News Update :
Home » , » [NEWS] Padang Target Bangun 102 Selter Anti-tsunami

[NEWS] Padang Target Bangun 102 Selter Anti-tsunami

Penulis : rierie_destiny on Sunday, 20 March 2011 | 13:52

Salah satu yang sudah ada adalah SMA 1 Padang. Selter ini bisa didarati helikopter.

Potensi gempa yang berpotensi tsunami di patahan Siberut, Mentawai, Sumatera Barat, jauh-jauh hari telah diingatkan sejumlah pakar gempa dari dalam dan luar negeri. Dampaknya, tujuh kota dan kabupaten di Sumbar menjadi kawasan paling rawan jika terjadi tsunami karena berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Tujuh kota/kabupaten tersebut yakni, Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Mentawai, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat.

Berdasarkan rencana kontijensi yang disusun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar, jika energi gempa di Siberut lepas dan menimbulkan gelombang tsunami, 40 ribu jiwa diprediksi akan menjadi korban. Ratusan ribu orang akan mengungsi.

Seberapa yakin pemerintah daerah dengan gempa Siberut yang diperkirakan bermagnitide di atas 8 skala Richter? “Ancaman ini nyata. Kalau diibaratkan, seperti matahari yang terbit di timur tapi kita tidak bisa dipastikan apakah besok akan terbit atau tidak,” ujar Kepala Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana BPBD Sumbar Ade Edward.

Kondisi ini membuat Sumbar, khususnya tujuh kota/kabupaten di bibir pantai barat Sumatera, berlomba dengan waktu membangun kesiapsiagaan. Seperti yang dilakukan Jepang, kesiapsiagaan warga dan alat peringatan dini memberikan kontribusi positif mengurangi jumlah korban.

Mentawai menjadi contoh nyata bagi Sumbar untuk mengukur dampak tsunami dan kerusakan yang ditimbulkan gelombang tersebut. Sumbar sendiri, baru memiliki perangkat yang bekerja di tingkat hulu untuk memberikan peringatan dini tsunami. Enam sirine Tsunami Early Warning System (TEWS) milik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika yang terpasang sebatas pemicu untuk penyebarluasan bahaya tsunami.

“Kami harus memfinalisasinya dengan memasang perangkat seperti pengeras suara yang terkoneksi dengan sistem early warning sistem  yang ada sekarang,” ujar Ade. Enam sirine yang terpasang saat ini dinilai belum cukup untuk memberikan signal bahaya dalam waktu hitungan menit bagi warga di enam kabupaten/kota yang berada di bibir pantai barat Sumatera.

Perlahan, ujar Ade, kondisi ini terus dibenahi. Namun, kesiapan warga akan bahaya bencana dinilai tak kalah penting dibanding peringatan dini yang berbasis teknologi. Rencana kontijensi yang dilakukan Sumbar menunjukkan bahwa ketinggian aman dari sapuan tsunami berkisar antara 15 meter hingga 25 meter.

Masyarakat yang mendiami Kepulauan Mentawai ketinggian baru aman jika bermukim di kawasan berketinggian di atas 25 meter. Hal ini telah dilakukan pemerintah setempat dengan merelokasi penduduk yang berada di pinggir pantai ke daerah aman dengan ketinggian 25 meter dari permukaan laut. Hal ini dilakukan pasca tsunami menghantam daerah kepulauan tersebut.

Alat komunikasi berbasis tahan bencana pun telah terpasang di kawasan tersebut hingga tingkat kecamatan. Saat ini, Mentawai dinilai paling siap untuk menghadapi bencana tersebut.

Bagaimana dengan Kota Padang?

Pasca gempa 7,9 SR yang mengguncang 30 September 2009, sejumlah bangunan yang direncanakan sebagai lokasi evakuasi mulai dibangun. Salah satunya gedung SMA Negeri 1 Padang di kawasan Belanti, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang.

Konstruksi gedung ini berbentuk kapal dan menghadap ke laut dan juga berfungsi untuk memecah gelombang. “Selter ini telah digunakan masyarakat sekitar saat gempa pada 5 Januari lalu,” ujar Kepala Sekolah SMAN 1 Padang Jufril Siry.

Lokasi shelter yang berada di lantai tiga gedung tersebut berada pada ketinggian 16 meter dari permukaan laut. Di lantai atas yang berfungsi sebagai selter ini ditaksir mampu menampung sekitar 2.000 warga setempat. Gedung ini juga dilengkapi sejumlah gudang dan penampung air yang dalam keadaan darurat akan berfungsi sebagai tempat penyimpangan logistik.

Bangunan yang didesain dengan kekuatan hingga 9 SR ini juga dengan landasan helikopter untuk mempermudah akses bantuan. Yayasan Budha Tsu Chi yang menggelontorkan dana untuk pembangunan selter tersebut juga menyiapkan protap yang harus dijalankan penjaga sekolah saat gempa besar mengguncang.

“Saat gempa terjadi, satpam harus membuka pagar agar warga bisa menyelamatkan diri lewat tiga tangga menuju lokasi selter,”
ujar Jufril.

Di salah satu komplek elite di Kota Padang, warga secara swadaya juga membangun selter sendiri berlantai tiga dengan konstruksi aman gempa. Selter yang berada di Kompleks Villa Hadis di Jalan Khatib Sulaeman ini dibangun atas inisiasi warga kompleks yang tak jauh dari bibir pantai.

Pemerintah Kota Padang mencanangkan, sedikitnya dibutuhkan 102 selter untuk menampung sekitar 60 persen dari 920 ribu warga yang mendiami pesisir pantai. Saat ini, Pemko Padang membangun Pasar Raya berlantai tiga di bekas reruntuhan pasar pasca gempa 2009 lalu akan berfungsi sebagai selter. “Dana sebesar Rp 64,5 miliar dari APBD dianggarkan untuk membangunnya,” ujar Walikota Padang Fauzi Bahar.

Selain itu, pelebaran jalur evakuasi mulai dilakukan di ruas jalan Pasar Alai menuju By Pass. Pembangunan jalan ini sempat tertunda beberapa tahun dan saat ini mulai dilakukan. Kota Padang pun telah menyebarkan peta evakuasi dan lokasi rawan tsunami.

Hal ini dinilai Ade Edward belum cukup jika warga tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bencana tersebut. “Kami terus berupaya membangun kesiapsiagaan warga untuk menghadapi bencana,” ujarnya.

Menurutnya, kabupaten/kota perlu membangun sistem komunikasi yang tidak hanya mengandalkan telepon dan listrik karena terbukti tidak berfungsi saat gempa besar terjadi. Sistem komunikasi massal belum dimiliki tujuh kabupaten/kota yang rawan ancaman tsunami. Sirine peringatan dini tsunami pun belum terbangun hingga tingkat kelurahan—minimal kawasan rawan tsunami.

Ia berharap, pemerintah daerah menyiapkan anggaran untuk membangun sistem komunikasi massal dan peringatan dini tsunami sebagai upaya pengurangan risiko bencana. “Ini harus dilakukan dan dianggarkan karena mustahil bisa berkoordinasi menangani bencana jika sistem komunikasi tidak berfungsi,” ujarnya.
source : VIVAnews
TAKE OUT WITH FULL CREDIT
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger