News Update :
Home » , , , » [FF] Godess Part 1

[FF] Godess Part 1

Penulis : rierie_destiny on Monday, 21 March 2011 | 09:37

Author : Kimo Youki
main Cast : Shinee’s All Member

Sejak 2 abad yang lalu. Warga kami meyakini adanya makhluk tingkat atas dan hari kebangkitan SHINee. Makhluk yang telah menyelamatkan peradaban manusia dari kehancuran. Mereka juga meyakini, bahwa di hari itu, mereka harus mengorbankan 5 manusia. Bukan manusia biasa. Mereka yang dikorbankan hanyalah gisei mereka yang terpilih oleh sang SHINING. Hari kebangkitan itu di peringati setiap matahari bersinar paling terang dan memancarkan sinar sedikit kemerahan. Setiap hari itu datang, seluruh umat manusia akan memberikan sesaji yang banyak. Tidak lupa dengan gisei sang terpilih.
Aku datang di dunia ini setelah 1 abad berlalu dari masa penyelamatan itu. Tapi, yang aku tahu, adat pemberian korban itu masih ada. Bahkan, ada yang lebih mengerikan. Gisei akan diberi tantangan-tantangan terlebih dahulu sebelum mereka terpilih. Tantangannya tidaklah mudah. Bahkan, banyak dari mereka yang mati.
Kisah itu diceritakan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Ibuku kerap sekali menceritakannya padaku. Katanya, “ Persiapan untuk masa depan. Kalau-kalau kau akan terpilih menjadi gisei.” Berulang kali ibu berkata begitu. Membuat bulu kudukku meremang.
Sesekali aku bertanya kepada beliau. “Bu! Apakah ibu siap kehilangan aku suatu saat nanti?”
“Kalau itu memang sudah kehendak dari SHINING, ibu akan merelakanmu.” Aku sedikit kecewa pada ibu. Tapi tidak apa-apa. Aku tahu ibuku masih termasuk orang yang kolot. Karena beliau lebih mementingkan Mereka daripada aku. Seketika itulah, kebencianku pada para SHINING amatlah besar. Tanpa bisa di bendung lagi. Aku benar-benar membenci mereka.
***
Tahun ini adalah tahun baru. Dimana tahun ini umurku akan menjadi 17 tahun. Desa tempat tinggalku masih damai-damai saja. Semua warga masih melakukan rutinitas seperti biasa. Pergi ke sawah, berkebun, dan menenun. Keluargaku adalah petani biasa. Setiap pagi, aku membantu ibu ke sawah. Ayahku? Entah dia di mana. Dan aku tak peduli.
Desaku adalah desa yang rindang. Desa yang sangaon, belum satu pun dari warga desa kami yang menjadi gisei. Mungkin karena warga dari desa kami terdiri dari wanita. Sulit bagi wanita untuk bias lulus dari test itu.
Desa wanita dan desa pria terpisah. Desa pria ada di sbelah desa wanita. Tinggal menyeberangi hutan, maka akan tampak pemukiman mereka. Alibiku, ibiku menikah dengan seseorang di sana dan setelah aku lahir, ayahku tidak mau merawatku. Itu masih alibiku. Ibuku selalu menghindar setiap kutanya tentang ayah. Sesuatu yang membuatku semakin ingin tahu.
Hari ini, aku sedang membantu ibu menanam padi di sawah. Pagi yang sanagt cerah. Teriknya membuat keringat semakin mengucur. Kuusap peluh yang mengalir di dahi.
“Kamu capek nak?”
“Nggak kok buk. Aku masih kuat. Nih…” kutanam padi itu dengan kecepatan penuh. Sampai-sampai, keseimbanganku hilang dan akhirnya terjatuh. Ibu tertawa melihat tingkahku. Aku Cuma garuk-garuk kepalaku tolol.
“Kamu ini ada-ada aja nak. Kamu nggak perlu ngebuktiin sampai kayak gitu. Yang kena kamu sendiri kan.”
“Nggak apa-apa kok buk. Nggak sakit. Beneran nggak sakit.”
“Siapa juga yang Tanya? O iya. Peringatan hari SHINee diadakan tepat di hari ulang tahunmu lho.”
“O ya?” tanyaku lemas.
“Iya. Bagus kan. Itu tepat kamu berumur 17 tahun. Bukankah itu sangat menarik?”
“Ya…ya… sangat menarik. Yah…sangat menarik.” Kata-kataku terdengar hanya seperti bisikan. Bias dibilang. Aku berbicara pada diriku sendiri.
“Hari sudah mulai siang. Sebaiknya kita pulang sekarang.”
Aku menurut. Pulang dengan kepala tertunduk lemas. Aku benci. Kenapa setiap tahun harus terulang hal yang sma persis. Hal yang paling kubenci di dunia ini. Sudah cukup aku membenci ayahku. Kenapa masih ada hal yang harus kubenci lagi. Adakah hal lain lagi yang harus kubenci? Karena jawabannya, aku pasti menolak. Aku tidak kuat jika lebih banyak lagi.
***
Keesokan paginya. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Saatnya untuk pergi ke sawah. Sepertinya, aku bangun lebih dahulu daripada ibu. Aku akan membangunkannya. Kuhampiri ranjang yang berada tak jauh dari tempatku. Rumah kami tak besar. Dinding dari kayu dan beralaskan tanah. Tak ada sekat untuk memisahakan antar ruangan. Tak ada listrik. Kami masih mengguanakan penerangan seadanya.
“Bu…Ibu…ayo bangun. Kita harus pergi ke sawah sekarang.” Tak ada jawaban. Ibu juga tak bergeming dari tidurnya. “Bu…Ibu ikut ke sawah atau tidak?” kuulangi membangunkan ibu. Masih tak ada jawaban. Kucoba memegang dahi ibu. “Astaga!” badan ibu panas banget. Kenapa ibu tiba-tiba sakit? Perasaan, kemarin ibu sehat-sehat saja. Ah, bukan waktunya berpikir. Aku segera pergi ke belakang untuk mengambil air dan kain. Kukompres dahi ibu. Hari ini kuputuskan untuk tidak pergi ke sawah dulu. Lebih penting kesehatan ibu daripada sawah.
“Uhuk…uhuk…” ibu mulai tersadar dengan terbatu-batuk.
“Ibu.ibu sudah sadar? Ibu nggak apa-apa kan.kenapa ibu bikin Youki khawatir?”
“Uki. Sekarang jam berapa? Bukannya ini waktunya ke sawah. Ibu akan siap-siap.” Ibu akan bangun dari bebaringnya, tapi aku segera mencegahnya.
“Ibu masih sakit. Hari ini ibu harus istirahat.”
“Kalau begitu, kamu harus ke sawah. Periksa padinya.”
“Trus, siapa yang akan merawat ibu? Aku tidak tega meninggalkan ibu sendiri di rumah.”
“Ibu tidak akan apa-apa nak. Cepat kau ke sawah.” Tidak mendapatkan respon dariku. Wajah ibu mulai mengeras. “Cepatlah!”
“Baiklah aku akan ke sana.”
Aku mempersiapkan alat-alat dan segera pergi ke sawah. Pikiranku melayang tak karuan. Padiku entah jadi apa. Karena, aku hanya menancapkannya tanpa tenaga. Bagaimana kalau ibu butuh minum? Bagaimana kalu ibu kesakitan? Bagaimana kalau ibu membutuhkanku? Pertanyaan-pertanyaan tak nyaman mulai mengelilingi benakku. Menyadari aku tidak bekerja sepenuh hati, aku segera kembali ke rumah. Tidak segan-segan, aku berlari. Semua orang yang mengahalangi, aku tabrak. Terlihat wajah kesal di mereka dan mulai mengumpat padaku. Masa bodoh. Bagiki yang paling penting sekarang adalah ibu. Tak masalah jika aku dibenci orang satu kampung.
Akhirnya samapai rumah juga. Kubuka pintu rumah dengan paksa. Sebelumnya, aku berfikir. Ibu pasti marah aku pulang awal. Tapi aku salah. Ibu sudah terbaring di bawah dengan keadaan kepala luka karena terbentur sesuatu. Pasti kursi.
“Astaga Ibu…Ibu…bangun.” Kuangkat badan ibu. Berat. Akhirnya agak ku seret tubuh ibu kembali ke ranjang. “Ibu…Ibu…Ibu bangun.” Aku tersadar. Benar. Perban. Dimana aku meltakkan perban. Tenang. Jangan panik. Akhirnya kutemukan perban itu. Kuperban kepala ibu setelah kubersihkan sebelumnya. Ibu belum juga sadar. Wajahnya yang putih, terlihat semakin pucat. Bibirnya kering dan keningnya terus berkeringat dingin. Ibu…kenapa ibu jadi seperti ini? Terus kupandangi wajah ibu. Hingga akhirnya aku terlelap di sebalah ibu.
***
Aku terbangun lagi di waktu subuh. Ibu masih tidak bergeming dari ranjangnya. Wajahnya bahkan semakin bertambah pucat. Bibirnya terlihat pucat dan pecah-pecah. Kuletakkan tanganku di dahi ibu untuk memeriksa suhu tubuhnya. Astaga! Semakin panas. Apa yang harus aku lakukan? Tidak ada uang untuk memamnggil tabib. Ini belum waktunya panen. Bagaimana aku bisa menyembuhkan ibu kalau begini? Aku harus pergi kemana untuk mendapatkan pertolongan?
Akhirnya, kuputuskan untuk mencari bantuan. Pilihan yang sulit bagiku. Berat rasanya meninggalkan ibu di rumah sendiri dengan keadaan seperti ini. Aku berlari kesana kemari. Mengetuk pintu rumah satu persatu. Tapi, mereka semua menolak untuk membantuku. Aku lelah. Dan sekarang, yang aku lakukan hanya duduk-duduk lesu di pinggir sawah.
“Uki, kamu sedang apa di sana?” Sica berteriak dari kejauhan. Dia datang dengan dengan Sine. Mereka adalah sahabatku dari desa sebelah.
“Aku juga tak tahu harus berbuat apa?” jawabku lesu ketika mereka sudah mendekat.
“Memang, apa yang sedang terjadi? Kenapa wajahmu terlihat begitu lesu?” sekarang ganti Sine yang bertanya.
“Ibuku sakit berat. Tidak satu pun orang yang mau membantuku. Aku harus bagaimana?” aku mendongakkan kepala yang semula menunduk untuk meminta jawaban.
“Mungkin di desa kami ada yang mau membantu. Kita ke sana?” Sica meminta persetujuan.
“Tapi, apakah ada? Aku rasa itu terlalu mustahil.” Sine bingung. Dia adalah orang yang memiliki kepercayadirian rendah.
“Kenapa kita harus takut gagal kalau kita belum mencoba? Cobalah dewasa Sine. Kita itu bukan sedang meminta emas, tapi kita minta pertolongan. Kau mau kan Uki?” Sica memberikan wejangan pada Sine.
“Pasti. Aku akan tetap mencoba. Walau kemungkinannya hanya 0%. Dan aku akan membuatnya menjadi 50%. Kemungkinan itu pasti ada.” Jawabku penuh dengan api semangat yang membara.
“Ya…ya…ya… terserah kalian. Aku ngikut kalian saja.”
“Begitu dong.” Sica setuju. Dia memang seorang sahabat yang perfect. Dia selalu bias membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Aku bangga mempunyai sahabat seperti dia.
Kami semua pergi dari desa ke desa. Dari rumah ke rumah. Peluh sudah berkucur di dahiku. Apakah mereka semua tidak punya hati nurani? Kenapa hanya sekedar menolong saja tidak bisa? Aku sangat kecewa. Karena kemungkinan yang 0% tetap menjadi 0%. Rasanya airmataku ingin jatuh. Tapi, aku tak akan mengeluarkannya. Air mata tak akan pernah menyelesaikan masalah.
“Kau kenapa? Kemarilah…” Sica menarikku ke dalam pelukannya. “menangislah… menagis bukanlah hal yang salah. Keluarkanlah… ini bukan masalah harga diri lagi.” Kata Sica sambil mengusap-usap punggungku. Tak terhankan lagi. Air mataku mulai jatu satu-satu, kemudian menjadi banjir air mata. Aku tak tahan lagi. Apa yang harus aku lakukan?
“Uki, kamu cengeng banget sih. Gitu saja nangis.” Ejek Sine. Memang temanku yang satu ini agak keras orangnya.
“SINE! Bukan masalah atau tidak. Ini sudah menyangkut perasaan. Kamu punya hati atau nggak sih?” bentak Sica. Sine Cuma bisa diam saja setelah dibentak oleh Sica.
“Kalian jangn bertengkar. Ini memang sudah nasibku mendapat cobaan seperti ini. Bukan salah Sine berkata seperti itu. Dan… terimakasih Sica. Kau memang yang terbaik.” Aku melepaskan diri dari pelukan Sica dan berjalan menjauh. Aku harus cepat kembali ke rumah. Ibu tidak ada yang menemani. Lama kelamaan aku jadi semakin berlari kencang. Air mataku juga belum mongering. Malah semakin banyak karena aku tidak bisa berhenti menangis. Kubuka pintu dengan perlahan sesampainya di rumah. Ibu terlihat seperti patung yang ditidurkan di atas ranjang. Diam dan tidak bergeming sedikit pun. Aku mengambil kursi untuk duduk di sebelahnya. Kugenggam tangan ibu dan mulai berdoa. Air mataku masih tidak mau berhenti. Terus menetes.
“Uki…” seperti ada suara yang memanggilku. Tapi, aku tetap memejamkan mata dan terus beroa. “Uki…kenapa kamu menagis nak.” Ternyata yang aku dengar tadi tidak salah. Ibu sudah sadar. Masih terlihat pucat. Tapi, hey, ibu sudah membuka matanya.
“Ibu? Ibu sudah sadar? Ibu…jangan bikin aku khawatir dong. Kenapa nggak sejak kemarin ibu sadar? Ibu tau nggak betapa khwatirnya aku? Ibu tau nggak…..”
“Uki…” panggilan ibu menghentikan ocehanku. “Ibu ngga apa-apa nak. Tapi, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan sama kamu.”
“Nggak. Sekarang ibu harus istirahat dulu. Ibu masih terlalu lemah untuk bicara. Sekarang ibu harus tidur.”
“Nggak bisa nak. Ibu harus bicarakan ini sekarang.” Kalau sudah ngotot begini, nggak ada yang bisa ngehalangin ibu.
“Baiklah. Tapi, cuma sebentar saja. Kalau lama, aku nggak mau dengar lagi.” Ibu Cuma mengangguk menurut.
“Perlu kamu tahu. Ayah kamu itu masih hidup.” Mendengar perkataan itu, aku benar-benar terkejut. “Dia tinggal di tengah hutan di sebuah gubuk kecil. Kamu harus tinggal bersamanya. Ibu tidak mau kau tinggal di sini lagi”
“Alasan seperti apa itu? Aku tidak akan meninggalkan ibu dalam keadaan seperti ini. Aku tidak akan pergi.”
“Asal kamu tahu saja. Ibu sudah capek merawat kamu. ibu sidah tak sanggup lagi untuk menanggung kamu tinggal di sini. Jadi sekarang, sebaiknya kamu pergi ke tempat ayahmu. Ngerti?”
“Owh… jadi kenyataannya selama ini itu seperti itu? Aku nggak nyangka. Ternyata aku hanya beban dalam keluarga ini. Jadi, nggak ada gunanya lagi aku tinggal sama ibu.” Aku segera berlari keluar menuju hutan. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan sahabat-sahabatku lagi. Ternyata, tadi mereka mengejarku. ,mereka terlihat khawatir sekali.
“Kau mau kemana?” Tanya Sica singkat, tapi syarat kekhawatiran.
“Aku mau ke tempat ayahku. Di tengah hutan”
“Kami ikut.” Kata sika singkat dan membuat Sine langsung melotot. “Ayo kita pergi sekarang!”
Akhirnya, kami berlari bersama. Manyusuri hutan. Mencari-cari, dimana gubuk ayah berada. Sulit menemukan sebuah gubuk kecil di tengah hutan seperti ini.
“Kayaknya…itu seperti gubuk.” Sine menunjuk bangunan kecil, reyot, dan terbuat dari kayu. Apakah ini benar tempat tinggal Ayah? Batinku. Kami mendekati gubuk itu. Semakin dekat, bangunan itu semakin terlihat mengerikan. Bangunannya sangat tertutup, sehingga di dalamnya terlihat gelap dari luar. “kok serem sih?” kata Sine lagi dengan nada ketakutan.
“Ayo kita masuk!” ajakku tanpa peduli dengan ketakutan Sine. Tapi, toh akhirnya mereka mengikuti aku juga. Kubuka pintu itu perlahan. Seakan pintu itu bisa roboh kapan saja jika kusentuh. Ugh… udara di dalam sangat pengap. “Uhuk…uhukk…” aku terbatuk-batuk karena banyaknya debu di dalam rumah.
“Lancang sekali kau masuk ke rumahku tanpa izin.” Seorang laki-laki datang dari kegelapan. Tubuhnya sangat kurus dan renta. “uhuk…uhuk…siapa kalian? Berani-beraninya kalian ke sini?”
“A…ayah?” tanyaku memastikan. Matanya terlihat membesar kaget. Mataku sudah bisa membiasakan di dalam kegelapan.
“ Siapa kau sebenarnya?” meskipun masih terdengar kasar, tapi ada kelembutan tersisip dalam suaranya.
“Ini Uki. Youki anak ayah.”
“Uki. Ada apa kamu ke sini? Di mana ibumu?” sekarang ayah sudah berani mendekat. Wajahnya terlihat lelah. Walaupun umurnya masih paruh baya, tapi ayah terlihat sudah tua sekali.
“Ibu…ibu sakit, yah. Ayah kemana saja? Uki bingung harus berbuat apa. Ibu menyuruh Uki ke sini untuk bertemu ayah. Entah apa yang dipikirkan ibu. Aku khawatir sekali.” Aku menangis tersedu-sedu. Awalnya, ayah ragu untuk memelukku. Tapi, akhirnya dia memelukku. Sangat hangat dan menenangkan.
“Dia selalu di sini selama ini.” Tiba-tiba ada dua orang yang tak aku kenal datang.
“Siapa mereka ayah?” terdengar nada curiga dari suaraku.
“owh…kenalkan mereka adalah Chae dan Dyne, tetangga ayah yang juga tinggal di hutan. Dyne, Chae, ini Uki anakku.”
“Salam kenal.” Kata mereka bebarengan sambil membungkuk sedikit.
“Salam kenal juga.” Balasku sambil sedikit membungkuk. “O iya, yah” aku teringat sesuatu. “Aku ke sini dengan teman-temanku. Mereka yang selalu membantuku. Ini Sine dan yang ini Sica.” Kataku memperkenalkan mereka saru per satu.
“Sore.” Apa mereka pada ayahku. Ayahku cuma balas tersenyum.
“ Nak, bukankah seharusnya kita melihat keadaan ibumu?” benar juga kata ayah. Kenapa tidak terpikirkan dari tadi.
“Tapi tuan…bukankah anda tidak boleh menginjakkan kaki ke sana oleh warga desan sana?” Tanya Chae.
“Aku akan mengambil resiko apapu. Istriku sedang sakit, aku tak mungkin terus berdiam diri di sini.” Ternyata seperti itu kenyataannya. Aku baru tahu. Kebencian pada ayahku pun sudah memudar.
“Baiklah. Apa kalian semua akan ikut?”
“Ya. Kami akan ikut.” Jawab mereka berempat. Maksutku Chae, Dyne, Sine, dan Sica. Kami keluar dari rumah dan menelusuri hutan lagi untuk kembali ke desa. Untung keadaan desa sangat sepi. Jadi, sangat mudah memasukkan ayah ke desa. Kami semua berjalan ke rumah…ku? Seperti itulah keadaan beberapa yang lalu. Ayah membuka pintu perlahan. Matanya syarat ketakutan terjadi sesuatu yang buruk. Aku melihat dari luar ibu terbujur kaku di atas ranjang. Dan tidak…bernafas? Astaga. Ibu…Aku langsung menyerobot masuk.
“Ibu…nggak mungkin. Ibu bangun. Nggak lucu. Nggak lucu banget. Ibu jangan bercanda seperti ini. Uki ngga suka!” aku mulai berteriak. Ayahku menhamipriku dan memelukku lagi. Nggak mungkin. Ini pasti Cuma mimpi. Ibu nggak mungkin ninggalin aku. Karena tidak kuat lagi, akhirnya aku jatuh pingsan.
***
Aku mulai tersadar. Kepalaku begitu pening dan berat. Argh… mau bangun saja rasanya sangat berat. Adu…du…duh. Sakit. Ibu? Bagaimana dengan ibu? Dimana ibu? Kulihat sekelilingku. Ayahku tertidur lelap di sebelah ranjangku. Wajahnya masih tetap terlihat lelah. Teman-temanku dan teman baruku tidur mengelilingi ranjangku. Semua terlihat lelah. Hufh… apa yang harus aku lakukan sekarang? O iya, dimana ibu? Kenapa tidak ada di sini, dimanapun?
“Ayah” panggilku spontan. Ups…! Ayah terbangun dari tidurnya. “Dimana ibu? Kok nggak ada?” wajah ayah berubah menjadi sendu.
“Kami sudah memakamkannya kemarin. Bersama teman-temanmu. Kelihatannya, mereka kecapekan sekarang.”
“Apakah…ayah mau mengantarkan aku ke makam ibu? Bahkan, untuk terakhir kalinya, aku belum mengucapkan selamat tinggal.”
“Baiklah, ayah akan mengantarkanmu.” Ayah sudah akan membangunkan teman-teman yang lain. Tapi, aku menggeleng. Aku ingin membiarkan mereka istirahat. Kami berjalan keluar rumah. Kami bertemu salah seorang tetanggaku. Wajahnya nampak kaget. Kenapa? Aneh.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kasar. Ada apa dengan orang ini?
“Aku…” aku berhenti menjawab setelah menyadari orang yang ditanyai bukan aku. Lalu siap…? Astaga! Ayah. Bagaimana ini?
“Saya Tanya lagi. Kenapa kamu ada di sini?” ayah masih tetap diam.
“Aku yang menyuruhnya. Ada hal penting yang perlu dilakukan disini.” Jawabku memberanikan diri.
“Ada apa ini? Kok ramai-ramai?” teman-teman jadi terbangun. Mereka terlihat kebingungan.
“Tidak usah cemas. Karena sebentar lagi kami akan meninggalkan tempat ini.” Kataku melanjutkan dengan nada sarkastik. “Ayo semua! Kita pergi.” Kita meninggalkan orang itu yang terlihat sangat marah dan siap untuk meledak. “Maaf ayah. Ayah jadi kena marah.”
“Nggak apa-apa kok nak.”
Kami berjalan menembus hutan. Lho? Bukannya ini jalan mau ke rumah ayah ya? Apa memang benar arahnya ke sini?
“Itu makam ibumu.” Ayah menuding makam yang terletak tepat sebelah rumah ayah. Jadi, ternyata ibu dimakamkan di sini. Kenapa? “Ayah tidak ingin jauh dari ibumu lagi.” Lanjut ayahku. Seprtinya dia bisa membaca pikiranku. Kenapa nasib kami begitu buruk? Ini semua gara-gara makhluk tingkat atas. Semua adalah salah mereka.
Tiba-tiba ada orang berlari sambil membagikan selebaran dan berteriak, “pengumuman gisei untuk hari kebangkitan SHINee.”
Kuambil selebaran itu. Tertulis lima nama. Dan semuanya aku mengenalanya. Sica, Sine, Dyne, Chae, dan…aku. Aku teringat perkataan ibu. “… ya. Peringatan hari kebangkitan SHINee tepat di hari ulang tahunmu lho.” Benar saja, besok adalah hari ulangtahunku. Bagus. Hadiah ulang tahunku adalah menjadi seorang gisei.
Seperti aku, yang lain juga terlihat tak percaya. Gimana nggak? Kami semua terpilih? Benar-benar lucu. Makhluk atas yang diagung-agungkan itu, tak lain hanyalah seperti badut bagiku. Mau tidak mau, kami harus menghadapinya. Itu sudah keputusan dari mereka.
***
Keesokan paginya, kami semua berkumpul di desa. Ayah juga ikut bersama kami. Dia sangat sedih. Tidak rela melepasku pergi. Mungkin karena kami baru bertemu dan secepat ini harus berpisah. Setibanya di gerbang desa, kami disambut dengan tatapan tajam warga desa. Kudengar bisikan melecehkan dari mereka.
“mereka pantas mendapatkan itu. Pengkhianat seperti mereka memang pantas menjadi tumbal. Mereka telah mengotori desa kita dengan membawa ayahnya ke sini. Lihat saja! Sampai sekarang mereka belum sadar. Puih…” kudengar salah satu dari mereka berkata seperti itu. Dengan sangat terpaksa, ku telan rasa jengkelku. Kami terus berjalan ke altar sesembahan dan berlutut di sana menunggu matahari sejajar dengan kepala. Rasanya begitu berat. Dihujam dengan kata-kata kasar, menahan teriknya matahari, dan menerima kenyataan bahwa kami akan meninggalkan dunia ini.
Saatnya telah tiba. Matahari sudah tepat berada di atas kepala. Kami semua berpegangan tangan. Tiba-tiba muncul cahaya seperti pelangi. Hijau, kuning, merah muda, biru, dan hitam. Sangat indah, sekaligus menakutkan. Meraka berjalan, ah bukan. Mereka terbang dan berhenti di depan kami. Seharusnya, para gisei harus menunduk ketika SHINee datang. Tapi, bagi kami, menunduk tidak ada dalam kamus kami. Kami menatap lurus mata mereka satu per satu. Aku menatap orang di depanku yang pakain dan sinarnya hijau. Dia dikenal dengan nama Onew. Yang lain juga begitu. Sine menatap orang berpakaian kuning yang dikenal dengan nama Jonghyun. Chae menatap orang dengan pakaian merah muda yang dikenal dengan nama Key. Dyne manatap orang dengan pakaian biru yang dikenal dengan nama Minho. Sica menatap orang dengan pakaian hitam yang dikenal dengan nama Taemin. Entah apa yang merasukiku sehingga memiliki keberanian sebesar ini. Orang yang sedang aku tatap dengan tajam ini adalah ketuanya. Gila memang. Bahkan akal sehatku pun mengakui kalau aku ini gila. Onew balas menatapku. Aneh, tidak ada aura kejahatan yang aku rasakan. Ah…tapi, mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku tidak akan pernah memaafkan mereka.
“Para rakyatku!” seru sang ketua. Mengalihkan pandangannya dariku. “hari ini adalah hari yang begitu agung. Kami menerima sesembahan kalian.”
“Yay…” seru semua warga.
“Tidak kusangka. Gisei kali ini benar-benar memiliki kekuatan yang besar. Persahabatan kalian, kesabaran, pengorbanan, dan kebesaran hati. Benar-benar sesuatu yang hebat.” Lanjutnya
“Puih…omong kosong.” Ejekku. Terdengar seperti bisikan. Tapi, mungkin mereka bisa mendengarnya. Masa bodoh dengan itu. Pemimpin itu memandangku lagi. Tepat di mataku dan menguncinya. Aneh. Aku tidak bisa memalingkan mataku darinya. Sial!
“Kau!” serunya lantang. Membuatku kaget. “Kau adalah yang terkuat dari yang lain. Cobaan yang kuberikan, kau hadapi dengan mudah.”
“Kau membunuh ibuku. Ingat itu.” Ancamku.
“Ya. Memang aku yang membunuhnya. Dan… kau bisa menghadapinya. Aku salut padamu.”
“Dasar picik. Perbuatanmu sangatlah rendahan dan tak termaafkan.” Semua warga menahan nafas mendengar pembicaraan kami.
“Kau punya hak untuk marah.” Puih… kata-kata halusmu itu tidak akan merubah pendirianku. Tidak akan pernah.
“Rakyatku… waktunya telah habis. Kami akan segera meninggalkan tempat ini. Semoga kedamaian selalu bersama kalian semua.”
Sebelum kami menghilang, aku sempat melihat ayahku di tempat tak terlihat. Dia menitikkan air mata. Ayah menangis. Maafkan aku ayah. Tapi, mungkin ini yang terbaik. Ya… lebih cepat aku mati, itu akan lebih baik.
“Jangan berpikiran kau akan mati.” Onew angkat bicara. Kualihkan pandanganku dari ayah ke orang keji itu. Kutatap dia dengan tatapan tajam. “Seorang gisei, bukan berarti mereka kan mati. Itu hanya anggapan warga bahwa kami akan memakan para sesembahan itu.” Aku tetap diam. “Kau masih marah?” aku hanya diam. “Sebentar lagi, kita akan sampai di Conha. Persiapkan dirimu. Jonghyun, Key, Minho, Taemin. Antar mereka ke tempat istirahat!” perintahnya kepada teman-temannya.
“Baiklah!” jawab mereka serentak. Teman-temanku terlihat kaget. Kami berpencar. Aku tetap bersama Onew. Kenyataan yang sangat ku benci. Tetap bersama orang keji ini.
“Apakah kami sekeji itu?” tanyanya dengan nada halus.
“Lebih keji dari seorang pembunuh, lebih keji dari seekor serigala, lebih keji dari setan.” Semprotku sarkastik.
“Seperti itukah? Sebegitu bencinya kau pada kami?”
“Melebihi kebencianku karena telah hidup di dunia ini.”kelihatannya dia mulai menyerah dan tidak menanyaiku lagi. Itu lebih baik. Much better!
“Ini adalah kamarmu. Selamat beristirahat. Kumpulkan tenagamu. Karena besok kita sudah mulai latihan.” Dia menurunkanku dan langsung meninggalkanku. Jangan kembali lagi. Pikirku. “Itu tidak mungkin, nona.” Dia berbalik. Sial! Aku lupa kalu dia bisa membaca pikiran. Aku segera masuk ka kamarku. Wow…ini benar-benar indah. kasur dari kapas yang melayang di atas. Bagaimana aku bisa naik ke sana? Perabotannya terbuat dari bahan alam. Kamar yang sejuk. Aku berkeliling meneikmati setiap sudutnya. Ada sebuah em…sebut saja sofa. Dari jamur yang bertumpuk-tumpuk membentuk sebuah kursi. Kucoba duduk di sana. Sangat empuk. Hahaha. Dunia yang sangat aneh dan sulit dimengerti.
Aku keluar kamar untuk menghirup udara segar. Selain itu, rencananya sich ingin melihat keadaan temanku yang lain. Tapi, sepertinya sangat mustahil. Setiap kamar dibatasi dengan jurang yang langsung mengarah ke awan. Jadi, seperti tinggal di sebuah pulau. Sendirian. Ini benar-benar gila. Bagaimana aku bisa ke sana? Kuputuskan untuk masuk ke kamar lagi. Karena tidak mungkin naik ke ranjang yang mengawang itu, aku memutuskan untuk tidur di sofa saja.
***
“Kalian semua istirahatlah! Besok kami akan latihan.” Kata Jonghyun.
“Kita akan latihan apa? Pentingkah itu untuk dunia ini? Seberapa besar pengaruhnya pada dunia ini?” Tanya Sica pada Taemin. Sang hitam.
“Pengaruhnya sangat besar. Bagaimana kalian akan merubah dunia ini? Kalian mempunyai kemampuan yang besar. Tapi, kemampuan kalian tidak sama.” Jawab taemin.
“Ya. Kalian mempunyai jenis kekuatan yang berbeda. Dan tugas kalian kelak juga akan berbeda.” Lanjut Key.
“Jadi, latihan ini akan dipisah. Kita sendiri yang akan melatih kalian. Kita akan mencocokkan jenis kekuatan kami dan jenis kekuatan kalian.” Sekarang Minho yang angkat bicara.
“Seperti itulah kurang lebihnya. Istirahatlan dulu. Kita akan butuh energi yang banyak besok. Sampai jumpa besok.” Jonghyun mengakhiri dan mereka terbang menjauh.
Chae, Dyne, Sine, Sica tinggal di satu pulau yang sama dengan empat kamar di dalamnya. Mereka kagum melihatanya.
“Ini sangat menakjubkan.” Kata Sine dengan rasa penuh kekaguman.
“Ya…benar. Lihat di atas sana!” Dyne menunjuk keatas. “Ada ranjang yang mengambang. Tapi, tidak ada tangga? Bagaimana kita ke sana?”
“Entahalah. Kita gunakan yang ada saja. Baru kita tanyakan pada mereka besok.” Sica adalah seseorang yang memiliki pemikiran paling matang.
“Benar juga. Tidak ada gunanya memikirkan hal yang di luar kemampuan kita. Hanya akan menguras energi.” Kata Chae. Dia sudah terkesiap tertidur. Mereka akhirnya ikut-ikutan. Dan semuanya terlelap.
***
Ketukan di pintu membuatku terbangun. Sejenak, aku terdiam. Mengingat kejadian-kejadian sebelumnya. Hufh… ya. Sekarang aku ada di langit. Anggap saja begitu. Aku berjalan dengan malas dan membuka pintu. Seperti dugaanku. Onew berdiri di depanku dengan pakaian rapi. Aduh. Kok badanku sakit semua ya? Pasti karena efek tidur di sofa.
“Kenapa lama sekali. Kita tidak punya waktu lagi. Kau sudah membuang waktu berlatuhmu yang sangat berharaga.” Tanpa ba bi bu, dia langsung memarahiku.
“Oh?” kataku tak penting.
“Cepatlah bersiap-siap. Kita akan segera berlatih.
Kututup lagi pintu kamar. Sengaja kulama-lamakan. Biar tau rasa dia. Emang aku ini siapanya? Babunya? Setelah kurasa cukup lama, aku keluar lagi. Dia sudah siap merentangkan tangannya di halaman luar. Seperti akan memeluk seseorang.
“Ayo cepat kemari! Kita sudah terlambat.”
“Ha?” tanyaku loading.
“Cepatlah. Kau belum bisa terbang. Kau akan butuh bantuanku atau kau akan terjatuh. Percayalah.”
Kuhembuskan nafas panjang dan berjalan mendekat dengan lemas. Sebelum membalas pelukannya, aku menghela nafas panjang lagi. Kami terbang melawati kamar penduduk lain. Tempat yang kusebut sebuah pulau. Tanpa sadar, aku kagum dengan pemandangan di sini. Sangat indah dan menyegarkan. Kita turun di sebuah pulau dengan kamar yang sangat besar. Mungkin untuk empat orang. Di sana teman-temanku danmakhluk tinggi lainnya sudah menunggu. Aku berjalan mendekati mereka.
“Apakah kalian di sini tinggal bersama?” tanyaku dengan nada berbisik.
“Tentu.” Jawab mereka serempak. Dasar sialan. Kulirik Onew dengan tatapan tajam lagi. Dasar picik. Dia melihatku sekilas. Hanya sedetik, kemudian berpaling ke teman-temannya. Mereka seperti merencanakan sesuatu.
“Baiklah. Hari ini, kita hanya kan berlatih terbang.” Kata Onew menjelaskan.
“Tidak mungkin selamanya kalian akan bergantung pada kami.” Lanjut Key. Siapa juga yang mau bergantung pada kalian. Batinku. Onew berjalan mendekat dan semakin mendekat. Kemudian dia berbisik. “Jangan melawan terus.” Aku hanya mendengus. Setidaknya aku sudah berusaha keras dengan kalian. Aku melihat Onew mengangguk.
“Kalian akan dilatih oleh masing-masing dari kami.” Kata Onew. “Jong, coba kau jelaskan langkah-langkahnya!” masing-masing dari mereka menggenggam tangan kami.
“Cobalah rileks.” Jonghyun mulai dengan penjelasannya. Dengarkan! Bisik Onew kepadaku. Sudah kucoba untuk rileks. Tapi, tetap tak bisa. “Pejamkan mata kalian secara perlahan.” Kami semua serentak menutup mata. “Bayangkan kalian ini adalah kapas. Rasakan kelembutan angina menyentuh kalian. Ikuti arah angin itu seakan kalian akan terbawa. Aku merasakan kakiku terangkat beberapa centi dari tanah. Karena kaget, aku langsung membuka mata dan seketika itu aku kembali menapak di tanah. Kulihat teman-temanku yang lain sudah melayang. Mereka terlihat senang. Tak berapa lama kemudian, mereka kembali ke tanah.
“Baiklah, itu pelajaran hari ini. Teruslah berlatih. Kami akan selalu mengawasimu.” Jonghyun melanjutkan. Karena kita berlatih di pulau temanku, hanya aku yang oerlu kembali ke pulauku sendiri. Onew sudah siap mengantarku. Aku hanya pasrah dibawanya.
“Kenapa hanya aku yang tinggal sendiri?” Tanyaku tiba-tiba.
“Karena kamu butuh lebih banyak konsentrasi. Tugasmu lebih berat dari yang lainnya. Maka dari itu. Kau harus tinggal sendiri.”
Setelah itu, kami hanya saling diam. Ada rasa canggung terselip di dalamnya. Mungkin karena aku belum bisa memaafkannya. Ya… benar. Aku masih membencinya. Kami sudah sampai di pulauku. Aku langsung masuk ke kamar begitu kakiku menyentuh tanah. Kelihatannya dia juga sudah pergi. Kuintip keluar dari jendela. Bagus, dia sudah pergi. Aku keluar lagi. Dari semula aku sudah berniat untuk berlatih di pulauku. Kucoba mengingat langkah-langkah yang telah diajarkan oleh Jonghyun tadi.
Aku memulainya dengan merilekskan tubuhku. Kupejamkan mataku perlahan. Merasakan sentuhan lembutnya angina membelai kulitku. Kubayangkan tubuhku begitu ringan. Seringan kapas. Aku pasti bisa. Aku sedikit melayang. Jangan kaget. Harus tetap berkonsentrasi. Bisikku pada diriku sendiri. Aku terus melayang dan semakin tinggi. Tidak. Aku belum bisa mengndalikan ini. Ini harus bagaimana? Tuhan, selamatkan aku. Aku mulai panik. Karenanya aku jadi terpontang-panting kesana kemari. Aku ingin menjerit. Tapi, aku tak mau mengganggu yang lain. Mungki ini akan jadi akhir dari segalanya. Kupejamkan mataku ketika aku terpelanting semakin jauh. Kurasakan ada seseorang yang menarikku, kemudian memeluk tubuhku. Tubuhku bergetar hebat. Aku masih tidak bisa membuka mataku.
“Kau benar-benar orang yang sangat ceroboh.” Mataku seketika terbuka dan melotot. Padahal tadinya susah dibuka. Seperti ada lem di mataku. “Kenapa tidak meminta bantuanku? Kau bisa celaka karena ini.”
“Lepaskan aku!” kusentak tangan yang memelukku. Karena terlalu cepat, aku belum siap mengendalikan diri. Aku terjatuh. Ada apa denganku ini? Dia menangkapku lagi dengan cekatan. Aku mendengus menyadari betapa cerobohnya dan tak bergunanya diriku.
“Pegang tanganku. Aku akan mengatur keseimbanganmu.” Kata Onew. Kuikuti kata-katanya. “Baiklah, kita mulai dari awal.” Aku mencoba untuk berkonsentrasi dan aku berhasil. Aku melayang. Kita berkeliling ke semua penjuru tempat. Menikmati tiupan angina yang membelai. Menikmati pemandangan yang memanjakan mataku. Sungguh indah. “Kau siap untuk terbang sendiri?” Aku gelagapan mulai panik. “Jangan panik dulu. Ini mudah. Seimbangkan tubuhmu seperti kau pertama kali belajar naik sepeda.” Kucoba membayangkan. Kupraktikan pada tubuhku. Sedikit demi sedikit, aku bisa mengontrol diriku sendiri. Onew melepaskan pegangannya. Dan lihat! Aku bisa terbang sendiri. Onew tersenyum bangga. “Agar terbiasa, mari kita keliling sebentar lagi.” Aku mengangguk. Aku sangat menikmati ini.
“Waw…indah sekali.” Ada sebuah tempat di bawahku yang menarik perhatianku.
“Itu adalah air terjun surga. Tempat yang membawa kedamaian jika kita ke sana. Kau perlu ke sana kapan-kapan.”
“Tentu. Aku akan ke sana suatu saat. Pasti.” Mataku bersinar penuh minat.
Setelah cukup lama berkeliling, kita kembali lagi ke pulauku. Ternyata terbang seperti itu saja cukup menguras tenaga. Aku baru merasakannya sekarang.
“Istirahatlah yang cukup. Latihan besok akan semakin berat.” Onew berbalik akan pergi.
“Terima kasih.” Ucapku perlahan. Onew berhenti, tetapi tidak berbalik. “Terima kasih telah menolongku. Terima kasih atas semuanya.” Aku segera berbalik masuk kamar setelah mengucapkan terima kasih. Kuintip keluar. Onew masih di sana. Berdiri diam di tempat. Tapi, tak berapa lama kemudian dia pergi.
Hah… malam ini aku tak perlu tidur di sofa lagi. Aku bisa merasakan empuknya kasur. Nyaman. Seakan tubuh tenggelam di dalamnya. Mataku sudah mulai mengantuk. Aku pun langsung terlelap.
***
“Onew! Kenapa kau sudah di sini? Apa kau tak perlu menjemput dia?” Tanya Taemin begitu dia datang.
“Tidak perlu. Dia bisa ke sini sendiri.”
“Apa?” Chae baru saja keluar kamar. Begitu mendengar kata-kata itu, dia sangat marah. “Apa kau sudah gila? Bagaimana kalu dia terjatu? Apa kau mau bertanggung jawab?” Chae mengomel-ngomel sendiri.
“Tenangkanlah dirimu.” Kata Key. Dia menghampiri Chae dan mencoba untuk menenangkan. Alis Onew tarangkat bingung. Sejak kapan mereka begitu dekat.
“Kalian tidak perlu khawatir. Lihat saja! Dia datang dengan selamat.” Onew menunjuk kearahku dengan gerakan kepalanya.
“Ada apa? Ada yang salah dengan diriku?” tanyaku kebingungan.
“Kenapa kau datang terlambat?” Tanya Onew. Bukannya menjawab pertanyaanku, malah balik bertanya. Dasar!
“Aku bangun kesiangan. Kenapa sih? Terlambat sebentar saja. Apa begitu penting?” tanyaku sewot. Kulihat makhluk tinggi yang lainnya menggelengkan kepalanya. Apa aku salah?
“Kau perlu memperbaiki kebiasaan burukmu itu.” Katanya dengan halus. Tapi, sangat menusuk. Aku cuma diam. “hari ini kita akan latihan secara terpisah.” Lanjutnya. Hanya kepadaku. “Mereka masih perlu berlatih terbang. Kita kembali ke pulaumu sekarang.”
“Ha?” ni orang bener-bener udah gila. Trus, ngapain aku di suruh ke sini?
“Aku ingin tahu. Apakah kau bisa ke sini dengan selamat atau tidak.” Dia membaca pikiranku lagi.
“Berhenti membaca pkiranku terus.” Perintahku.
“Tidak bisa. Karena aku adalah pelatihmu. Mau tidak mau. Pikiran kita akan selalu terhubung.” Sungguh tak adil. Pikirku. “Tenang saja. Akan kuajarkan bagaimana caranya membaca pikiran orang. Sekarang kita kembali.” Dasar aneh. Tapi, aku nurut saja. Kenapa aku begitu menurut.
“Aku pergi dulu.” Pamitku pada teman-teman. “berlatihlah yang keras. Setelah kalian bisa terbang, ayo kita kabur sama-sama.” Keempat makhluk tinggi itu langsung melotot. “Tenanglah. Aku hanya bercanda. Kenapa kalian ini begitu serius.” Aku ngomel-ngomel sendiri. Onew tertawa keras melihat tingkahku. “Aku pergi dulu.”
“Berlatihlah dengan serius.” Teriak mereka. Setelah berteriak, kelihatannya mereka berlatih. Mereka baris. Teratur sekali. Xixixi. Aku terus memperhatikan belakang. Tiba-tiba saja Onew menarikku.
“Perhatikan jalanmu. Kau bisa menabrak pohon tadi.” Tanpa sadar aku hamper menabrak pohon. Jadi malu.
“Em… kenapa mereka tadi melotot kepadaku waktu aku bilang akan mengajak mereka kabur? Mereka tidak punya rasa humor ya?” tanyaku untuk menghentikan kecanggungan.
“Entahlah. Aku sempat membaca pikiran mereka tadi. Saat itu, mereka sangat ingin melenyapkanmu. Perasaanku mengatakan mereka memiliki hubungan yang… entahlah aku sendiri tak tahu.” Akhirnya kami datang di pulauku. “Kita mulai latihannya.” Tiba-tiba dia sudah berubah jadi serius. Wah, ini orang bunglon beneran. Cepat sekali berubah sifatnya. “Duduk bersila!” perintahnya. Aku menurut. Dia juga ikut duduk bersila di hadapanku. “Konsentrasi! Telusuri pikiranku. Apa yang kau baca dari pikiranku?” tanyanya.
“Kerja bagus.” Kusuarakan pikirannya.
“Teruskan. Teruslah baca pikiranku.”
“Kau sangat jelek kalau kau menyadarinya. Hei…apa-apaan ini.”
“Oke…oke aku hanya bercanda. Lagi!” perintahnya, memintaku untuk membaca pikirannya lagi.
“Kalau kau berhasil melakukan ini, akan ku beri hadiah ciuman. Ugh…menjijikan. Aku tidak mau melakukannya lagi. Apa isi pikiranmu itu cuma seperti itu. Tak kusangka kau orang yang seperti itu.” Kutatap dia dengan perasaan jijik.
“Oh… ayolah. Aku hanya bercanda. Kau tidak punya selera humor ya?” katanya dengan tertawa. Tidak lucu.
“Humormu payah dan sangat tidak lucu.” Aku mau saja beranjak pergi, tapi Onew mencekal pergelangan tanganku.
“Oke…oke. Tidak lagi. Mari kita lanjutkan lagi.” Aku masih tidak yakin. “Kau tidak percaya padaku?” aku percaya padanya. Aku meneruskan latihan lagi. Terus seperti itu. Sampai aku lelah dan kehabisan tenaga. Aku baru sadar. Aku melakukannya lama sekali. Sekarang sudah hamper gelap. “Kau sudah lelah”
“Sangat. Tenagaku sudah habis untuk membaca pikiranmu yang tak jelas itu.”
“Hahaha…” Onew tertawa renyah. “Baiklah, cukup untuk sekarang. Besok kita akan mulai latihan yang lain. Persiapkan dirimu.” Aku mengangguk. Baru saja aku mau berdiri, aku sudah hamper terjatuh. Kalu Onew tidak menahanku, aku pasti sudah terjatuh ke tanah. Tanpa ba bi bu, dia langsung menggandengku masuk kamar.
“Terima kasih.”
“Istirahatlah.” Dia langsung pergi setelah itu. Ya… aku butuh istirahat. Hari ini sangat berat. Ketika aku mau terbang ke ranjang, ada yang mengetuk pintu. Menganggu saja.
“Kenapa kau…?” aku berhenti bicara. Ternyata teman-temanku yang di sana. “Kalian sudah bisa terbang?”
“Tentu.” Jawab Dyne. “Kau tidak mempersilakan kami masuk?” Oh. Aku baru sadar kami masih berbicara di depan pintu.
“Maaf. Ayo masuk. Bagaimana latihan kalian tadi?” tanyaku.
“Sangat melelahkan” jawab Chae. “Tapi, sangat senang dengan hasilnya. Buktinya, sekarang kita bisa terbang ke sini.”
“Senang kalian bisa di sini. Aku sangat kesepian di sini.”
“Kenapa harus merasa kesepian?” Tanya Sica.
“Aku disini hanya sendriri, sedangkan kalian berempat. Ini kan tidak adil. Aku rindu sekali pada kalian.”
“Kau tidak tahu ya? Pelatih kita kan tinggal satu pulau dengan kita. Pelatih kami sering berkunjung ke tempat kami.” Sine menjelaskan.
“Em… apakah hubungan kalian dengan mereka seperti… itu?”
“Seperti itu apa?” Tanya Dyne bingung.
“Seperti ini.” Kutautkan telunjukku yang satu dengan yang lain.
“Owh… Em… bagaimana ya?” jawab Chae masih malu-malu.
“Kalian tidak usah malu. Aku sangat senang jika kenyataannya seperti itu. Chae… kau sama Key ya?” Chae mengangguk malu. “Dyne, kau dengan Minho?”
“Um…” katanya malu-malu.
“Sine…kau pasti dengan Jonghyun?” dia tidak menjawab. Tapi dari tingkah lakunya, aku bisa menyimpulkan bahwa itu benar. “Sica, kau dengan Taemin. Oh, tidak usah di jawab. Aku sidah tahu sekarang. Sulit dipercaya. Kalian suka dengan pelatih kalian. Tapi, aku senang.”
“Memangnya kau dan Onew tidak begitu…?” Tanya Sine bingung. Aku gelagapan. Pertanyaan itu seperti tonjokan di pipiku.
“Em…e… memangnya kalian pikir kami seperti apa? Kami tidak seperti itu.”
“Oh. Aku pikir.” Sine terlihat kecewa. Memangnya kenapa? Kok mereka terlihat aneh. Au’ ah. Emang aku pikirin.
“Sepertinya sudah larut. Kami aharus segera kembali.” Pamit Dyne. “Sepertinya mereka sudah menunggu di sana. Baru sebentar saja aku sudah rindu dengannya.” Satu per satu kubaca pikiran mereka. Rata-rata sama. Mereka ingin segera bertemu dengan pelatihnya. Aku tersenyum kecut.
“Baiklah. Hati-hati di jalan.” Aku mengantar mereka sampai depan. Kuperhatikan sampai mereka menghilang. Sangatlah lucu.
“Apa arisannya sudah selesai?” Onew muncul tiba-tiba dari kegelapan. Membuatku kaget saja.
“Apa yang kau dengar? Kau mematai-matai kami?” tuduhku.
“Aku dengar semuanya. Pikiran kalian terlalu mudah untuk dibaca. Lain kali berhati-hatilah. Buatlah pikiranmu tidak terbaca oleh orang lain.”
“Bagaimana caranya?”
“Buatlah perlindungan disekitarmu. Itu sangat berguna.”
“Ngomong-ngomong. Apakah benar kau tinggal di sini? Satu pulau denganku?”
“Ya.” Jawabnya singkat, tapi mewakili segalanya.
“Kenapa? Kenapa kau tinggal di sini?”
“Aku adalah pelatihmu. Aku tidak boleh jauh-jauh darimu.” Aku mencoba menulusuri pkirannya. Aku tidak bisa membacanya. Tapi, ada sesuatu yang aneh. Seperti kebohongan.
“Bohong.”
“Bagaimana kau tahu kalau aku berbohong? Aku sudah melindungi pikiranku agar tidak bisa kau baca.”
“Entahlah. Aku bisa merasakan kau ini berbohong atau tidak.”
“Bagus. Ternyata kau memiliki kemampuan untuk merasakan. Kau semakin peka saja.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku mau kau jawab itu.”
“Suatu saat aku akan memberitahukannya padamu. Untuk saat ini. Bertahanlah di sini. Mengerti?”
Kemudian dia langsung pergi dan menghilang. Ada apa dengannya? Ada sesuatu yang disembunyikan. Teman-teman tadi. Ada yang mencurigakan. “Oh. Aku pikir.” Apa maksut dari nada kecewa Sine? Aku tidak mengerti. Ini terlalu membingungkan. Karena tidak menemukan jawabannya, aku memutuskan tidur saja.

To be Continue…
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger