News Update :
Home » , , » [FF] Lucifer

[FF] Lucifer

Penulis : rierie_destiny on Saturday, 19 March 2011 | 20:10

Author : Lee Eunhye

BUK……

Tiba-tiba saja ada suara seperti benda terjatuh sangat keras dari arah belakangku. Aku yang kaget setengah mampus langsung berbalik dari kursi belajarku. Debu-debu masih mengelilingi benda yang terjatuh lagi. Aku jadi sangat penasaran. Kudekati sumber masalah itu dengan sangat hati. Lama kelamaan debu itu mulai tersibak. Samar-samar kulihat benda itu panjang dan besar. DAN…bahkan benda itu…BISA BERGERAK? Oh tidak. Itu tidak mungkin.

Yang semula aku merasa sedikit takut, sekarang ini aku benar-benar takut. Kupaksa kakiku untuk terus bergeser mendekat. Meskipun aku sangat takut, tapi rasa penasaranku mendorong semuanya untuk tetap mendekat. Sampai akhirnya aku hanya berjarak beberapa senti darinya (maksutnya benda itu). Kucoba untuk sedikit merunduk agar aku bisa melihatnya lebih jelas. Bertepatan saat aku sejajar dengannya “Benda itu” mendongak. Mana mungkin “benda” mempunyai kepala? Seketika itu pula debu-debu yang mengelilinginya hilang seutuhnya. Tanpa sadar aku sudah berteriak.

“AAAHHHH……” kemudian orang itu mendongak. Kami bertatapan sejenak dalam diam. Kemudian sama-sama berteriak lagi. Dan kali ini lebih kencang karena berdua. Seperti paduan suara jadinya. “AAAAAAAAAAHHHHHHHH…….” Kudengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menaiki tangga. Tak berapa lama kemudia terdengar ketukan di pintu kamarku.

“Mandy…Kau tidak apa-apa? Ribut sekali.” ayah menggedor kamarku tak sabar. Kemudian aku membuka pintu dengan tatapanku masih tertuju pada benda atau…orang itu yang pingsan setelah selesai berteriak. Hahaha…lucu sekali. Semua keluargaku terlihat tercengang melihat apa yang ada di depan mereka.

“Jangan Tanya padaku karena aku juga tidak tahu apa-apa.” Kataku berbicara sendiri sebelum mereka sempat melontarkan pertanyaan padaku. Mama dengan berani mendekatinya.

“Ya ampun Mandy. Dia seorang laki-laki. Kenapa dia ada di sini?”

“Kan udah aku bilang ma. Jangan Tanya ke aku. Aku kan juga tidak tahu apa-apa. Sepertinya dia terjatuh dari atas deh. Soalnya suaranya bisa keras gitu waktu dia jatuh tadi.”

“Gimana dia bisa jatuh? Di atap rumah kita lagi.” Sekarang ganti ayah yang bertanya. Sebagai jawabannya aku Cuma mengedikkan bahu. Karena memang kenyataannya aku tidak tahu. Bukan salahku, kan?

“Ya ampun…” tiba-tiba ibu berteriak. Pasti ibu juga kaget melihat kenyataan itu. Gimana tidak kaget. Dia setengah telanjang. Dia jatuh di kamar yang salah lagi. Ini kan kamar seorang cewek, masih lajang pula. Apa hubungannya ya?

“Kenapa ma? Mama kaget juga kan?” tanyaku sok tahu.

“Hu uh.” Katanya mengiyakan. Tuh kan…aku benar.hahaha. “Kenapa ada luka besar di punggungnya.” Mama menunjuk punggungnya yang tidak tertutupi itu. Memang dia tadi terjatuh dalam keadaan tengkurap. “Ya Tuhan…Ayah…tolong naikkan dia ke kasur.” Ayah sudah mau mendekat. Sampai gerakannya terhenti karenaku.

“Tunggu…kenapa harus di kasurku? Kenapa tidak kita serahkan ke polisi saja? Asal-usulnya saja tidak jelas. Bagaimana kalau dia penyusup? Atau pencuri? Atau bahkan pembunuh? Ayolah ma…” kataku merajuk.

“Lihat dia!” sekarang jelas mama terlihat marah karena aku sudah menuduh orang seperti itu. “Dia terluka parah. Bagaimana kalau dia mati? Kita harus segera menolongnya. Mengerti.” Ya…kalau dia mati, memang apa hubungannya denganku? Kataku dalam hati. Tak berani mengatakannya pada ibu. “Ayah. Cepat angkat orang ini ke kasur.” Ayah dengan tanggap mengangkatnya sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Hebat!!! “Sebagai hukuman karena perkataan kasarmu tadi. Kau harus merawat orang ini. Ibu sangat kecewa padamu. Ibu tidak pernah mengajarimu seperti itu….bala…bla…bla…” ibu memulai ceramahnya yang panjang itu. Benar-benar bisa membuat orang tertidur lelap karena bia di sangka dongeng tidur.

“Ayolah ma…aku tidak ada waktu untuk merawatnya. Lagi pula besok kan aku….”

“Apa? Kau sudah bilang kalau kau besok libur.” Ibu memotong perkataanku sebelum aku selesai bicara. “Jangan coba-coba lagi membuat alasan.” Huh.sekarang aku menyesal telah mengatakan aku libur besok. “Ayo yah.” Sebelum pergi. Aya menatapku sebentar, kemudian berlalu dan menghilang.

“Huh…sangat merepotkan. Kenapa kau datang kalau hanya ingin merepotkanku? Kenapa tidak datang sebagai orang baik-baik yang bersedia menolong keluarga kami membersihkan rumah dan bekerja di rumah kami?” aku berjalan mendekat ke kasur yang biasa menjadi tempatku tidur selama bertahun-tahun. Aku mengernyit melihat luka di punggungnya. Sangat dalam dan kalau tidak segera di obati akan segera bernanah. Dengan terpaksa aku mengambil baskom air panas untuk mengompres lukanya kemudian membubuhkan obat di atasnya. Sekarang beres.

Yang membungungkan sekarang. Aku harus tidur dimana? Selain tempat tidur yang ada sikamarku, ada lemari, meja rias dan meja belajar. Tidak ada sofa seperti di film-film yang memang sudah di atur seperti itu. Terpaksa. Aku begadang saja. Meneruskan cerita yang sempat tertunda karena kejadian itu. Karena mataku sudah lelah terlalu lama menghadap laptopku. Sampai akhirnya aku tertidur lelap di meja belajarku.

“”

Sinar matahari menyelusup masuk. Menyilaukan mataku yang masih tertutup. Siapa sih pagi-pagi gini yang membuka jendela. Demgan terpaksa kubuka mataku. Badanku terasa pegal semua karena tidur dengan duduk. Kulihat kearah jendela yang membuatku terbangun tadi. Seketika itu aku terlonjak kaget.

“Apa yang akan kau lakukan? Jangan bilang kau bunuh diri?” dia jongkok di tepi jendela yang sedang terbuka. Membuatku bergidig ngeri. “Hei. Lukamu saja belum sembuh. Masa sudah mau bunuh diri? Tunggu sampai kau sembuh saja. Tunda OK?” aku kan tidak mau menimbulkan skandal. Kalau dia bunuh diri sekarang, besok akan tertulis di Koran dengan headline besar “SEORANG LAKI-LAKI SETENGAH TELANJANG BUNUH DIRI MELOMPAT DARI JENDELA”. Tidak…! Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. “HEI! Apa kau tidak mendengarku?” sekarang aku mulai jengkel. Dari tadi aku bicara, tapi tidak ada tanggapan darinya. “HEI.” Kugapai tangannya dan kusentakkan sampai tubuhnya masuk lagi ke kamar. Aku benar-benar marah sekarang.

“Kau datang tiba-tiba. Kau juga sudah merepotkanku. Kau tahu itu? Kalau kau bunuh diri di sini, kau akan semakin membuatku repot. Sudah cukup dengan kau membuat keributan ini.” Aku mulai frustasi. Rasanya ingin menangis. Tuhan…kenapa kau timpakan semua ini kepadaku? Tubuhku merosot perlahan. Tidak terasa, air mataku mulai turun satu persatu dan akhirnya menjadi tangisan. Kupeluk lututku dan kubenamkan kepalaku di sana. Aku menangis sejadi-jadinya.

“Semuanya hilang.” Dia berkata pelan dan tidak jelas. Mendengarnya berbicara, aku langsung mendongakkan kepala.

“Eh…?” sahutku semakin tidak jelas.

“Semuanya hilang. Aku tidak bisa kembali.” Gumamnya lagi.

“Sebenarnya. Apa sih yang ingin kau katakana?” tanyaku dengan marah. Tangisan yang tadi seketika langsung terlupakan. Berhadapan dengannya tidak bisa menggunakan akal sehat. Ini benar-benar membuatku gila. Dia berdiri lagi dan berjalan menuju jendela. Sebelum sampai di jendela, sudah kutarik dulu tangannya. Dia mendesis geram dengan tindakanu ini. “O…tidak di sini bung. Kalau kau mau bunuh diri, lebih baik kau cari tempat lain saja. Aku tidak akan mencegah.” Kulepaskan cekalan tanganku yang kugunakan untuk mencegahnya tadi. Dia menyerah dan akhirnya hanya berdiri diam di depanku. Aku lelah dengan semua ini. Seperti aku sedang berhadapan dengan patung. Aku kembali duduk di tempat belajarku. Dia masih menatapku dengan tatapan tajam. Kutatap juga dia, dengan tatapan yang sama.

Dan kali ini aku baru sadar. Matanya sangat murni sekaligus tajam. Wajahnya lembut sekaligus keras. Wajahnya seperti anak kecil, tapi kapan saja bisa berubah berbahaya. Seperti dia punya dua kepribadian. Dan ketika aku berdiri di dekatnya tadi. Aku baru tahu kalau dia sangat tinggi. Mungkin kami terpaut 20 senti. Karena kami masih beradu mata, akhirnya dia mengalah juga. Jangan harap aku akan mengalah padamu, karena aku tidak suka mengalah pada siapapun. Akhirnya dia duduk bersila jauh di depanku. Di dekat jendela yang terbuka.

“Siapa kau?” tanyanya tajam. Meskipun dia bertanya dengan nada tajam, tapi seakan suaranya mendayu seperti sedang menyanyi. Tetapi, itu tidak seperti suara manusia biasa. Benar, suara ini tidak seperti manusia biasa.

“Hei bung. Seharusnya aku yang bertanya padamu. Kau tamu di sini. Tamu yang tidak diundang. Siapa kau? Asalmu dari mana? Kenapa kau di sini?” tanyaku secara beruntun.

“Aku……” sejenak dari wajahnya terlihat keragu-raguan. Tapi, dalam sejenak, dia bisa menguasainya lagi. “Aku Lucifer. Seorang malaikat. Meski aku sudah di buang sekarang ini. Sayapku dipatahkan dan aku di buang ke bumi.” Katanya datar. Seakan hanya bibirnya saja yang bergerak dan tubuhnya tidak. Semua gerak-geriknya seperti tidak nyata.

“HAHA…kau…pasti…bercanda. Tidak ada kisah seperti itu di dunia ini. Yang ada hanya dongeng. Kau mengarang cerita seperti itu agar aku terkelabuhi. Dan kau berharap aku percaya? TIDAK AKAN.” Aku menekankan kata terkahir itu. Agar terkesan lebih dramatis. Hehehe.

“Aku Lucifer. Aku malaikat yang dibuang ke bumi. Sayapku dipatahkan. Dan sekarang aku tidak bisa kembali. Dan tidak lama lagi, aku akan menjadi manusia seperti……’KAU’” katanya sambil menunjukku. Dari ucapannya. Dia tidak seperti sedang berbohong. Aku cuma bisa bengong. Apakah ini benar-benar nyata? Aku pasti sedang bermimpi. Segera kutampar pipiku.

“AUW.” Astaga. Aku tidak sedang bermimpi. Ini semua nyata. Apa aku harus percaya dengannya.

“Apa yang kau lakukan?” oke…aku benar-benar lelah sekarang. Otakku tidak bisa diajak kompromi lagi. Kuusap mukaku dengan tanganku kemudian bersandar di sana. Kepalaku benar-benar pusing.

“Biarkan aku berpikir.” Aku tetap dalam keadaan seperti itu. Ini sangat melelahkan.

“Berapa lama kau akan berpikir. Sepertinya kau tidak ingin memikirkannya. Benarkan?” seringainya. Sangat menyeramkan.

“Jangan menyeringai seperti itu kepadaku. Aku hanya sedang lelah sekarang. Baiklah…tunggu di sini.” Aku berjalan keuar kamar dengan langkah gontai. Kemudian kembali ke kamarku lagi dengan pakaian bersih di tanganku. “Aku tadi sempat meminjamkan ke ayahku. Pakailah.” Jawabku melihat alisnya yang terangkat bertanya ketika aku menyodorkan pakaian itu. Hampir saja dia ganti di depanku. “Eh…kau boleh ganti di sana.” Kutunjuk kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Kemudian dia masuk ke sana. Setelah dia menutup pintu kamar mandi, aku kembali ke kasurku. Kuhempaskan tubuhku ke sana. Untuk sejenak, aku hampir memejamkan mataku. Ketika aku sadar. Si em…’Lucifer’ itu keluar dari kamar mandi. “Lebih baik. Sekarang kita bicarakan masa depanmu.” Aku bersila di karpet di sebelah tempat tidurku. Aku menepuk tempat di depanku menyuruhnya duduk. Dia menurut dan segera duduk di depanku. Hahaha seperti memiliki anjing peliharaan.

“Sekarang. Kau kan tidak mau tinggal di sini terus. Apa yang akan kau lakukan?”

“Aku tidak tahu.” Jawabnya singkat.

“Kau kan tidak mungkin tinggal di sini terus. Kau harus pindah.” Tanpa kusadari nada bicaraku mulai meninggi. “Maaf.” Aku kembali terduduk lemas.

“Aku tidak tahu mau pergi kemana.” Pembicaraan ini membuatku semakin lelah. Kutangkupkan kepalaku ke tanganku. Lelah.

“Baiklah. Ayo kita bicarakan dengan ayahku sekarang. Mungkin dia belum pergi sekarang ini.” Aku segera berdiri dan berjalan menuju pintu keluar kamarku. Akan tetapi, dia tidak segera berdiri. Dengan terpaksa aku kembali dan menarik tangannya sampai berdiri. “ ikut aku.”

Ternyata benar. Ayah dan ibu belum pergi. Mereka masih duduk-duduk santai di ruang keluarga sambil membaca Koran ditemani secangkir kopi panas. Melihat kedatangan kami (Aku dan si Lucifer itu maksutnya) mereka langsung menghentikan kegiatan membaca mereka. Aku mengambil tempat duduk tepat di depan mereka. Sedangkan si Lucifer itu tetap berdiri di sebelahku. Seperti bodyguard.

“Em…kau boleh duduk di…sana!” tunjukku pada kursi yang terletak di sebelahku. Dia menurut dan duduk di sebelahku. Ayah menyeruput kopinya dahulu sebelum dia angkat bicara.

“Bagaimana keadaanmu? Apa kau lebih baik, nak?” dia bukan bertanya padaku, tapi ‘orang?’ (anggap saja begitu sekarang) yang ada di sebelahku. Tapi, yang ditanya tidak ngeh dan tetap diam saja.

“Hei. Ayahku bertanya padamu.” Kataku menyadarkannya.

“Aku baik-baik saja. Aku tidak selemah yang kau duga. Aku tidak akan mati hanya dengan kejadian kemarin.” Jawabnya begitu aku menyuruhnya. Dia seperti robot. Dia berbuat ketika aku menyuruhnya. Lucu!

“Hhhh…”Aku mendesah pelan. “begini ayah. Ayah dan ibu tidak akan percaya dengan cerita ini. Dan aku tidak akan pernah cerita, karena aku tahu kalian pasti akan shock berat. Jadi…aku Cuma mau bertanya.” Aku menarik nafas berat. “Bolehkah dia tinggal di sini?” tanyaku. Ini bukan keinginanku. Aku terpaksa. Karena, dia seperti sudah menjadi tanggung jawabku. Inilah kelemahanku. Aku tidak pernah rela membiarkan orang kesusahan.

“Tentu saja bisa. Tapi… ada masalah lain.” Kata ayah sambil mengelus dagunya yang mulai tumbuh jenggot kasar.

“Apa?” tanyaku.

“dia tidak mungkin seharian di rumah saja. Kau mengerti? Mungkin umur kalian tidak terpaut jauh. Dia juga perlu sekolah. Umurmu berapa nak?” Tanya ayah lagi.

“Umur? Apa maksutnya dengan umur?” tanyanya tidak jelas. Ayah mulai curiga dengan sikap Lucifer. Dia seperti bayi yang baru belajar bicara. Oh…

“Maksutnya…sejak kau dilahirkan. Em…sudah berapa lama kau hidup sejak di lahirkan?” jelasku lagi-lagi.

“252 bulan.” Aku mulai menghitung.

“Oh…dia berumur 21 tahun yah.” Kataku membenarkan.

“Baiklah. Dia Cuma terpaut 3 tahun darimu. Dia masih butuh sekolah. Kami akan menanggungnya nak.” Kata ayahku padanya. Seharusnya dia bangga, disekolahkan oleh orang tuaku. Tapi, tau apa dia tentang sekolah?

“Bukannya minggu depan kampusmu akan mengadakan penerimaan mahasiswa baru, Mandy?” aku Cuma mengangkat alisku. “Berarti minggu depan, kau akan daftar ke sana?”

“Ma…sudah cukup aku menjaganya di rumah. Biarkan aku bebas di luar.” Rengekku.

“Mandy…sepertinya hanya kau yang bisa berbicara dengannya. Selain itu, kau juga menyembunyikan rahasia dari kami. Jadi otomatis, kamu harus menjaganya juga di luar sana.” PERFECT! Batinku. Hilang sudah kebebasanku. Seperti dia telah kehilangan sayapnya.

“Baiklah. Minggu depan aku akan mengantarnya mendaftar.” Sekarang, aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk berbicara dan berdebat. Aku berdiri mau meninggalkan ruangan untuk kembali ke kamarku sendiri. Sebelum kaki menginjak di anak tangga, kusempatkan untuk menoleh lagi.

“Apakah tidak ada kamar yang kosong?” tanyaku pada ayah. Mulai risih karena aku diikuti kemanapun aku pergi.

“Tidak ada sepertinya.” Aku mendesah jengkel. Apa aku harus terus diikutinya. “Tapi, sepertinya ada gudang yang bisa digunakan. Di sebelah kamarmu. Tapi kau harus membersihkannya dulu.”

“Aku akan melakukannya.” Aku kembali melangkah ke atas. Kupandang gudang di sebelah kamrku yang dikatakan ayah tadi. Aku memutar kenopnya dan mebuka pintu itu. Berantakan dan berdebu. Baiklah…! Semangat! Aku akan membersihkannya. Dia hanya duduk-duduk santai di kursi yang sepertinya bisa hancur kapan saja sambil memuntir rambutnya yang panjang hamper sebahu itu. Enak sekali dia. Aku capek-capek menyiapkan kamar untuknya, dia malah enak-enakan di situ. Gerutuku. Tapi aku tetap melakukannya.

“Beres…!” kataku puas sambil menghapus peluh di keningku. Sangat bersih dan tidak terlihat seperti gudang lagi. Tidak terasa untuk membersihkan gudang saja butuh waktu seharian. Jelas saja. Aku membersihkannya sendiri. Hello…banyak barang besar. Dan itu harus kuangkat SENDIRI. Nggak kaget kalau sekarang udah mulai petang. “aku akan mengambilkan kasur gulung untukmu.” Ketika aku beranjak untuk mengambil kasur, dia kembali mengikutiku. Lama-lama jengkel juga diikuti seperti ini. “Bisakah kau berhenti mengikutiku terus? Aku merasa tidak nyaman.” Pintaku. Dia hanya mengangkat alisnya sebelah. Houh…ini benar-benar menjengkelkan. Akhirnya kau menyerah dan membiarkan dia mengikutiku kemana saja aku melangkah. “Ini kamarmu. Kau akan tidur disini.” Kataku memberutahunya.

“Kenapa tidak kau saja yang tidur disini? Aku mau kembali ke kamar dulu.”

“Tunggu.” Cegahku sambil mengenggam tangannya ketika dia hendak melangkah pergi. Kutarik nafas panjang lalu kuhembuskan. Sekarang aku mulai sedikit tenang. “Itu kamarku dan ini kamarmu. Aku sudah tidur di sana selama 18 tahun. Bisakah kau mengerti? Aku tidak bisa tidur kalau bukan di kamarku sendiri.” Tatapku berharap.

“Aku juga terjatuh di sana. Berarti itu sudah menjadi daerah kekuasaanku.”

“Kenapa kau tidak bisa mengalah?” suaraku mulai meninggi. “lagian ini rumahku,bukan rumahmu. Apa hakmu?” kataku diselimuti dengan kemarahan.

“Hak? Kau bertanya hak? Tentu saja aku berhak, dasar manusia bodoh. Aku ini lebih tinggi darimu. Kau hanya manusia biasa dan aku adalah malaikat.” Katanya penuh dengan tawa. Tawa yang menggelegar seperti bergema.

“Apa kau sudah lupa? Kau sebentar lagi akan bergabung menjadi salah satu dari kami.” Kataku sarkastik. Seketika itu wajahnya langsung mengeras. Mulutnya tertutup rapat hingga terdengar suara gemeletuk dari giginya. Ha, kena kau!

“Jangan pernah kau samakan aku dengan makhluk sejenismu. Karena aku tidak akan pernah bisa disamakan denganmu. Aku ini berbeda.” Katanya sambil mencengkeram pipiku dan menariknya. Sehingga kepalaku dengan terpaksa akan mendongak.

“Oh ya?” balasku tak takut. Kutatap matanya yang tajam itu. Kubalas dengan keberanian yang sama. Aku tidak akan kalah darinya. Kemudian dia menyentakkanku. Seketika itu, aku yang tidak siap menerima tindakan itu langsung terhuyung dan menatap pagar pembatas tangga. Hampir saja aku terjatuh, kalau si Lucifer itu tidak menangkapku dan menarikku. Detak jantungku masih berlomba saling bersahutan. Tidak ada yang bisa kukatakan saat ini.

“Sudah kubilang. Derajatku lebih tinggi darimu.” Katanya. Kata terimakasih yang sudah siap terucap, langsung menguap begitu saja.

“Aku berhutang budi padamu. Dan akan kubalas suatu saat nanti.” Kataku dengan nada sangat dingin.

“Tidak perlu kata nanti. Kau bisa membalasnya sekarang. Serahkan kamarmu padaku dan kau tidur di sini. Dengan begitu, kau tidak berhutang apa-apa padaku.”

“Itu ti…” aku siap memprotes. Tapi aku sudah berjanji akan membalas budinya. Jadi, aku terpaksa mengalah. Saat ini juga, aku sudah menyesal telang mengatakan tentang masalah balas budi itu. “Baiklah. As you wish, my lord.” Aku berjalan terhuyung mengambil bantal dan guling. Setelah aku kembali ke gudang yang sekarang ini akan menjadi kamarku(mengucap kalimat itu saja sudah membuatku muak), dia langsung saja meninggalkanku dan masuk ke kamar……ku. HAH…aku mengentakkan kakiku keras kemudian langsung berlalu masuk kamar dan tidak lupa membanting pintu keras-keras.

Kubaringkan badanku ke kasur lipat. Hufh…tempat baru. Desahku. Selama kurang lebih 2 jam berlalu. Aku masih belum bisa tidur. Dari tadi yang kulakukan hanyalah membolak-balikkkan badan. Aku benci keadaan ini.

“ARGH……!!!!” akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah berteriak dan menggeliatkan tubuhku. Aku memilih bangun dari tidurku dan duduk menyandar pada tembok. Kupeluk lututku dan kubenamkan kepalaku di sana. Tak terasa ada sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Aku menangis dari keadaan tak bersuara sampai aku menangis sesunggukan. Tidak tahu kapan, aku jadi ketiduran.

“”

Ketukan pelan pada pintu membuatku terbangun. Dalam keadaan yang setengah sadar, aku membuka pintu. Kulihat sosok mama di balik pintu tadi.

“Ada apa ma?” tanyaku sambil mengucek mata.

“Lho? Kamu kok disini? Bukannya si orang kesasar itu ya?” Tanya mama bingung.

“Dia ada di kamarku.” Mama menatapku bingung. “Katanya dia Cuma maunya tidur di kamarku. Ya udah aku ngalah. Daripada ribut.” Jelasku pendek pada mama. Padahal beda jauh banget sama kenyataan semalem.

“O…mama bangga sama kamu. Ternyata kamu bisa memperlakukan tamu di rumah ini dengan sangat baik.” Kuputur bola mataku tanda aku sedang muak. Kalau nggak gara-gara aku punya hutang sama dia. Nggak bakal aku kasih kamarku. “Ya udah. Sekarang mama mau bangunin dia dulu. Kita sarapan bareng-bareng.”

“Oke.” Jawabku singkat.

“Atau kau saja yang membangunkannya.” Tiba-tiba mama menyerukan ide yang kuanggap sangat buruk. Oh…tidak lagi. Batinku. “Iya. Lebih baik kamu saja yang membangunkannya.” Aku sudah siap mendebat. Lalu aku tersadar. Kalau aku mendebat, yang kudapatkan nanti adalah ceramah panjang dari mama. Jadi, aku mengalah saja dan mengiyakan permintaan mama dengan anggukan. “bagus. kalau begitu, mama sama papa tunggu di bawah ya.”

“Hmm…”jawabku singkat.

Aku kembali masuk ke kamar untuk membereskan tempat tidur “baru”-ku yang sangat berantakan. Setelah itu mencuci muka dulu. Baru, sekarang aku siap untuk membangunkannya. Aku berjalan ke bekas kamarku. Untuk beberapa saat aku hanya berdiri mematung di depan pintu. Sampai akhirnya aku tersadar. Tidak ada waktu lagi. Kuketuk pintu itu sekali dua kali. Tidak ada jawaban. Apa dia masih tidur? Pikirku. Tiba-tiba saja ada sebuah dorongan kuat untuk membuka pintu di depanku itu. Entah apa yang telah mendorongku. Perasaan yang aneh.

HAH…ternyata dia sudah bangun. Kenapa dia tidak membuka pintunya? Buang-buang waktu dan tenagaku saja. Kulihat dia duduk di jendela yang terbuka seperti kemarin. Punggungnya di sandarkan pada tepian jendela dengan wajah menengadah ke langit. Tatapannya nanar, tidak bisa di artikan. Benci, rindu, marah, sedih. Semuanya tergambar dalam matanya. Tanpa sadar aku mulai berjalan mendekat.

“Apa kau ingin kembali?” tanyaku tanpa sengaja. Pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari mulutku tanpa kukehendaki. Aku segera menutup mulutku dan menunduk. Tak berani menatap matanya yang sekarang menatap lurus ke arahku. “Maaf. Tidak seharusnya aku mengganggumu tadi.”

“Kau tidak perlu tahu. Mengerti apa kau tentangku? Kau hanyalah manusia biasa. Makhluk rendah.” Katanya sinis masih menatap langit di luar. Menyesal aku sudah bersikap baik padanya. Ngapain juga aku tadi ngomong kayak gitu?

“Oke…aku tidak ingin merusak mood-ku di pagi hari. Kalau mau cari gara-gara, nanti siang saja. O iya, ibu menyuruhmu turun. Kita akan makan bersama.” Aku langsung beranjak pergi.

“Aku tidak butuh makanan yang dimakan oleh manusia.” Aku menghentikan langkahku. Sudah cukup dia menjelek-jelekkan manusia. Aku muak mendengarnya selalu merendahkan ras kami. Aku kembali berbalik menghadapnya. Kutatap dia dengan penuh kemarahan.

“Sudah cukup kau mengatai manusia seperti itu. Kau selalu merendahkan kami. Kau menyebut kata ‘manusia’, seakan kami ini benda yang menjijikkan. Apa kau tahu? Kami bangga menjadi diri kami ini. Tidak seperti dirimu yang begitu arogan dan dingin. Kau itu tidak mengerti apa-apa tentang kami.” Teriakku padanya penuh dengan kemarahan.

“HAH. Jelas. Kami tidak mempunyai nafsu seperti manusia. Kami juga tidak membutuhkan perasaan. Kami diciptakan tanpa itu. Karena itu semua tidak penting. Kalau kami mempunyai perasaan dan nafsu, kami akan menjadi makhluk yang tidak sempurna seperti manusia.” Katanya tidak berperasaan. Dingin. Aku sampai menggigil mendengar perkataannya.

“Makanya, kami bangga menjadi manusia. Kami bangga punya nafsu dan perasaan. Kami bangga bisa menangis, marah, sedih…kami bangga jadi manusia.” Teriakku. Aku sudah tidak yahan membendung tangisku lagi. Melihatku menangis, nampaknya dia terkejut. Tapi hanya sesaat. Dengan cepat dia memasang topeng dinginnya lagi.

“Maka dari itu. Kalian lemah.” Katanya lagi.

“SUDAH CUKUP!” teriakku. Makhluk ini benar-benar tidak berhati. Tangisku semakin pecah. “pantas kau dibuang ke bumi. Dengan sikapmu yang arogan itu. Kau tidak pantas tinggal di sana.” Kataku pedas. Dengan cepat aku berbalik dan meninggalkan kamar itu. Aku benci makhluk itu. Sangat membencinya. Aku menuruni tangga dengan tergesa. Kuhapus air mata, yang seharusnya tidak kukeluarkan tadi. Air mata ini terlalu berharga untuk dilihatnya. Pasti dia bangga melihatku seperti ini.

“Lho? Mandy? Mana anak itu?” Tanya mama yang tengah menyiapkan makanan yang snagat lengkap. Biasanya mama tidak pernah masak sebanyak ini. Pasti mama masak buat makhluk tak berperasaan itu. Dasar tidak punya hati. Mama rela masak segini banyak untuknya. Tapi yang dia lakukan. Mengolo-olok ras kami? Sungguh tak bisa dimaafkan.

“Maaf ma. Dia tidak mau makan hari ini. Mungkin masih lelah atau masih ada yang sakit.” Kataku berbohong tak tega melihat usaha mama untuk memasak sebanyak ini.

“Ya sudah. Kita makan dulu. Nanti tolong kau bawakan makanan untuknya ya.!” Pinta mama. Aku hanya menangguk. Mama terlalu baik memperlakukannya. Dia tidak pantas mendapatkan itu. Kami makan dalam keheningan. Setelah selesai makan, kusempatkan untuk membantu ibu membereskan piring. Kemudian segera naik ke atas lagi. Mengurung diri di kamar.

“Ada apa dengan mereka ya yah?” Tanya ibu khawatir.

“Ayah juga nggak tahu, ma. Biarlah. Pasti akan baik-baik saja.” Kata ayah menenangkan mama. Mama hanya mengangguk.

Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar. Tak berani keluar. Seakan, jika aku keluar. Aku akan berada di Negara asing antah-berantah.

“”

Selama tiga hari yang kualami, semua terlihat sama. Dia tidak mau makan dan hanya mengurung diri di kamar. Dia akan menjadi lemah kalau terus bersikap keras kepala seperti itu. Hah…apa peduliku padanya. Itu sudah menjadi resikonya bersikap keras kepala seperti itu.

Tapi, hal ini masih membuatku khwatir. Dia tetap saja duduk di ambang jendela itu. Masih dalam keadaan yang sama seperti tiga hari lalu. Tiba-tiba saja tubuhnya akan ambruk ke bawah. Aku segera saja berlari mendekatinya dan menariknya kembali agar tidak jatuh ke luar. Wajahnya pucat dan tidak punya tenaga lagi.

“Apa kau bisa berdiri?” tanyaku masih sambil menyangga tubuhnya.”

“Lepaskan tanganmu dariku. Aku tidak butuh bantuanmu.” Dia menampik tanganku yang menyangganya.

“Sekarang bukan saatnya keras kepala. Bisakah kau menurutiku kali ini saja? Dan aku tidak akan mencampuri urusanmu yang lain.” Dia mulai tenang dan menuruti perkataanku. Kupapah dia kembali tidur ke kasur. “Tunggu sebentar. Aku akan segera kembali” kuselimuti dia sebelum aku turun. Aku kembali lagi dengan membawa baskom air dan bubur untuknya. Kuletakkan mangkok bubur dan baskom di meja kecil sebelah kasur. Kuperas kain yang tadi sudah kucelupkan ke air dalam basom.

“Apa yang akan kau lakukan?” tangannya mencekal tanganku yang akan mengompresnya.

“Aku tidak akan melukaimu. Dan bisakah kau percaya padaku kali ini saja?” dengan perlahan dia melepaskan cengkeramannya. Kuletakkan kain itu di dahinya. Dia memejamkan mata. Merasa nyaman dingin dari air itu menjalari tubuhnya yang memang sangat panas sekarang ini. “Aku akan menyuapimu selagi menunggu kompresan itu.” Kataku lagi. Dengan cepat dia membuka matanya. Menatapku dengan tatapan dingin. Aku mengarahkan sendok ke mulutnya. Dengan cepat dia menyambarnya. Suara gemelinting sendok jatuh menghiasi rasa sepi ini.

“Sudah kubilang. Aku tidak sudi makan makanan ‘manusia’. Jangan berani-berani mendekatkan lagi barang itu padaku.” Katanya tajam.

“Jadi kau masih tidak percaya padaku?” kataku sambil memungut sendok yang jatuh dan membersihkan bubur yang tercecer di lantai. Aku kembali ke tempat tidur lagi untuk mengganti kompresnya yang sudah menghangat. “Rasanya sakit kau tidak percaya padaku. Sudah kubilang aku tidak akan melukaimu. Dan kau masih tidak percaya?” Kataku lembut dengan mematung. “Percyalah padaku kali ini saja. Kau butuh tenaga. Makanan kami tidak serendah yang kau bayangkan. Hmmm?” kusodorkan lagi sesendok bubur di depan mulutnya. Setelah kuganti sendoknya terlebih dahulu. Dengan ragu-ragu dia membuka mulutnya. Aku tersenyum senang melihatnya. Setelah melihatnya melahap bubur itu. Kulihat dia mengunyah sekali dua kali dan menelannya. Kusuapkan bubur itu lagi, sampai bubur itu habis. Aku tersenyum senang dan berterimakasih karena dia menurutiku kali ini.

bolak-balik kuganti kompresan di dahinya. Setelah menghabiskan buburnya, sekarang dia mulai tertidur lelap. Yah…semoga panasnya segera turun. 2 hari lagi dia harus ikut ujian masuk universitas. Kalau dia masih sakit, bagaimana bisa dia ikut ujian? Kurapikan lagi barang-barang yang kuganakan tadi (mangkok, baskom, kain untu mengompres) dan kembali ke bawah untuk membereskan rumah. Aku masih kepikiran tentang keadaannya. Semoga saja dia segera membaik. Doaku tulus.

“”

Sore harinya aku terbangun dari tidurku. Sudah berapa jam aku tidur siang? Kulihat jam tangan yang kuletakkan di sebelah bantalku. Jam lima. Berarti sudah dua jam aku tidur. Hoahm…aku merenggangkan ototku yang terasa kaku. Sebaiknya aku turun. Mungkin mama dan ayah sudah pulang.

Aku turun untuk melihat keadaan di bawah. Masih sepi. Nggak biasanya mama sama ayah belum pulang jam segini. Tiba-tiba saja telepon rumah bordering. Bikin kaget aja.

“Halo.” Sapaku pada orang di seberang.

“O…mama? Kenapa ma?..........nggak pulang? Kenapa?............harus lembur karena ada yang harus dikerjain? Huh….”aku mendesah pelan. “Iya ma. Aku sudah besar. Aku pasti bisa jaga diri…iya mama. Bye.” Mama menutup teleponnya. Begitu pula aku. Great! Sekarang apa? Aku harus ngapain? Aku tadi bilang bisa jaga diri sendiri? Oke. Itu Cuma basa-basi biar mama dan ayah nggak khawatir. Tapi sebenarnya, apa yang bisa kulakukan.

Oke…hal pertama masak. Aku harus menyiapkan bubur untuk Lucifer dan nasi untukku. Semangat-semangat. Aku jadi menyibukkan diri di dapur sendiri. Panic berdenting, sendok jatuh, air tumpah. Pokoknya ancur. Tapi, aku bisa membersihkannya setelah ini. Yang penting maskanku sudah jadi. Aku menatap puas hasil karyaku.

“Hm…” anggukku puas. “sekarang, sudah waktunya makan malam. Sebaiknya, aku mengantar bubur ini dulu.” Kulepaskan celemek yang kupakai. Lalu naik lagi ke kamar Lucifer sambil membawa sebaki penuh makanan untuknya. Tok…tok…tok… kuketuk pintu di depanku. Tidak ada jawaban. Akhirnya kuputuskan untuk langsung masuk saja. Dia duduk di tepi kasur sambil menunduk.

“Sudah baikan?” kataku terus berjalan masuk dan meletakkan bawaanku di tempat biasa. Dia tidak menjawab. Kulirik dia. Aku tidak bisa membaca perasaannya. Mimic wajahnya sangat datar dan dingin. Kenapa dia harus membentengi dirinya seperti ini?

“Kenapa kau baik padaku?” tanyanya tiba-tiba memecah keheninga,

“Eh?” aku kaget dengan pertanyaan yang diajukannya tadi. “em…karena, aku tidak tega melihat orang yang sedang lemah.” Kataku setelah bisa menguasai keadaan.

“Makhluk lemah.” Kata-kata itu keluar dari mulutnya yang dingin dengan lancer sekali. Seperti lewat jalan tol saja. Aku melotot dan sudah bersiap memarahinya. Lalu kuingat-ingat lagi kalau dia sedang sakit. Tenang…hu…hi…kuhirup nafas panjang lalu kubuang lagi. Bagus. Mulai tenang.

“Makan dulu, oke?” kuambil mangkok bubur itu dan kusodorkan padanya. Dia menerimanya dengan ragu-ragu dan sedikit kaget.

“Kau tidak marah?” tanyanya bingung.

“Untuk apa aku menghabiskan tenagaku hanya untuk menyangkal hal yang memang nggak perlu buat diperdebatkan?” Aku baru sadar selama ini yang kulakukan itu kekanak-kanakan. Meladeni perkatannya. Berdebat dengannya. Seperti anak kecil. Dia Cuma menunduk mendengar perkataanku sambil mengaduk-aduk bubur dipangkuannya. “Hei. Buburnya jangn diaduk-aduk. Cepet dimakan!” dia menurut. Menyendokkan bubur ke mulutnya sedikit demi sedikit. Aku terus menungguinya sampai buburnya habis.

“Nih…” dia menyerahkan mangkok yang kosong itu dengan kedua tangannya. Dia juga terlihat malu-malu. Ah…kalau gini. Dia terlihat sangat imut. Ingin rasanya kucubit pipinya itu. Tapi daripada dia marah lagi, mending nggak deh.

“Bagus…sekarang kamu istirahat lagi deh. Biar cepet sembuh. Dua hari lagi kamu kan bakal ikut tes masuk Universitas. Jadi, badan kamu harus fit. Cepet bobok sini.” Suruhku. Tapi dia tetep nurut. Dia berbaring dan segera kuselimuti.

“Panas!!! Aku tidak mau pakai selimut.”

“Eits…nurut. Oke?” aku tersenyum jahil. Surapikan barang bawaanku sebelum meninggalkan kamar. Sekarang, waktunya aku makan malam. Hah… laparnya. Aku makan sendiri di ruang makan. Hm…ternyata masakanku tidak buruk-buruk amat. Enak kok! Hahaha muji masakan sendiri. Setelah selesai makan, kurapikan meja makan dan bersiap untuk mencucinya. Piring kotornya banyak banget. Wah…pasti pagi tadi mama nggak sempet mbersihin dulu deh. Nggak asik banget. Maunya sih aku tinggal. Biarin aja kayak gitu. Biar mama aja yang nyuci besok. Tapi, kasian mama. Pasti capek banget habis lembur kerja seperti itu. Makanya, sekarang ini aku yang nyuci. Semangat!

“Hufh…cucian sudah selesai.” Mendingan aku balik ke kamar dan melanjutkan cerita yang aku buat. Setelah selesai ngetik, aku mulai merasa ngantuk. Jam berapa sih ini? Kulihat lagi jam tangan yang tergeletak di sebelah bantalku. Jam 1 dini hari. Bagus. Pantas saja aku merasa sangat ngantuk. Akupun langsung tertidur setelah menyentuh bantal.

“”

Dua hari kemudian…

“Apa kau sudah siap?” tanyaku padanya.

“Tenang saja. Aku ini lebih pandai darimu.” Katanya sangat santai. Semuanya sudah siap. Alat tulis, tas, buku. Semuanya sudah kubelikan kemarin untuk mempersiapkan tes hari ini. Jadi, tinggal berangkat saja. Yang aneh. Dia tidak belajar sedikitpun. Aku khawatir dia tidak akan diterima.

“Apanya yang tenang saja. Kau bahkan tidak pernah ikut sekolah. Itu lucu sekali.” Kataku mulai sebal.

“Ingat. Aku ini lebih tinggi darimu. Apa perlu kuingatkan lagi?” katanya sambil menaikkan satu alisnya. Hah…jadi, dia mau mancing perang lagi nih.

“Oke. Aku ingat dan aku percaya. Sudah puas? Kenapa kamu itu selalu memancing perkara. Bikin mood tambah jeleka aja.” Kataku dengan pelan.

“Kita berangkat sekarang.” Ajaknya. Dia keluar lebih dulu. Aku pamit sama mama dan ayah. Nggak lupa minta doa restu buat Lucifer. Dasar. Main nyelonong aja. Emang dia nggak butuh doa apa? Sok banget. “Ayo!” teriaknya diambang pintu depan.

“Iya…iya…aku datang.” Aku jadi balas teriak. “Ma…yah…mandy berangkat dulu ya.” Segera kususul si Lucifer yang nggak tau diri itu. “Ayo berangkat. Keburu telat.” Aku berjalan mendekati mobilku. Kulihat Lucifer masih diam diambang pintu sambil menatap langit. “Hei! Kamu ngapain?”

“Mau terbang. Jangan ganggu konsentrasiku.”

“Em…”aku merasa sedikit tidak enak mengingatkannya lagi tentang kejadian buruk yang menimpanya itu. “Sori. Kamu kan nggak bisa terbang. Kita…naik ini.” Tunjukku pada mobil di depanku.

“Oh…”katanya bloon. Dia langsung mengikutiku. Tepat. Mengikutiku. Bayangkan saja. Dia berdiri di belakangku. Buat apa coba? Hah…nggak bisa ngerti dia. Kadang jahatnya minta ampun. Tapi, kadang jadi bloon. Kok ada ya orang kayak dia? Amit-amit deh. Aku bergerak ke sisi lain mobil. Tepat. Dia mengikutiku. Kubukakan pintu untuknya. Gila. Udah kayak presiden aja. Kemudian aku balik ke tempat pengemudi.

“Pasang sabuk pengaman!” dia mengangkat alis lagi. Sabar…anggap aja kalau dia itu anak kecil. Aku bergerak mendekat untuk memasangkan sabuk pengamannya.

“Mau ngapai kamu? Jangan macam-macam, manusia.” Cegahnya sambil mencengkeram pundakku. Sakit…aku sampai meringis kesakitan saking nggak kuatnya nahan sakit.

“Itu.” Tunjukku pada sabuk pengaman yang belum terpasang masih sambil meringis kesakitan. “Aku mau pasang itu.” Kataku lagi. “Sori. Bisa lepasin dulu. Sakit.” Kataku pelan. Segera kupasang sabuk pengamannya dan sabuk pengamanku sendiri. Dalam perjalanan kami hanya diam. Kok rasanya jadi aneh gini. Oke, biar aku dulu yang ngomong.

“Kamu nggak niat pakai nama Lucifer kan di sini? Em…maksutku di bumi.” Ha…ide bagus. Tema percakapan yang bagus.

“Memang kenapa? Ada yang salah?” dia balik bertanya. Tatapannya tetap lurus ke jalan. Sepertinya dia lagi terpukau banget.

“Ya…nggak ada yang salah sih. Tapi…kalau kamu tetep pakai nama Lucifer, pasti semua orang akan tertawa.”

“Terus?” sekarang dia mulai sebal dan menatapku.

“Bukan tertawa karena lucu.” Jawabku membenahi. Hi…serem banget dilihati kayak gitu. “Tapi karena nama kamu itu seperti tidak nyata. Dongeng. Iya…pasti mereka nggak percaya kamu itu beneran ada.”

“Trus…aku pakai nama apa?” dia sudah mulai kembali menatap jalanan. Hufh…leganya.

“Em…biar aku pikr dulu.” Jeda beberapa saat dalam diam. Apa ya nama yang cocok buat dia? “Oke. Gimana kalau Onew saja. Bagus kedengarannya. Gimana? Setuju?”

“Nama yang aneh. Tapi…OK. Nggak masalah kalau Cuma buat di luar saja. Karena aku nggak bakal mau ganti nama aku.” Yeah…yeah…I knew it.

Setelah percakapan selesai, aku tidak puny ide lagi untuk topik pembicaraan selanjutnya. Jadinya, kami Cuma diam selama sisa perjalanan.

Akhirnya sampai di Universitas tempat kuliahku. Tepat sebelum ujian mau di mulai. Dan ini adalah pengalaman terlucu buatku. Aku…Mandy, mengantar si “Lucifer” sampai di depan kelas. Hahaha…berasa jadi emak-emak yang nganterin anaknya.

“Enaknya ngapain ya…?” pikirku setelah Lucifer masuk kelas. “Masak mau nunggu segitu lamanya. Lumayan kan 3 jam buat apa aja. Mending pulang dulu aja.”

“”

Sekarang sudah waktunya buat menjemput Yang Mulia Lucifer. Rasanya males banget. Kalau bisa sih pengennya nggak usah njemput dia. Biar dia nggak balik ke sini lagi. Dan.. kehidupanku kembali tenang lagi.beres!! tapi nggak bisa. Bisa-bisa mama marah besar sambil ngomel-ngomel panjang. Jadi kesimpulannya…aku mau nggak mau harus jemput dia balik ke sini lagi.

Dengan cepat-cepat kustarter mobilku dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Telat sebentar saja pasti dia bakal marah-marah. Huh…kenapa semua orang yang ada di sekitarku ini sukanya marah-marah sih? Nggak ada yang sabar gitu dan mau ngertiin aku. Nggak kayak Minho. Teman sekelasku yang baik banget dan paling ngertiin aku. Sssstt…ini rahasia ya. Jangan cerita siapa-siapa. Sebenarnya, sejak pertama kali ospek dan kenal sama Minho, aku naksir berat sama dia. Dia cinta pertamaku sejak masuk kuliah. Hahaha…

Aku segera tersadar dari lamunanku begitu aku sudah sampai lagi di Universitas. Hah…ujian sudah selesai. Mampus!!! Aku segera berlari ke kelas tempat Lucifer tes. Benar…ternyata dia sudah menunggu di depan kelas sambil menyandarkan punggungnya ke tembok. Aduh…gimana ini??? Pasti kena marah deh… aku berjalan perlahan sampai tepat di depannya. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam. Kudengar Lucifer menarik nafas dalam-dalam. Pasti siap marahin aku tuh.

“AH…Ayo pulang sekarang!” apa dia bilang tadi? Akhirnya kuberanikan buat mendongakkan kepala.

“Ha??” tanyaku bloon. Bagus. Sekarang ganti aku yang bloon.

“Ayo pulang. Aku capek banget. Ternyata tes begini saja sudah membuatku lelah.” Hu…dasar. Makanya olahraga dong. Biar nggak gampang capek. Cibirku dalam hati.

“O…hu uh. Yuk.” Kami berjalan beriringan. Masuk mobil bersamaan. Ternyata dia sudah tau tempatnya dan bagaimana cara memasang sabuk pengamannya. Anak pintar… sekali lihat udah langsung bisa. Kulajukan mobilku perlahan karena sangat macet. Biasa, barengan sama anak tes lainnya. Jadi sama-sama keluar semua. “Huh…macet banget. Gini ni yang bikin aku males nyetir.” Omelku dalam mobil.

“Aku gantiin.” Secara mendadak langsung kuinjak rem dan kutatap dia kaget.

“Hahaha…nggak. Aku masih pengen pulang dengan selamat. Aku nggak mau nyawaku terbuang sia-sia. Apalagi aku masih muda, masih pengen pacaran ma nikah.”

“Pacaran?” nah…untung aja bloonnya udah balik ke dia lagi.

“Hufh…aku nggak bisa jelasin yang ini.” Kujalankan lagi mobil yang sedari tadi ngerem mendadak. Perlahan tapi pasti. Sekarang ini aku benar-benar lagi konsentrasi nyetir. Nggak berapa lama kemudian, akhirnya lolos juga dari kemacetan. Sekarang ini aku bisa nyetir dengan santai dan lebih relax. “Em…ngomong-ngomong gimana tadi ujiannya?”

“Bikin aku ngantuk.” Jawabnya singkat.

“Tapi kamu bisa kan???” tanyaku ketar-ketir. Jangan-jangan dia jawabnya asal-asalan. Gimana kalau dia gagal? ARGH…

“Aku ngantuk. Jadi, aku tinggal tidur 2 jam. Aku baru ngerjain 1 jam. Yah…cukuplah.”

“HA??? Kamu jangan main-main dong. Kalau kamu sampai gagal gimana?” sebagai jawaban dia hanya mengedikkan bahunya. Ni orang bener-bener nggak punya ati. Miris banget rasanya.pengen nangis…

Sesampainya di rumah, dia langsung melenggang ke kamar. Enak banget tuh orang. Udah kayak majikan aja tinggal di sini.

“Eh…eh…eh… mau kemana kamu?” tanyaku sebelum Lucifer naik tangga.

“Ya jelas mau tidur lah. Aku capek. Bisa ngerti nggak sih. Aku ini nggak pernah kerja seberat ini.” Katanya santai.

“Apanya yang berat? Cepet buruan ke sini.” Perintahku. “certain ujian tadi. Gimana?” dia tetap berdiri di tempat. Sampai aku melotot, baru dia mau nurut. Kembali, duduk di sofa. Kususul duduk di sebelahnya. “Trus???”

“Apanya?” tuh kan…cepet banget sih kambuhnya. Udah mulai bloon lagi. Kalau udah mulai gini nih urusannya susah.

To Be Continue...
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger