dengan lelap.
***
Matahari pagi sudah menampakkan dirinya. Mataku perlu sedikit penyesuaian. Karena kami berjaga semalam suntuk. Tiba-tiba aku merasakan kehadiran yang sangat tidak aku inginkan. Sangat mengganggu. Membuatku sulit untuk bernafas.
“Mereka datang.” Kataku pelan sambil mengatur nafasku karena kekuatan mereka yang mendesak pikiranku.
“Kau tidak apa-apa?” Tanya Onew cemas.
“Ya…aku tidak apa-apa. Tolong beri tau semuanya untuk bersiap-siap perang.” Aku mencoba menyerang balik mereka dengan pikiranku. Aku mulai berkonsentrasi. Kuserang balik mereka. Tekanan yang mereka berikan sedikit demi sedikit mulai menghilang dari pikiranku. Onew mulai memberitahu yang lain lewat pikirannya. Kelihatannya yang lain sudah mulai bersiap. Dari kejauhan terlihat gerombolan musuh. Mereka banyak sekali dan terasa aura yang kuat. Benarkah kita bersepuluh bias mengalahkan musuh sebanyak itu?
“Tenang saja. Kita pasti menang.” Kata Onew optimis. Meyakinkanku.
“Sebaiknya kita maju lebih dahulu. Aku nggak ingin kerusakan yang terjadi lebih besar dari yang kita perkirakan. Setidaknya, kita bias meminimalisir kerusakan Conha.” Ideku. “Kita berdua saja. Aku ingin yang lain tetap di sini untuk berjaga melindungi desa.” Tambahku.
“Baiklah. Kita maju sekarang. Kita hadang mereka disana.” Onew menunjuk tempat yang lumayan aman untu menyerang mereka.
“Baiklah.” Aku memejamkan mata sebentar. Merapal mantra untuk memasang perangkap. “Kita berang kat sekarang.” Aku dan Onew mulai terbang.
“Uki, kau mau kemana?” Tanya Chae tiba-tiba menghentikanku.
“Aku akan maju. Kalian tetap di sini saja. Tetap berjaga di sisni dan lindungi rakyat kita. Mengerti?” aku hendak berangkat lagi.
“Tapi, Uki…” Chae terlihat ragu-ragu mengatakannya. Terlihat raut khawatir di wajahnya.
“Tenang saja. Kami akan kembali dengan selamat dan kita pasti menang.” Kuulang ucapan Onew tadi.
“Hati-hati…” Jawabnya lemas.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Ayo, Onew.” Onew menangguk tanda dia siap bernagkat.
Setibanya dipertahanan paling depan, musuh terlihat sangat dekat sekali. Kuhirup nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan. Kami sudah siap.
“Ingat, jangan lupa membuka pikiranmu untukku. Apa kau mengerti?” perintah Onew untukku.
“Aku mengerti.” Jawabku tegang.
“Berjanjilah, kau akan selamat dari perang ini. Berjanjilah padaku. Apa kau bisa?” Tanya Onew lemas.
“Pasti. Aku akan kembali pada kalian semua. Aku akan berkumpul dengan kalian lagi.”
Sekarang musuh sudah di depan mata. Tiba-tiba bola-bola api muncul dari berbagai arah menyerang mereka. Itu adalah perangkap yang sebelumnya telah kubuat. Kurapal mantra lagi. Muncul Shadow Lord seperti yang kugunakan untu melawan Onew pada saat latihan. Shadow lord langsung melenyapkan banyak prajurit musuh. Tiba-tiba saja dengan kecepatan cahaya sudah muncul musuh di depanku. Untuk aku sempat menangkis serangannya. Musuh macam apa ini? Kuat sekali. Auranya juga berbeda dari yang lain. Mendesak auraku. Aku mencoba melawannya. Dia terpental.
“Makhluk apa itu? Kuat sekali.” Kulihat Onew juga sedang melawan seorang musuh. Auranya lebih kuat. Tapi tak sekuat musuh yang kulawan tadi. Setelah Onew bias melemparkan musuhnya, baru dia menjawab pertanyaanku.
“Dia adalah raja para Hollow ini. Sedangkan yang kulawan tadia adalah jendralnya.”
“Wah, ternyata pikiranku salah. Kukira Rajanya sejelek pasukannya. Ternyata dia tak kalah ganteng darimu. Hihihi.”
“Jangan coba-coba (Onew mengancam). Awas!”
Musuh itu datang lagi. Kami serius menghadapi musuh lagi. Dia sangat kuat. Menggesekkan pedang satu sama lain. Terus menyerang satu sama lain. Kulihat para prajurit melewati kita masuk desa. Tidak! Aku terpental terkena serangan karena tidak konsentrasi dengan pertarunganku.
“Uki. Kau tidak apa-apa?” Tanya Onew lewat pikirannya.
“Ya aku tidak apa-apa. Aku hanya kurang konsentrasi. Ayo kita lanjutkan ini.”
Kami berduapun akhirnya hanya berkonsentrasi pada pertarungan masing-masing. Tanpa sadar aku bergerak menjauhi Onew.
“Baiklah. Ayo kita buktikan, siapa yang lebih ahli dalam bermain pedang.” Teriakku pada Raja itu. Dia mengguanakn tudung kepala, sehingga wajahnya tak terlihatnya. Yang kulihat hanya seringainya. Nampaknya dia terlihat menikmati pertarungan ini. Kami terus membenturkan pedang. Ada saatnya kami sama-sama terpental. Tidak bias. Jika terus sama-sama kuat seperti ini. Tidak akan ada akhirnya.
***
“Ternyata musuh masih bisa menembus. Kita harus bersiap-siap.” Kata Chae.
“Em.” Key mengiyakan. “Aku akan memberitahu yang lain untuk bersiap.”
“Sebelumnya, kita harus menyusun strategi. Begini strateginya….”Chae dan Key sedang sibuk membicarakan strateginya. “Tolong beritahu yang lain untuk mempersiapkannya.”
“Baiklah. Sekarang kita sudah siap bertarung. Datanglah kapan saja Hollow. Kami akan menyambutmu dengan manis.” Seringai Key.
Saat musuh datang, perangkappun bekrja. Muncul dua monster naga besar yang menyemburkan api panasnya pada prajurit itu. Ternyata strateginya adalah memberikan monster yang diciptakan Dyne dan Syne. Sedangkan Chae dan Key menyerang secara langsung. Dan tiba-tiba dari belakan Sica dan taemin sudah muncul untuk membantu. Dari kejauhan, para penyihir membantu dengan kekuatan mereka. Jonghyun dan Minho membantu mengeluarkan monster lebih banyak lagi. Sedangkan, Dyne dan Syne membantu untuk menyembuhkan temannya yang terluka. Terus seperti itu.
“Ayo teman-teman. Kita berjuang mempertahankan desa kita.” Teriak Sica semangat masih sambil meneba musuh dengan pedangnya itu.
“Ya…”Jawab Chae, Key, dan Taemin bersamaan. Yang lain hanya tersenyum. Semangat. Kita semua pasti bias menang dan berkumpul lagi. Itu pasti.
Semua bertarung dengan semangat. Meskipun memang prajurit jauh lebih mudah dikalahkan, tapi jumlah mereka sangat banyak. Tanpa kerjasama mereka semua, akan sangat sulit mengalahkan mereka semua.
***
Semakin lama, raja itu semakin kuat menyerangku. Aku terpental berkali-kali. Sedangkan Onew juga masih sibuk melawan musuhnya jauh di sana. Tidak mungkin aku meminta tolong padanya. Itu tindakan bodoh sekali. Aku harus bias mngalahkannya sendiri.
“Kenapa? Sudah lelah?” Tanya raja Hollow itu. Suaranya yang baritone ditambah seringaiannya, membuatku ngeri. Dia sangat menakutkan. Tapi, aku tidak akan kalah denganmu. Tidak akan pernah.
“Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah lelah melawanmu. Sampai kau mati, aku tidak akan menyerah.” Teriakku. Kuserang lagi dia. Dia menangkisnya dengan tepat.
“Aku suka semangatmu. Aku memang tidak salah memilihmu.” Kulihat seringainnya lagi. Dia perlahan membuka tudung kepalanya. Ehhh…yang kubilang tadi bahwa dia tidak kalah tampan memang benar. Padahal itu hanya akal-akalanku untuk menggoda Onew. Matanya tajam, tinggi, kulitnya putih pucat seakan tidak pernah terkena sinar matahari. Dia menyerangku lagi dengan menebaskan pedangnya padaku. Aku yang tidak siap, terkena tebasan itu. Tanganku tergores dan mengeluarkan darah segar. Rasanya sangat perih. Tapi, aku harus kuat. Kuserang balik dengan bola api. Dia menangkisnya dengan mudah.
“Kau tahu kalu bola api tidak akan mempan padaku.”
“Tapi, sayangnya kau salah. Aku tidak menggunakan bola api itu untuk menyerangmu. Tapi untuk ini.” Kuhunuskan pedangku padanya. Kena. Yes. Akhirnya… tapi tiba-tiba, sosok yang kuhunus tadi berubah jadi asap dan menghilang.
“Wah…aku terkesan dengan caramu bertarung. Sangat elegan. Aku semakin suka padamu.” Dia tersenyu lagi. Senyum yang menyeramkan, tapi sangat mempesona.
“apa maksutmu? Jangan coba mengecohku dengan omonganmu itu. Tidak akan mempan padaku lagi.” Kuserang dia lagi, lagi, dan lagi.
“Aku tidak bermaksut mengecohmu. Apa yang aku bicarakan itu semuanya benar. Dari awal, kau adalah pilihanku.” Dia melemparku. Untung aku bias menahannya, sehinnga aku tidak terpental terlalu jauh. “Perkenalkan, aku raja Hollow Saga.” Dia memperkenalkan dirinya secra elegan padaku. “Sejak awal, sebelum kau dilahirkan, aku sudah memilihmu menjadi pendampingku. Tapi ternyata, kau telah salah mengambil jalan. Kau sekarang bersama mereka. Orang yang seharusnya kau lawan bersamaku sekarang.”
“Tidak mungkin. Itu semua pasti bohong. Kau ingin mengecohku kan? Itu tidak akan berlaku padaku.” Elakku.
“Terserah kau mau percaya atau tidak. Kau bias menanyakannya apda ‘DIA’.” Saga menunjuk Onew. Aku hanya bias menggeleng. Ini tidak mungkin. Aku tidak mungkin ditakdirkan untuk bersama musuhku.
“TIDAK…..!” Teriakku.
“Uki. Apa yang terjadi padamu? Kendalikan dirimu.” Onew mencoba menyadarkanku melalui pikiranku lagi.
“Apa yang semua dia katakana benar?” tanyaku menuntut kejelasan.
“Apa?”
“Bahwa seharusnya aku sekarang bertarung bersama Dia, Saga. Melawan teman-temanku dan….melawan kamu?” tanyaku lemas.
“Semua itu bohong. Jangan percaya padanya.”
“Tapi, dia…sepertinya dia tidak berbohong… jawab yang sebenarnya, Onew. Aku mohon…”
“Tidak. Kau tidak seharusnya bertarung bersama Saga. Kau sudah bersama kami. Dia bukan siapa-siapa. Percayalah padaku Uki. Bertarunglah bersamaku dan bukan bersamanya. Aku…aku…Argh….!” Tiba-tiba Onew berteriak. Keberadaannya dipikiranku juga menghilang.
Onew…Onew…kau tidak apa-apa?Onew, jawab aku. ONEW!” aku sangat panik saat ini.
“Maafkan aku. Dia sangat kuat. Sekarang, Ayo kita berjuang bersama.”
“Em.” Aku mengiyakan. “Aku tidak akan pernah setuju bertarung denganmu Saga. Meski takdirku harus bertarung bersamamu melawan teman-temanku. Tapi sekarang, aku akan menentukan takdirku sendiri. Bertarung dengan teman-temanku untuk mengalahkanmu.” Teriakku padanya.
“Tapi sayang. Jika kau membalikkan takdirmu, maka takdirmu untuk hidup juka akan terbalik. Kau akan mati bersama teman-temanmu yang lain. Dan kemenangan, hanya menjadi milikku seorang.” Kata-kata itu menjadi sebuah pedang bagiku. Saga tertawa sangat kencang.
“Tidak akan semudah itu. Aku akan menyelamatkan temanku meskipun aku harus mengorbankan nyawaku.”
Kami terus saling menyerang. Dia sangat kuat. Tenagaku mulai habis, tetapi dia tetap bisa berdiri. Nafasku tinggal satu-satu. Apakah aku masih bisa melanjutkan pertarungan ini? Apakah aku masih bisa menyelamatan teman-temanku? Pertanyaan it uterus berkelebat dalam pikiranku.
“Kenapa? Sudah mulai lelah ternyata.” Ejeknya.
“Kalau hanya menghadapimu, dengan tenaga ini saja sudah cukup untuk mengalahkanmu.” Kataku lebih untuk meyakinkan diriku sendiri.
“Benarkah? Kalau begitu, mari kita buktikan.” Dia mulai melemparkan bola hitam raksasa ke arahku. Sialnya, aku terlalu lambat untuk merapal mantra penangkis. Pada akhirnya aku terkena juga. Dampaknya sangat besar pada diriku. Karena terkena serangan tadi, banyak organ tubuhku yang rusak.
“Uki, apa kau tidak apa-apa?” teriak Onew dari seberang. Dia tidak konsentrasi untuk bertarung. Dia terkena tebasan pedang juga. “Argh…”
Kucoba untuk berdiri lagi. Meski ini sangat menyakitkan, tapi akan kucoba bangkit. Aku tidak ingin ada orang lain yang terluka hanya karena diriku. Terutama orang yang sangat aku sayangi. “Aku tidak apa-apa. Sebaiknya kau pertahankan pertarunganmu. Jangan sampai kalah darinya.”
“Baiklah.”
Sekarang perthatianku kembali teralih ke Saga. Kutatap tajam ke arahnya. Dia berjalan mendekat. Berdiri di sebelahku, kemudian dengan cepat menekan rusukku yang sepertinya patah. “Argh…” erangku.
“Ternyata ini yang kau bilang bahwa energimu cukup untuk mengalahkanku? Jangan terlalu percaya diri dulu. Aku jauh-jauh lebih kuat dari yang kau pikirkan. Masih ada kesempatan. Jadilah partnerku dan kau akan selamat. Aku pastikan itu.”
“Cuih…sampai kapanpun aku tidak pernah membelamu. Meskipun aku harus mati, aku akan tetap bertarung bersama teman-temanku.” Kuayuhkan pedangku dengan dua tangan. Pedang yang awalnya ringan bagiku, menjadi berat seakan-akan ada beban pada pundakku. Gerakanku menjadi lambat, sehingga sangat mudah bagi Saga untuk menghindarinya.
“Teruslah berbuat sia-sia. Habiskan semua tenagaku. Dengan begitu, akan akan lebih mudah untuk membunuhmu.” Kata Saga sambil menghindari seranganku dengan mudah wajahnya sangat datar seakan tak ada kesulitan.
“Jangan banyak omong. Cepat kau cabut pedangmu. Lawan aku sekarang.” Bentakku.
“Kau tahu, kalau kau akan kalah kalau aku sampai mencabut pedangku? Kemenanganku itu tidak akan pernah terelakkan.”
***
Disisi lain, teman-teman tetap melawan musuh yang tidak ada habisnya. Terus berdatangan menggantikan yang lain. Keadaan, mereka semua sudah mulai lelah. Tenaga yang digunakan sangat besar. Sedangkan musuh tidak pernah habis.
“Apa yang harus kita lakukan. Ini tidak ada habisnya. Tamatlah riwayat kita.” Kata Syne merengek tapi tetap sambil melawan musuh.
“Jangan pernah katakan kita tamat sampai disini. Ini belum selesai. Aku tidak suka orang yang mudah putus asa.” Kata Chae marah.
“Iya. Tapi, musuh tidak habis. Sedangkan tenaga kita sudah mulai habis. Kau juga jangan keras kepala dong.” Syne mulai menangis sambil membentak Chae.
“Tidak. Kita pasti menang. Kita pasti menang dan menyelamatkan semua penduduk desa.” Chae lebih meyakinkan pada dirinya sendiri.
“Sampai kapan kau akan terus bersikeras seperti itu? Kita tidak mungkin menang. Itu mustahil. MUSTAHIL.” Syne mulai berteriak.
“Kalian semua. Hentikan ini. Bukan saatnya kita untuk bertengkar. Ada yang lebih penting. Kita harus menyelamatkan seluruh desa.” Sica menengahi.
“Benar. Apa lagi kedua ketua kita sedang mati-matian melawan raja musuh kita. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka demi kita semua disini. Jadi, bukan saatnya kita bertarung. Kita harus bersatu. Jika kita bersatu, tidak ada kata tidak mungkin. Kita pasti akan menang. Itu pasti.” Dalam keadaan ini, ketenangan yang dipancarkan Taemin memang sangat ampuh. Dia selalu bisa mengatasi kondisi serumit apapun.
***
Dia terus menyerangku secara bertubi-tubi. Kekuatannya tidak pernah habis. Aku mulai melemah. Meskipun aku dapat menangkisnya, tapi aku tidak bisa balik menyerangnya. Lalu, bagaimana aku bisa mengalahkannya? Ini sama saja.
Tidak Uki. Berfikir…ayo berfikir. Pasti ada satu cara untuk mengalahkannya. Sambil menghindari serangannya aku terus berkonsentrasi mencari cara. Sesekali aku terkena sabetan pedangnya. Perih memang. Tapi, aku akan lakukan apapu untuk mengalahkannya.
“Kenapa? Bukannya tadi sudah kuperingatkan kalau kau akan mati kalau aku sampai mencabut pedangku?” senyumnya sinis. Seakan dia adalah malaikat pencabut nyawa yang siap mencabut nyawaku sekarang. Aku merinding.
“Dengar. Walaupun kau gunakan pedangmu itu, aku tidak pernah kalah darimu.”
“Heh…bahkan untuk menghindar dari seranganku saja kau tidak bisa. Dari segi mana lagi kau dapat mengalahkanku?” tanpa kusadari, tiba-tiba ide itu gila itu muncul dalam pikiranku. Sangat gila. Kalau sampai yang lain tahu, pasti mereka menentangku habis-habisan. Tapi, ini demi mereka. Karena aku sangat saying pada mereka semua. Aku lakukan ini, karena aku saying mereka semua. Tidak lebih. “Kenapa? Mau menyerah sekarang”
“Tidak akan pernah.” Aku mulai merapal mantra. Tiba-tiba lubang hitam muncul dibelakang Saga. Lubang itu mulai menyedot segalanya dengan kekuatan yang dahsyat. Saga menyangga tubuhnya dengan pedang yang dia tancapkan ke tanah. Aku tersenyum sinis, yang kemudian darah segar mengalir dari mulutku.
Ini memang ide gila. Semua menentangnya karena sihir ini mengambil separuh dari nyawaku. Meski Onew menentangku memakai kekuatan ini, tapi diam-diam aku juga mengembangkan sihir ini. Aku tahu, bahwa suatu saat nanti sihir ini pasti akan dibutuhkan. Penglihatanku mulai mengabur. Yang kulihat Nampak seperti bayang-bayang. Aku hanya terdiam di tempat menyaksikan Saga berusaha melarikan diri.
“Kau tidak akan pernah bisa melarikan diri dari ‘itu’. Meskipun kau gunakan sihirmu yang terkuat, kau tidak akan pernah bisa meloloskan diri.”
Sedikit demi sedikit Saga mulai terseret pusaran angin itu. Sampai akhirnya dia tersedot ke dalamnya. Tubuhku mulai lemas. Sampai aku tak sanggup lagi untuk menyangga tubuhku. Tubuhku juga sedikit demi sedikit terseret kea rah pusaran angin itu.
***
Aku hanya bisa menyaksikan dari jauh ketika lubang hitam itu muncul di belakang Saga. Bahkan pertarunganku dengan wakil raja sampai berhenti. Nampaknya dia juga terkejut dengan apa yang terjadi pada rajanya.
Aku tak habis piker, Uki melakukannya. Dia melakukannya. Bagaimana bisa dia mengorbankan nyawanya? Hatiku terasa perih. Hanya dengan memikirkan apa yang akan terjadi pada Uki. Apa artinya diriku jika tanpa dirinya?
Kulihat perlahan Saga masuk ke dalam lubang hitam itu. Sang wakil menganga. Segera saja kumanfaatkan keadaan itu untuk menyerangnya. Kugunakan sihirku. Muncul bola api yang sangat besar dan mengahantamnya sebelum dia sempat menghindar.
Ya…aku menang. Kulihat lagi Uki diseberang. Semoga dia dapat bertahan dengan setengah nyawanya. Tapi, yang kudapatkan bukan itu. Tubuh Uki ikut terseret dalam pusaran itu. Dia nampak terlalu lemah untuk menghindarinya. Aku segera berlari. Ketika sudah dekar, segera kugapai tangannya agar dia tidak ikut tertelan. Tiba-tiba saja matanya terbuka. Nanar melihatnya yang begitu lemah. Seakan sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi di sana.
“Pergilah. Jangan mendekat. Kau juga akan tersedot jika kau ke sini.” Katanya lemas.
“Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku akan menyelamatkanmu. Bertahanlah.” Kataku penuh emosi yang meluap-luap.
“Pergilah. Sekarang. Aku mohon.” Uki memohon. Kulihat mulut uki bergerak-gerak. Tapi, aku tidak tau apa yang dilakukannya. Tiba-tiba saja, tubuhku terasa membeku. Apa yang dilakukan Uki?
“Tenanglah. Setelah aku menyentuhmu nanti, kau akan bisa bergerak lagi. Setelah kau bisa bergerak. Segera berlarilah. Aku akan menutup lubang itu dari dalam. Karena sangat mustahil untuk menutupnya dari luar sekarang. Keadaan tidak memungkinkan.” Aku ingin memberontak. Tapi belenggu yang diberikan Uki terlalu kuat untuk kulawan. “Berlarilah sejauh mungkin. Apa kau mengerti?” aku ingin menolak. Tapi aku tidak bisa. Pada akhirnya yang bisa kulakukan adalah menitikkan air mata. Uki apa kau tidak tahu, lebih baik aku terjun bersamamu daripada aku harus kehilanganmu? Ini terlalu berat bagiku. Air mata it uterus menetes, tanda aku tidak ingin melakukan itu.
Uki mulai melepaskan genggaman tanganku yang menahannya. Seketika, tubuhnya terlempar ke dalam pusaran itu. Seperti katanya. Dia menutup lubang itu dari dalam. Aku tertunduk lemas. Air mataku semakin bercucuran. Aku ini tidak berguna. Apa yang telah kulakukan pada Uki? Kudengar suara langkah mendekat. Tidak seberapa jauh di belakangku, langkah itu berhenti.
***
Tiba-tiba saja semua prajurit musuh menghilang bersama hembusan angin. Apakah mereka berhasil mengalahkannya? Pikirku.
“Kita menang. Harapan itu tidak kosong.” Kataku senang.
“Benar Chae. Apa yang kau katakana benar. Kita menang…KITA MENANG…” seru Syne bahagia.
“Tentu saja kita akan menang.” Sahut Jonghyun sambil menghampiri Syne dan merangkulnya bahagia.
“Ya…itu membuktikan kalau kita semua mulai kuat. Kekuatan kalian mulai berkembang.” Kata Minho bangga pada anak didiknya yang sekaligus juga kekasihnya.
“Itu semua berkatmu juga.” Dyne tersenyum pada Minho dan menggandeng tangannya.
“Sekarang, mari kita jemput ketua kita untuk merayakan kemenangan ini.” Key sudah tidak sabar untuk berpesta.
“Bersabarlah saying…”kataku.”mereka pasti juga sedang menikmati kemengan bersama. Beri mereka waktu sejenak untuk bersama. Jangan suka menganggu. Apa lagi, aku juga masih ingin merayakannya denganmu.” Kupeluk Key. Kulingkarkan tanganku ke lehernya. Kubenamkan kepalaku di dadanya yang bidang. Sangat nyaman. Dia balik memelukku, membuat seluruh tubuhku terasa hangat.
“Jadi iri nih. Kita juga mau.” Kata Taemin jahil.
“Nggak usah iri lah. Kamu kan punya aku.” Dipeluknya Sica dengan gemas dan penuh rasa sayang. Mereka semua tampak gembira.
Sampai mereka sudah puas meluapkan kegembiraan mereka bersama. Sekarang saatnya menjemput ketua untuk merayakan bersama. Kami semua berlari ke lapangan sebelah tempat mereka bertarung. Dari kejauhan yang kulihat hanya…….Onew. dia menunduk lemas seperti tidak punya semangat hidup lagi. Kami hanya bisa berdiri membeku di belakangnya.
Sampai tiba-tiba Onew berdiri sambil terhuyung. Tatapannya nanar. Air mata masih menetes di pipinya.
“Hyong. Apa yang terjadi?” Tanya Jong.
“Benar. Apa yang terjadi. Dimana Uki? Kenapa kau sendirian?” tanyaku secara bertubi-tubi.
“Chae. Tenanglah. Biarkan ketua tenang dulu.” Key menenangkan Chae yang mulai emosi.
“Aku…aku gagal menjaganya.” Setitik air mata keluar lagi dari matanya. Dia terlihat sangat terpukul.
“Apa kau bilang?” tanyaku lagi tidak percaya. Teman-teman yang lain hanya terdiam mendengarnya.
“Aku…gagal…menjaganya. Dia mengorbankan nyawanya untuk mengalahkan Saga dan melindungi kita semua.”
“Kenapa kau tidak bisa melindunginya? KENAPA?” akhirnya tangisku yang tertahan sejak tadi pecah juga. Air mata itu mengalir tanpa henti. Onew tidak bisa menjawabnya. Yang bisa dia lakukan adalah juga ikut menangis.
“Akupun tidak tahu. Aku…aku…” Onew tidak sanggup meneruskannya. Dia tertunduk lemas. Memukul tanah dengan penuh amarah. “AARGHHHH….!!!!” Teriaknya. Seakan teriakan itu bisa sampai ke Uki dan bisa membuatnya kembali.
Kesenangan yang sesaat. Batinku. Aku rela menukarkan kesenangan ini hanya untuk mengembalikan sahabatku. Untuk apa aku tadi bersenang-senang? Kalau akhirnya kesedihan yang lebih besar menanti. Kami semua akhirnya berakhir menangis bersama. Tapi, tidak ada yang bisa menandingi kesedihan Onew. Kehilangan orang yang sudah menjadi belahan jiwanya. Seseorang yang sudah dinantinya beratus-ratus tahun. Onew terus menyalahkan dirinya. Dia memukul-mukul tanah berusaha meluapkan emosinya.
***
Aku tidak tahan bila harus kehilangan dia. Kenapa aku begitu lemah? Apa yang harus kulakukan agar bisa mengembalikannya? Apakah aku harus mengorbankan nyawaku? Apapun rela kulakukan agar dia bisa kembali ke sini.
“Kau tidak perlu mengorbankan nyawamu demi aku Onew. Itu terlalu besar.” Kudengar suara Uki dalam pikiranku.
“Hyong, kenapa?” Tanya Minho.
“Sssh… diamlah dulu Minho.” Kucoba untuk lebih berkonsentrasi. Apa yang kudengar tadi benar suara Uki?
“Apa maksudmu? Kenapa dengan dirimu ini? Apa kau sudah gila?” sahut Sica penuh emosi.
“Apa kau bisa tenang sebentar. Aku tadi mendengar suara Uki. Biarkan aku berkonsentrasi.”
“Apa kau sudah gila? Suara apa? Bahkan kami tidak mendengarkan apa-apa.” Chae menambahi.
“Dari tadi tidak ada suara.” Sahut Syne.
“Aku yakin itu suara Uki. Percayalah padaku. Bisakah?” harapku penuh permohonan. Aku sudah lemas. Harapanku bisa juga salah. Tapi aku yakin itu pasti Uki.
“Kami sudah pernah mencoba percaya padamu untuk menjaga sahabat kami Uki. Tapi, kau gagal. Apa yang kau harapkan lagi dari kepacayaan kami? Kalau pada akhirnya kau akan membuat kami kecewa lagi.” Syne menjelaskan panjang lebar.
“Aku mohon percayalah padaku. Aku mohon…” aku semakin lemas saja.
“Onew…” panggil Uki lagi dalam pikiranku.
“Uki…apakah kau baik-baik saja?”
“Ya…untuk saat ini.” Suara Uki semakin lemah.
“Uki bertahanlah.”
“Onew…..” suara itu terdengar nyata bagiku. “Onew…..” suaranya sangat lemah, seakan dia mulai lelah. Kubalikkan badanku. Kulihat Uki di sana. Itu benar-benar Uki. Uki masih hidup. Dia berdiri tidak tegak. Tubuhnya agak terbungkuk.
“UKI…….” Keempat sahabat Uki memanggilnya bersamaan dengan wajah lega.
“Uki…Uki…”Aku berlari terhuyung menghampirinya. Aku tidak salah. Itu Uki. “Uki, kau tidak apa-apa. Syukurlah. Kau kembali.” Langsung saja kupeluk tubuh yang kapan saja bisa hancur itu.
“Aku……kembali……” katanya lemah. Beban dalam pelukanku semakin berat. Uki tidak sadarkan diri.
“Uki…Uki…Uki………” kurebahkan dia. Ternyata perutnya terkena luka tusuk yang sangat parah. Sudah mengenai organ-organ vitalnya. “Uki bertahanlah. Kumohon jangan tinggalkan aku sekarang.” Aku sudah tidak tahu lagi. Pikiranku hanya berpusat pada Uki. Semua temannya hanya bisa bungkam dan menangis. “Tenanglah Uki. Kau pasti akan selamat.” Kugendong tubuh Uki yang lemas itu. Aku mulai terbang melewati rumah-rumah penduduk, bukit dan pulau-pulau. Sampai akhirnya aku tiba di Air Terjun Surga. Kuambil air itu dalam tangkupan tanganku. Kucoba untuk meminumkan ke mulut Uki, tapi tidak bisa. Uki tidak menelannya. Apa yang harus kulakukan?
Ini memang gila. Kalau Uki tahu ini, aku pasti akan dibunuhnya. Tapi, akan kulakukan agar dia selamat. Kuminum air itu, kemudian kudekatkan tubuhku kepadanya. Disaat bibirku menempel pada bibirnya yang lembut, kuminumkan air itu. Tolong, kembalilah padaku. Jangan pernah tinggalkan aku lagi. Kukecup dahinya penuh dengan doa dan harapan. Kembalilah padaku.
“AARGHHH…….!!!!!” Uki menjerit sejadi-jadinya. Kemudian dia tertidur lagi.
Kubawa dia kembali ke kamarnya. Lukanya belum sepenuhnya sembuh. Wajahnya terliat sangat pucat dan rapuh. Dia rela korbankan semuanya demi semua orang yang dia sayangi.
Kusentuh lembut luka yang tertoreh di pundaknya, lengan, dan diperutnya. Hatiku terasa sakit melihat keadaannya seperti itu. Kuletakkan kompres di dahinya untuk mengurangi demamnya. Kutatap dia dalam lelapnya cepatlah sembuh. Aku terus terjaga sepanjang malam, tapi menjelang subuh, aku sudah ketiduran.
Keesokan paginya aku bangun agak terlambat. Uki belum bangun juga. Wajahnya yang biasanya berseri, sekarang terlihat sangat pucat. Kubelai rambutnya, lalu kukecup keningnya.
“Kau sudah terlalu banyak tidur. Bangunlah. Apa kau tidak capek tidur terus?” kataku bercanda. Namun dengan seketika senyumku menghilang berganti dengan titik-titik air mata. “Apa kau tahu? Aku sangat mengkhawatirkanmu. Cepatlah bangun. Agar aku bisa merasa lega. Agar aku bisa bicara denganmu lagi, memelukmu, bercanda bersama lagi. Aku merindukan saat-saat bersamamu. Aku sudah seperti orang gila. Berbicara sendiri.”
Kugenggam tangan yang sangat lemah itu. Kupejamkan mataku ‘sampai kapan kau akan terus begini?’ aku merindukanmu. Tiba-tiba saja tangan yang kugenggam itu bergerak. Kutatap wajah yang tak berdaya itu.
“Uki, kau… coba gerakkan lagi.” Tidak ada respon. “Uki gerakkan lagi. Kamu sudah sadar kan?” kataku mulai putus asa. Ternyata tadi Cuma hayalanku saja. Hufh…… kubanting kepalaku ke kasur. Sekarang aku mulai frustasi. Tanpa terasa airmataku mulai menetes lagi.
“Apa kau menangis?” suara itu mengagetkanku.
***
Kulihat Onew membanting kepalanya ke kasur terlihat sangat frustasi. Aku jadi tidak tega mau mengerjainya lebih lanjut. Kelihatannya dia sangat lelah.
“Apa kau menangis?” tanyaku. Onew mengangkat kepalanya terlihat kaget. “Hei…kenapa menangis?” tiba-tiba Onew langsung memelukku.
“Jangan pernah berbuat begini lagi padaku. Kau hampir membuatku mati. Aku sangat takut kehilangan dirimu.” Aku mengerti. Batinku. Kupeluk kembali Onew. Kucoba untuk menenangkannya. Rasa riduku begitu dalam untuk menatap wajahnya lagi. Mungkin dia juga begitu.
***
Keesokan harinya semua berkumpul di ruanganku untuk merayakan kesadaranku. Mereka saling bersulang, menari, dan ngobrol bersama. Persis saat pesta ulang tahun. Tapi, aku tetap di tempat tidur. Onew masih melarangku untuk bangkit. Irinya… semua bisa menari bersama, aku Cuma bisa tidur di ranjang.
“Oya Uki. Kenapa kamu bisa lolos dari Saga? Padahal kamu kan juga ikut tersedot dan menutupnya dari dalam?” Tanya Chae penasaran.
“Memang sangat mustahil keluar dari situ. Tapi, melalui latihanku dan research-ku, aku juga menemukan cara keluar dari lubang kegelapan itu.” Jawabku sambil tersenyum.
“O…ternyata kamu belajar diam-diam ya…” Onew pura-pura marah. Tapi, senyumnya merekah membuat semua ikut tertawa.
“Padahal kamu kan sudah lemah dengan luka sebegitu banyak. Aku tidak habis pikir kamu masih bisa merapal mantra dengan keadaanmu yang selemah itu.” Kata Taemin penuh penasaran
“karena aku yakin dengan masa depan yang aku impikan. Karena Onew memberitahuku bahwa mimpi itu gambaran dari masa depan. Itu yang memberiku kekuatan untuk bisa lolos.”
“Ah… jadi semua karena Onew hyong. Onew hyong, aku tidak percaya. Ternyata perkataanmu bisa berguna juga ya.” Ejek Jong.
“Aish…sialan kau. Kau kira aku ini apa?” Onew pura-pura menjitak kepala Jong semuanya jadi tertawa bahagia.
Akhirnya pesta pun selesai. Semua kembali ke tempat mereka masing-masing. Mungkin mereka juga mau menikmatinya dengan pasangan mereka masing-masing. Hufh… mereka yang lagi kasmaran.
“Uki…boleh aku Tanya sesuatu padamu?” Tanya Onew.
“Boleh. Silahkan saja bertanya apapun. Aku akan menjawabnya.”
“Mimpi apa yang bisa memberikan kekuatan padamu saat kau dalam keadaan selemah itu?”
“Apa kau benar ingin tahu…? Tidak menyesal…?” Onew hanya menggelengkan kepalanya. “Yakin?” sekarang mengangguk. Persis seperti anjing yang patuh pada majikannya. “kalau aku bilang Saga melamarku dan aku menolaknya, apa kau percaya?” tanyaku mencoba untuk mengerjainya.
“Apapun mimpimu. Aku akan percaya. Karena mimpi seorang dewi itu adalah sebuah pertanda.” Sahutnya lemah.
“Sebenarnya……itu Cuma bohong. Ahahaha.” Aku tertawa terbahak-bahak, tapi yang kulihat dari ekspresi Onew. Dia menghembuskan nafas lega. “Yoru.” Sekarang ini aku bicara secara serius.
“Ha?” Onew hanya berha-ho ria.
“Ingat nama anak kita di masa mendatang ya…”
“Anak kita?” Onew masih menampakkan wajah kebingungannya.
“Yoru. Dia yang membuatku bisa bertahan. Dan……aku selalu mengingat dirimu. Saat aku aka bertemu dirimu lagi.” Kataku menerawang.
“Anak kita. Yoru. Aku ingin segera bertemu dengannya.” Aku hanya tersenyum. “gimana kalau kita cepat-cepat nikah aja? Gimana kalau besok?” sekarang aku Cuma bisa bengong ngong ngong.
“Nikah aja yang ada di pikiranmu.”
“Besok kita nikah ya…ya…ya…! Gimana kalau di Air Terjun Surga?” tanyanya meminta persetujuanku. “aku hanya tidak ingin kehilangan dirimu lagi. Apa kau mengerti?”
“Apapun keinginanmu calon suamiku.” Aku tersenyum lagi. Onew langsung saja memelukku bahagia. Kami saling berpelukan karena bahagia.
***
Mskipun mereka semua berpencar.
Syne dan Jonghyun tetap di pulaunya, tapi bagian tepi sambail menikmati awan yang berjalan.
Sica dan Taemin duduk di dahan pohon sambil menikmati Shinee Conha dari atas. Memang sangat indah kalau dilihat dari atas.
Chae dan Key sedang menatap bintang bersama dia atas atap rumah mereka yang sedang bertaburan menghiasi langit malam yang gelap sambil berpelukan.
Dyne dan Minho sedang mendengarkan music bersama. Denga headset Minho di iri dan Dyne di kanan. Kepala Dyne bersandar pada pundak Minho.
Meskipun mereka memiliki kegiatan masing-masing, tapi pikiran mereka tetap sama. “Apa ya yang dilakukan mereka berdua sekarang?”
Dan mendapatkan jawaban yang sama dari pasangannya. “Biarkan mereka berdua merasakan bahagia bersama. Dan samapai kapanpun kita tidak akan pernah terpisahkan.
***
Setelah satu tahun menikah. Sekarang saatnya meregang nyawa antara hidup dan mati. Sampai akhirnya terdengar suara tangis bayi. Semuanya serentak berdiri lega. Bayi laki-laki yang sehat dan lucu. Yoru. Anak kami. Anak yang sudah lami kami nantikan kedatangannya.
“Sudah punya keponakan nih ceritanya.” Ledek Chae.
“Nggak usah nyindir. Pikirin juga tuch kandungan kalian. Beberapa minggu lagi juga pada lahir.” Ledekku balik. Nggak habis piker. Bagaimana bisa mereka menikas secara bersamaan dan hamil secara bersamaan. Melahirkanpun akan secara bersamaan. Hahaha.
“Buruan nyusul ya. Ntar anak kita biar bisa main bareng.” Kata Onew. Lalu Onew berjalan mendekat. Mengelus kepala Yoru dan mengecupnya. Tidak lupa mengecup keningku setelahnya.
-THE END
Post a Comment